Mubadalah.id – Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, Komnas Perempuan memberikan sikap dan pandangan bahwa afirmasi kepemimpinan perempuan tentunya akan mempengaruhi daya dan kinerja para pemimpin terpilih. Yakni untuk memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Sejarah mencatat pasca reformasi, jumlah anggota perempuan parlemen belum pernah mencapai kuota 30 persen. Mulai dari 2004 hingga 2019, perempuan yang berhasil duduk di lingkup parlemen sebanyak 382 perempuan.
Namun pemilu 2024 ini tidak ada perwakilan perempuan yang hadir dalam tingkatan calon presiden dan wakil presiden. Sehingga Komnas Perempuan menilik kinerja KPU untuk memastikan terpenuhinya kuota 30 persen perempuan sebagai calon terpilih sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Saran dan Masukan Kepada Calon Pemimpin Bangsa 2024-2029 Menuju Indonesia Emas (18/1/24), berikut adalah 5 isu strategis dan rekomendasi Komnas Perempuan terhadap Pemilu 2024. Di mana hal ini telah disesuaikan untuk mencapai visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Yaitu “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan” atau Indonesia Emas.
Kelembagaan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM)
Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi-konvensi utama dan perjanjian internasional terkait HAM, telah menjadikannya sebagai hak konstitusional, isu strategis Komnas Perempuan rekomendasikan adalah memperkuat Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM).
Di mana lembaga ini memiliki tugas memantau, memberikan saran dan rekomendasi terkait pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di seluruh tatanan masyarakat. Tujuannya agar dapat melaksanakan mandatnya secara optimal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain Komnas Perempuan, terdapat 3 LN HAM di Indonesia yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas/KND.
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Konflik, Perubahan Iklim dan Bencana
Isu strategis yang Komnas Perempuan rekomendasikan adalah perhatian khusus terhadap kekerasan terhadap perempuan. Yakni dalam konteks konflik, perubahan iklim dan bencana yang beririsan dengan konflik sosial akibat kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Oleh sebab itu, harapannya, para pemimpin terpilih perlu mengupayakan pengaturan kebijakan pembangunan yang semakin mumpuni. Tujuannya untuk mencegah konflik dengan memberikan dukungan lebih kuat. Yakni agar kelompok kerja (Pokja) antar kementerian/lembaga dapat membuat terobosan baru untuk membatalkan dan mencegah peraturan dan kebijakan daerah diskriminatif. Termasuk melalui fungsi Mahkamah Agung.
Selain itu, Komnas Perempuan juga menghimbau kepada pemimpin terpilih untuk memastikan adanya kebijakan dan perundangan-undangan serta pelaksanaannya untuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Termasuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Penyiksaan, Penghukuman, atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi lainnya Berbasis Gender terhadap Perempuan
Rekomendasi isu strategis selanjutnya oleh Komnas Perempuan adalah memastikan uji tuntas. Yakni untuk pencegahan tindak penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam atau tidak manusiawi berbasis gender terhadap perempuan.
Hal ini sebagai penerapan ratifikasi CAT. Yaitu dengan cara memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dan mengalokasikan sumber daya yang memadai. Tujuannya untuk tindakan preventif terjadinya penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi.
Jika hal ini dapat terlaksana, pengaduan langsung ke lembaga HAM yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) seperti Komnas HAM, dan Komnas Perempuan, KPAI,. Selain itu Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), Ombudsman RI (ORI) dan KND. Harapannya dapat menekan angka pengaduan langsung tersebut.
Kekerasan Seksual
Isu strategis rekomendasi Komnas Perempuan selanjutnya adalah penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual. Selama 22 tahun, Komnas Perempuan telah mencatat terdapat lebih dari 60 ribu kasus kekerasan seksual yang telah terlaporkan kepada Komnas Perempuan dan pengada layanan. Baik di ranah domestik maupun ranah publik.
Jenis kekerasan seksual yang dilaporkan mulai dari perkosaan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi seksual dan tragedi Mei 1998. Saat ini telah lahir berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan seksual mulai dari akar rumput hingga di tingkat pemerintahan. Tidak hanya itu, upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual juga akhirnya mendorong lahirnya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak pidana Kekerasan Seksual.
Oleh karenanya, Komnas Perempuan menghimbau kepada para pemimpin bangsa terutama presiden dan wakil presiden ke depan. Yakni untuk mengakui dan menyelesaikan dugaan kekerasan seksual dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Termasuk kasus perkosaan massal Tragedi Mei 1998; memastikan peraturan pelaksana UU TPKS diterbitkan, serta menyediakan alokasi anggaran dan infrastruktur yang memadai untuk penanganan kasus Kekerasan Berbasis Gender. Yakni di antaranya perempuan penyandang disabilitas di setiap jenjang pemerintahan.
Selain itu, Komnas Perempuan juga menghimbau untuk merevisi Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Tujuannya agar korban tindak pidana (KDRT, TPKS, TPPO) dapat mengakses layanan kesehatan darurat dan layanan lanjutan untuk pemulihan atau menyediakan peraturan. Sehingga korban tindak pidana mendapatkan layanan kesehatan pertama dan lanjutan
Upaya lainnya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual berbasis gender adalah adanya kesinambungan antara program penguatan literasi digital dan keamanan digital bagi perempuan. Yakni untuk memperkuat kapasitas berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan keamanan digital berperspektif keadilan gender. Selain itu, perlu ada pengembangan mekanisme penghapusan konten digital dan dukungan pemulihan kepada korban.
Ruang Aman Perempuan dalam Keluarga dan Dunia Kerja
Terakhir, rekomendasi isu strategis Komnas Perempuan untuk kinerja pemerintahan 2024-2029 adalah mengoreksi berbagai elemen diskriminatif berbasis gender dan disabilitas pada UU Perkawinan.
Selain itu memastikan penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan tentang UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Lalu UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta pengesahan RUU Perlindungan PRT (PPRT). Hingga mengembangkan program rehabilitasi dan membangun instrumen deteksi dini untuk mencegah KDRT berakhir dengan femisida.
Selain itu, pemerintah juga perlu hadir dengan kebijakan pencegahan stunting. Yakni dengan menghadirkan pemenuhan hak maternitas perempuan pekerja dan ruang laktasi serta ketersediaan day-care terjangkau yang memadai serta aman dari kekerasan berbasis gender.
Terakhir, Komnas Perempuan juga merekomendasikan pemerintah untuk menghadirkan kebijakan ramah perempuan. Yakni terkait hukum keluarga yang berkeadilan bagi perempuan. Di antaranya mendorong pemenuhan hak perempuan yang melakukan pernikahan yang belum tercatat atau pernikahan adat, perkawinan campur, dan perkawinan beda agama.
Selain itu, memfasilitasi pendampingan psikis, sosial dan ekonomi kepada perempuan korban perkawinan anak agar tetap dapat mengakses hak atas pendidikan lebih lanjut dan kehidupan keluarga yang adil dan sejahtera. []