Mubadalah-id – Saya baru saja selesai mendengarkan obrolan penulis Puthut EA dan Dosen Filsafat Fahrudin Faiz yang baru-baru ini diunggah lewat platform YouTube. Yang menarik, video tersebut dibuka dengan kutipan Socrates yang mengatakan, “bila kelak engkau menikah, dan kemudian engkau kesulitan dengan istrimu, rumah tanggamu. Di sinilah, engkau akan mendapatkan banyak pelajaran hidup. Memikirkan banyak hikmah.”
Mendengarkan pengantar tersebut, saya lantas tertawa tergelak, menyetujui apa yang baru saja saya dengar. Bagaimana tidak? Ketika menjalani pernikahan, dan menjadi suami, saya perlu benar-benar mengesampingkan ego pribadi, di saat yang sama saya juga menyadari bahwa menjadi suami adalah belajar memahami kepribadian dan perangai istri, termasuk bersabar jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Meski terkesan sepele, ternyata mengaplikasikan hal ini dalam pernikahan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kelapangan dada, berpikir bijak, hingga lebih meminta diri untuk tidak bersikap emosional. Sebab, menyatukan dua kepala itu susahnya bukan kepalang.
Jangankan saya yang baru saja menjalani pernikahan Seorang Rasul hingga Umar bin Khattab pun pernah mengalami konflik domestik yang membuat mereka harus berseteru dengan istri. Yang menarik, sikap mereka terhadap istri tak pernah kasar, justru mencerminkan kedewasaan paripurna sebagai teladan.
Bahkan seorang Umar yang terkesan keras nan tegas sekalipun, tak pernah menunjukkan perangai buruk di depan istri. Cerita lengkapnya seperti ini, dulu terdapat sepasang suami-istri yang bertengkar hebat di masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Tak tahan dengan kondisi ini, sang suami lalu berniat mengadukan permasalahan rumah tangganya kepada Umar sambil ingin menceritakan bagaimana kesalnya ia karena pasangannya sering marah-marah.
Setibanya di teras rumah Umar, si laki-laki tadi justru terkejut atas apa yang ia baru saja dengar. Ia otomatis berhenti dan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu. Sebab, dengan jelas sekali luapan amarah istri Umar terdengar di telinganya. Yang membuat ia terperangah, tak sekalipun Umar membantah. Ia tenang, diam, tak mengucapkan satu patah kata pun.
Keesokannya, si suami itu datang kembali kepada Umar dan menceritakan perihal niatnya untuk berkeluh kesah. “Lantas mengapa tidak jadi ke rumahku untuk bercerita?” tanya Umar. Si suami itu pun menjawab, “sebab aku mendengar engkau sedang dimarahi istrimu, wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau tak membantah atau paling tidak menjawab omongan istrimu ketika dimarahi?”
Mendengar hal ini, Umar menjawab dengan bijak, “istriku adalah sumber kebahagiaan yang diberikan Allah kepadaku. Darinya, aku diberikan keturunan. Dari rahimnya, dia mengandung anakku. Ia lahirkan anakku, ia susui anakku. Ia layani aku, ia bahagiakan aku dengan segala kebutuhan yang aku perlukan. Pantaskah aku memarahinya? Pantaskah aku beradu argumen dengannya? Bagiku tidak.”
Dari kisah Amirul Mu’minin tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa salah kaprah kiranya bila memaknai pernikahan hanya sekadar menghindarkan diri dari zina. Lebih dari itu, pernikahan merupakan tanggung jawab bersama yang menuntut suami istri untuk tak lagi berpikir egois, tapi bagaimana satu sama lain mampu membangun jembatan komunikasi efektif. Meski dalam suatu waktu, salah satu pihak harus mampu bersikap meredam, ketika yang lain sedang meluap-luap, layaknya kisah Umar tadi.
Bayangkan apa jadinya bila Umar memilih untuk mementingkan egonya dan terus berusaha membantah apa yang disampaikan istrinya? Tentu konfliknya akan semakin melebar dan semakin tak menyelesaikan masalah. Di saat yang sama, ketenangan Umar menunjukkan bahwa ia memahami betul bahwa istrinya hanya ingin didengarkan keluh kesahnya. Itu saja.
Dan hal-hal sepele seperti ini yang terkadang tidak dipahami oleh banyak orang ketika memutuskan untuk menikah. Dikiranya menikah hanya sebatas senang-senang, media sosial yang dipenuhi foto berdua, hingga update postingan travelling dari satu tempat ke tempat lainnya. Justru tidak sama sekali!
Pernikahan menuntut laki-laki dan perempuan untuk terus belajar: dari belajar mengurus pekerjaan domestik bersama, hingga belajar mengelola emosi. Semuanya bukan perkara mudah. Perlu kerja keras dari hari ke hari. Bahkan acap kali, pertengkaran disulut oleh hal-hal kecil seperti berebut remote TV hingga tidak cocok dengan selera istri.
Seorang kawan perempuan bahkan pernah senewen dan bertengkar hebat hanya karena persoalan cucian baju. Saya sendiri, sempat marah sama pada istri karena perkara saos sambal yang tak mau dibagi. Dan bisa dibilang seremeh itu hama pertama bagi ‘bibit muda’ keluarga kami.
Sepele memang, tapi dari hal sekecil botol saos tadi, kami belajar banyak hal. Dari sana, kami sama-sama memahami bahwa ada satu waktu di mana ego kami berdua yang tidak kalah ‘pedasnya’. Sebotol saos ekstra pedas itu mengajarkan saya betapa hal kecil bisa menjadi pemantik masalah pernikahan, yang jika tidak segera diatasi akan membawa kami ke level kepedasan yang lebih parah.
Oleh karenanya, saya semakin mengamini nasihat Socrates bahwa pernikahan selalu membawa dampak positif bagi seseorang: bila mendapatkan pasangan baik, kita akan bahagia. Bila mendapatkan yang sebaliknya, paling tidak kita menjadi filsuf karena terus menerus memikirkan hikmah kehidupan. []