Mubadalah.id – Suatu hari di tahun 2011 silam, aku menerima kiriman tulisan dari seorang sahabat melalui akun media sosial, yang menurutku saat itu sangat menyentuh, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Ketika aku tanyakan siapa yang menuliskan, sahabatku menjawab, ia dapatkan juga secara anonim. Hingga hari ini, kami masih belum menemukan siapa penulis aslinya, sehingga untuk menghindari plagiasi, penjelasan ini penting aku sampaikan.
Tulisan itu menceritakan tentang proses kehidupan manusia, untuk belajar menerima arti kegagalan dalam hidup, dan suka cita merayakan keberhasilannya. Bahwa sedari kecil kita semua diajari mengayuh, belajar melewati tanjakan penuh tebing dan turunan curam. Atau menikmati kelajuan maksimal saat menapaki bidang dataran sempurna. Berpeluh memeras otak dan tenaga, terkunci dalam konsentrasi tatapan numerik atau kata-kata.
Persis pembalap sepeda dalam menjalani tour panjang. Melewati medan yang mudah dan sulit. Menapaki etape demi etape. Label professional yang menjanjikan hitungan ketelitian, teknik yang matang, speed yang terarah, mengejar rekor dan kehati-hatian. Pun kadang masih terjungkal, jatuh, tertabrak, menabrak atau kehabisan energi sebelum mencapai finish. Kadang mereka menang, kadang mereka kalah, disebabkan segala keadaan yang melingkupi dirinya atau sekelilingnya.
Begitulah hidup, ibarat setiap kata kita dihadapkan pada tuntutan formal belajar. Berpacu dalam ruang yang tersekat-sekat, memiliki tingkatan ujian untuk kenaikan kelas. Banyak hal yang terjadi dan berproses selama otak dijejali ratusan kata-kata, ratusan angka, ratusan pakem untuk dimengerti.
Kita mencari jawaban dari keingintahuan walaupun kadang terpaku pada semakin ketidaktahuan. Kita mencari pengertian dan pemahaman, dengan isyarat anggukan atau gelengan, senyuman atau kerutan. Mencari jembatan keterpisahan ilmu dan diri kita. Mencari pemahaman, tetapi tujuan pencarian pemahaman secara “formal” diartikan dengan keberhasilan dan kegagalan.
Keberhasilan hidup kita didasarkan pada pencapaian standar baku angka nominal. Kegagalan kita adalah aib, dengan tanda kebodohan mutlak yang tertempel di dahi. Kegagalan adalah wajah suram. Kesuraman menjadi ketakutan. Ketakutan yang menimbulkan frustasi. Padahal lakon kehidupan ini tak selalu cerah. Seperti matahari yang tenggelam meninggalkan gelap, memberi waktu istirahat bagi belahan dunia lain yang sepi. Memberi recharge yang sudah terkuras saat mentari masih terik.
Kadang kita tak mengerti, keberhasilan hidup adalah sesuatu yang tak bisa terukur sempurna. Keberhasilan bukan angka tertinggi, seperti mengutip pepatah Cina kuno, “dia atas langit masih ada langit”. Keberhasilan adalah kepuasan hati atas proses dari usaha maksimal dan doa yang maksimal. Bukan kepuasan angka-angka. Karena keberhasilan adalah tercapainya pemahaman.
Kadang kita tak mengerti, kegagalan hidup adalah sesuatu yang tak bisa terukur sempurna. Kegagalan adalah saatnya kita menemukan pengertian baru dari pengertian kita sebelumnya yang tak berhasil. Kegagalan adalah proses bermakna, bukan sia-sia. Karena kita mengerti arti berhenti dan berpikir kembali. Bukan menangis atau mengutuki diri. Karena kegagalan akhirnya menjadi proses dan jalan tercapainya pemahaman.
Tak ada yang beda antara keberhasilan dan kegagalan. Tak perlu sorak sorai yang tak wajar kala berhasil. Dan tak perlu tangis penyesalan berlebihan kala gagal. Karena mereka ada saling menempel dan menyatu. Seperti koin yang berbeda gambar tapi satu bentuk dan tertera nilai nominal yang sama. Yaitu nilai tentang proses pemahaman atas sesuatu.
Saat aku melihat burung, aku ingin bertanya, siapakah yang mengajarinya bertengger di pepohonan? Bukan berdiri di atas lautan. Atau saat aku melihat kerbau, aku ingin bertanya, kenapakah padang rumput subur yang kau suka? Bukan pada rawa-rawa yang penuh ikan. Ya, karena mereka telah memahami dirinya, untuk melakukan sesuatu sesuai apa yang ada pada dirinya. Pemahaman yang sudah menyatu membentuk rasa nyaman dan tidak nyaman. Membentuk wajah yang bernama intuisi.
Intuisi itulah juga yang akan menuntun kita mengejar pemahaman yang kita suka dengan cara yang mudah kita mengerti. Belajar dari hal yang termudah yang bisa kita pahami, untuk mulai belajar memahami yang lain, yang lebih sulit menurut ukuran kita. Pada akhirnya dengan pengertian kita yang mudah, kita belajar merangkai kata-kata seperti seindah kita melihat dan memecahkan angka-angka, atau kita belajar membentuk angka-angka seperti seindah kata-kata yang kita baca.
Seperti keberhasilan pembalap sepeda yang berhasil memahami ukuran teknik bersepeda rute tanjakan atau turunan, untuk kapan dia harus menyimpan energi mengalahkan waktu. Seperti kegagalan pembalap sepeda kala harus jatuh di tengah perjalanan, gagal melanjutkan pertandingan. Tetapi dengan semangat dia akan mengatasi kegagalan untuk hasil yang lebih baik pada pertandingan ke depan.
Karena pembalap sepeda tak akan berhasil bermain tenis sebaik pemain tenis sesungguhnya, atau sebaliknya, meskipun pemanasan sebelum bermain adalah teknik gerakan yang sama. Karena yang membedakan adalah faktor intuisi di mana dia tahu dan nyaman untuk mencapai pemahaman termudah cara bermain yang terbaik. Meskipun ada kalanya dia akan gagal, tetapi intuisi itu yang menjadi daya tarik untuk mengangkat semangatnya kembali.
Biarlah keberhasilan dan kegagalan melewati proses yang benar dari sesuatu yang kita suka. Bukan kegagalan atau keberhasilan dari sesuatu yang dipaksakan. Kita menjadi mulai belajar memahami diri kita, menjadi apa yang kita inginkan, tanpa gengsi untuk memaksimalkan keberhasilan dan meminimalkan kegagalan. Karena sebagaimana burung tak akan bisa berdiri nyaman di atas lautan atau kerbau yang berpura-pura merasa enak memakan ikan. []
*)Wiwo Nino alias Ina Kahfiya pada 28 Juli 2011, mengirimkan tulisan ini melalui facebook yang ia dapatkan secara anonim. Lalu ditulis ulang oleh Zahra Amin