Mubadalah.id – Tingginya angka perceraian di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta 2018 menunjukkan rendahnya kesadaran sebagian pasangan suami istri untuk mempertahankan rumah tangga. Demikian dikatakan Kepala KUA Wonosari H. Zudi Rahmanto, dalam rilis yang diterima Mubadalah.id, 17 Januari 2018.
Dalam rilis tersebut Zudi mengatakan, Pengadilan Agama Wonosari mencatat sepanjang tahun 2018 terdapat 1.070 perceraian. Terbanyak adalah cerai gugat atau penggugatnya dilakukan pihak istri.
Sedangkan untuk cerai talak yang mana pemohonnya sang suami, kurang dari 50 persen yakni sebanyak 468 perkara. Jumlah tersebut didasarkan atas berkas yang masuk dan telah ditangani oleh pihak Pengadilan Agama.
“Data ini menunjukkan bahwa faktor utama terjadinya perceraian adalah tidak adanya relasi sehat dalam perkawinan, yang dipicu antara lain oleh salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, campur tangan pihak ketiga dan salah satu pihak meninggalkan kediaman bersama,” kata Zudi.
Beberapa pemicu tersebut mengarah pada satu simpul masalah, yaitu rendahnya kesiapan dan minimnya moralitas yang dimiliki oleh pasangan yang bercerai. Di sisi lain, pasangan yang bercerai didominasi oleh pasangan yang menjalani perkawinan di bawah 10 tahun, bahkan ada yang baru 3 tahun berumah tangga.
Dengan kondisi tersebut, tentunya menjadi keprihatinan semua pihak, termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Wonosari. Zudi sebagai Kepala KUA berinisiatif untuk melakukan pembacaan ikrar Pakta Kesalingan pada pasangan pengantin yang baru menikah.
“Pakta Kesalingan adalah empat pilar yang dibaca dan ditandatangani pasangan pengantin setelah akad nikah berlangsung. Empat pilar itu terinspirasi dari yang telah disampaikan dalam bimbingan perkawinan bagi calon pengantin dengan pendekatan kesalingan untuk menciptakan keluarga sakinah,” kata Zudi.
Isi dari ikrar Pakta Kesalingan tersebut adalah kami pasangan pengantin bersepakat pertama, untuk saling melengkapi, menopang dan kerjasama.
Kedua, menjaga komitmen perkawinan sebagai janji kokoh. Ketiga, memperlakukan pasangan dengan baik, timbal balik, melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing. Dan keempat, membangun komunikasi, menghormati dan berpesan dalam kebaikan dan kesabaran
“Pembacaan ikarar Pakta Kesalingan adalah ikhtiar untuk menekan tingginya angka perceraian di Gunungkidul,” lanjutnya.
Bimwin harus terus digaungkan
Kementerian Agama malalui KUA terus berupaya menekan angka perceraian di Indonesia melalui beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut melibatkan calon pengantin dan pasangan suami istri dalam masa 5 tahun perkawinan.
Bimbingan Perkawinan (Bimwin) pra-nikah bagi calon pengantin berlangsung 16 Jam dan dilakukan selama dua hari. Bimwin menawarkan materi-materi yang tujuan utamanya adalah pemberdayaan calon pengantin dalam memasuki perkawinan mereka.
Upaya lain adalah dengan bimbingan bagi pasangan pengantin dalam usia 5 tahun pertama perkawinan dalam format bimbingan Pengelolaan Keuangan Keluarga (PKK). Hal ini dilakukan karena masa 5 tahun pertama perkawinan merupakan usia rawan terjadinya konflik keluarga.
“Ikhtiar kecil ini untuk mendukung terwujudnya ketahanan keluarga menuju relasi sehat, harmoni dan membahagiakan bagi semesta,” pungkas Zudi. (RUL/Rilis)