Mubadalah.id – Membicarakan hubungan seringkali lekat dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Meski sebenarnya, hubungan bisa saja kaitan antara ibu dan ayah, orang tua dan anak, atau hubungan antar pertemanan. Topik yang menarik untuk saya bahas kali ini adalah bagaimana menjadi perempuan berdaya dalam hubungan yang memuat relasi dengan laki-laki dalam case pacaran atau pernikahan.
Setelah bergabung dalam forum diskusi dengan Women by Narasi, saya menemukan makna perempuan berdaya dalam hubungan sebenarnya seperti apa. Apakah ketika merasakan kebahagiaan dalam hubungan? atau sebenarnya, ada seseorang yang sedang terjebak dalam sebuah hubungan manipulatif namun berdalih romantisme.
Narasumber diskusi yang diselenggarakan oleh Women by Narasi ini menghadirkan seorang psikolog bernama Fathya Arta. Ia merupakan psikolog sekaligus kreator yang aktif berbagi pengetahuan tentang kesehatan mental melalui konten di akun instagramnya. Setelah mengikuti diskusi yang sangat bernas dan insightfull, saya ingin berbagi tentang bagaimana hubungan terkemas secara sehat dan tidak menjatuhkan posisi perempuan.
Memaknai Sebuah Hubungan
Hubungan yang saya maksud adalah kedekatan antara perempuan dan laki-laki yang terikat dalam pacaran atau pernikahan. Saya kerap mendengar sebutan couple goal. Ya, seperti yang terlihat dari luar, pasangan terlihat bahagia dari pancaran keseharian mereka. Padahal, belum tentu pasangan yang terlihat bahagia dari luar, juga memiliki kebahagiaan dalam urusan pribadi mereka.
Beberapa kasus yang kemudian saya amati seperti kekerasan dalam pacaran (KDP) atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), memungkinkan jika hubungan bisa menjebak seseorang untuk menjadi korban kekerasan oleh pasangan. Maka dari itu, esensi hubungan bukan hanya terlihat atau memperlihatkan kepada publik tentang kebahagiaan semata, namun perlu adanya konsep kesalingan yang mendukung dan tidak menjatuhkan salah satu pihak, sehingga tidak muncul sebuah relasi kuasa.
Ketika relasi kuasa sudah terbentuk kokoh dalam hubungan, hal tersebut akan menjadi peluang satu orang dalam hubungan untuk menjadi korban, seperti halnya kasus KDP atau KDRT. Ketika seseorang berani mengambil langkah untuk memiliki relasi dengan orang lain, pertimbangkan secara matang.
Jangan representasikan hubungan hanya sebatas komunikasi untuk senang-senang semata. Namun, penting juga untuk mempertimbangkan sisi bahwa hubungan berhak menjadikan seseorang tumbuh sesuai keinginan diri sendiri dan tumbuh baik meski memiliki relasi dengan orang lain.
Dikotomi Kendali dalam Sebuah Hubungan
Psikolog, Fathya Arta, memberikan penjelasan tentang adanya dikotomi kendali dalam sebuah hubungan. Di mana hubungan tersebut dapat mengarahkan seseorang untuk mengenali kebutuhan diri dan tidak terjebak dalam relasi yang tidak sehat. Dikotomi kendali dalam sebuah hubungan itu ibarat gelas kosong.
Apa yang ada dalam gelas tersebut adalah apa yang bisa seseorang kendalikan, sedangkan yang berada di luar gelas kosong adalah apa yang tidak dapat seseorang kendalikan. Isi gelas kosong dapat meliputi apa yang seseorang bisa lakukan secara penuh, sesuai dengan haknya. Misalnya, tentang respon perasaan terhadap keputusan pasangan, kondisi emosional ketika bersama pasangan, serta kondisi lain yang menyangkut diri sendiri atas perilaku pasangan.
Sedangkan di luar gelas kosong adalah banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam sebuah hubungan. Misalnya, pasangan melakukan kekerasan, pasangan mengontrol diri seseorang, pasangan marah, atau pasangan membuat seseorang tidak nyaman. Hal-hal tersebut kemungkinan dapat terjadi dalam sebuah hubungan tanpa kita ketahui kapan dan dimana kejadian berlangsung.
Kemudian, untuk menanggapi apa yang ada di luar kendali, yaitu respons seseorang terhadap perilaku pasangan, hal ini akan berkaitan dengan bagaimana menjadi seorang perempuan yang berdaya dalam hubungan. Sebab, ada kemungkinan apa yang di luar kendali dapat laki-laki lakukan. Apalagi jika melihat data Komnas Perempuan, dari sekian banyak kasus kekerasan yang terjadi, perempuan memiliki potensi lebih besar menjadi korban dibandingkan laki-laki.
Berdaya dalam Sebuah Hubungan
Setelah mengikuti diskusi bersama Women by Narasi, saya akhirnya merangkum beberapa poin penting untuk menjadi bekal bagaimana berdaya dalam sebuah hubungan. Pertama, kenali kebutuhan diri sendiri. Sebelum memilih untuk mengambil langkah menjalin hubungan dengan orang lain, seseorang mesti mengenali apa yang menjadi kebutuhan diri sendiri.
Apakah ada yang harus kita selesaikan dan prioritaskan oleh diri sendiri, sehingga belum saatnya untuk menjalin hubungan. Atau, sudah tahu kebutuhan diri sendiri tetapi memungkinkan untuk tetap memenuhi kebutuhan diri sendiri meski menjalin hubungan dengan orang lain.
Misalnya, seseorang memiliki rasa cemas ketika menjalin hubungan dengan orang lain karena takut terjadi kekerasan. Maka yang pertama harus kita penuhi adalah bagaimana mengatasi kecemasan itu sehingga nanti akan tumbuh menjadi sebuah rasa mantap yang siap untuk menjalin hubungan dengan orang lain tanpa adanya kekerasan.
Membangun Relasi Sehat
Kedua, kenali sebuah relasi yang tidak sehat. Relasi yang tidak sehat biasanya disebut dengan toxic relationship. Ketika seseorang terjebak daam relasi yang tidak sehat, beberapa kali kasus yang saya temui adanya bentuk manipulatif dari pasangan. Sehingga, membuat seseorang tidak dapat lepas dari hubungan toxic tersebut. Relasi tidak sehat merupakan bentuk hubungan yang menyebabkan salah satu pihak mengalami sebuah rasa tidak nyaman baik secara psikis maupun fisik.
Contohnya adalah relasi tidak satu frame sehingga sering memunculkan perdebatan yang membuat salah satu harus mengalah, padahal ia sendiri tidak nyaman. Mengalahnya bukan karena untuk menemukan titik terang, melainkan untuk menjaga sebuah hubungan yang ternyata tidak sehat.
Contoh lain yaitu kekerasan dalam pacaran. Ada kasus dimana seseorang terjebak oleh sikap manipulatif pasangan, padahal pasangan tersebut sudah melakukan kekerasan. Perlu diketahui, bahwa dalih apapun tidak mengajarkan sesuatu dalam bentuk kekerasan.
Jadi ketika ada kekerasan, kenali bentuknya dan hentikan hubungan yang tidak baik tersebut untuk kebaikan diri sendiri. Karena, menjalin hubungan perlu ada komitmen tentang bagaimana seseorang tetap utuh menjadi diri sendiri dan tidak menjadi objek kekerasan oleh pasangan.
Ketiga, jalin komunikasi yang baik. Komunikasi adalah kunci penting dalam sebuah hubungan. Sebelum yakin melangkah untuk menjalin sebuah hubungan, sebaiknya perlu ada komunikasi yang clear. Sehingga, ketika ada permasalahan, tidak terjadi sebuah lingkaran setan yang menyebabkan salah satu pasangan merasa tidak nyaman tetapi masih bertahan.
Membuat Batasan dalam Hubungan
Misalnya ketika perempuan hendak menjalin hubungan dengan laki-laki, bicarakan bagaimana ketika sudah menjalin hubungan. Apakah sebagai perempuan tetap bisa melanjutkan impian atau tidak. Jika tidak, maka bisa dipertimbangkan kembali bagaimana akan menjalin hubungan. Namun jika iya, hal ini tentu menjadi salah satu langkah bagaimana perempuan tetap berdaya meski bersanding dengan orang lain.
Menjadi berdaya dalam hubungan artinya mengenali diri sendiri bahwa hubungan bukanlah belenggu untuk salah satu pasangan. Perempuan yang berdaya dalam hubungan adalah poin penting untuk mengetahui batas mana sebuah hubungan pantas dipertahankan atau justru harus ditinggalkan.
Keempat, sayangi diri sendiri secara penuh. Hubungan bukanlah sekat untuk merubah diri seseorang menjadi orang lain. Hubungan seharusnya dapat menjadi penguat bagaimana seseorang tetap menjadi diri sendiri. Jika seseorang sudah merasa ada yang berubah dan hal itu menyebabkan ketidaknyamanan, maka ketahui apa yang sedang diperlukan.
Ketika ada problematika dalam sebuah hubungan, pertimbangkan apakah hubungan tersebut mengancam kondisi diri sendiri atau tidak. Hubungan yang baik adalah timbulnya kesalingan antara pasangan. Nah, ketika sedang membutuhkan waktu untuk merasakan kebahagiaan sendiri, boleh ambil jeda untuk me time terlebih dahulu. []