Mubadalah.id – Ada saat, dimana hal buruk sudah dianggap biasa saja oleh sebagian orang. Sementara menyamakan pemahaman adalah hal yang tak mudah.
Biasa atau Tidak?
“Anak batita rebutan mainan, suka ganggu temannya, atau mencakar, itu biasa…”, kata seorang guru saat ada orang tua yang melapor bahwa anaknya baru saja mendapatkan kekerasan fisik dari teman seusianya.
Tanggapan di atas kerap terjadi di lingkungan sekolah. Ketika terjadi kekerasan fisik antar anak didik, tak jarang pihak sekolah mengganggap tragedi seperti itu adalah hal yang biasa.
Konflik pun semakin meruncing saat guru dan orang tua tidak satu frekuensi dalam memandang dunia pergaulan anak. Terkadang, salah satu pihak, baik itu orang tua atau guru, sudah pernah mendapatkan edukasi parenting (pola asuh) yang cukup. Ketika terjadi hal-hal yang di luar konsep yang dipelajari, tentu akan muncul tuntutan.
Lalu, bagaimana seharusnya?
Saling Belajar
Pada dasarnya, baik orang tua dan guru, sama-sama “pendidik”. Bedanya hanya dari segi waktu dan tempat. Orang tua memiliki waktu yang lebih lama bersama anak, dibanding guru sekolah. Orang tua mengambil peran di rumah, sedangkan guru di sekolah.
Di sisi lain, masing-masing pihak tentu akan berada pada posisi kehilangan momen bersama anak. Maksudnya adalah ketika anak bersama orang tuanya di rumah, guru pasti kehilangan momen bersama anak. Sehingga, sang guru tidak mungkin melihat dan paham tentang pendidikan apa yang anak dapatkan ketika ia di rumah.
Begitu juga sebaliknya, saat anak di sekolah, orang tua tidak mungkin memantau secara intens prilaku dan aktivitas anak selama di sekolah. Sehingga, apapun yang terjadi di sekolah, sang Ayah dan ibu, tidak punya data yang cukup. Persamaan dan perbedaan inilah yang menjadi tuntutan dasar bahwa keduanya harus sama-sama “well educated” mengenai pola asuh dalam mendidik anak. Orang tua harus belajar parenting, begitu juga guru di sekolah.
Tujuannya adalah agar kedua belah pihak bisa saling sadar dan belajar akan kekurangan masing-masing. Sehingga sikap saling menghakimi tidak akan terjadi. Ketika ada perseteruan antar anak didik, orang tua harus konfirmasi data secara lengkap tentang apa yang anak lakukan di sekolah, apa pemicunya, dan bagaimana kondisi di sekolah saat itu.
Begitu juga guru, ia harus menggali informasi tentang latar kehidupan anak ketika di rumah, apa saja kegiatannya, dan hal-hal apa saja yang ia sukai dan tidak. Ketika data berhasil dikumpulkan dengan baik, maka konflik hanya terjadi sebatas anak dan temannya. Tidak merambah ke orang tua dengan guru, atau orang tua dengan sesama orang tua.
Terkadang, karena permasalahan tidak diselesaikan dengan baik, orang tua jadi ikut-ikutan marah dan membuat jarak dengan pihak sekolah atau orang tua yang terlibat masalah. Oleh karena itu, saling belajar tentang pergaulan anak, wajib bagi kedua belah pihak.
Sounding Secara Intens
Apapun alasannya, kekerasan fisik yang terjadi antara peserta didik, tidak boleh dianggap biasa. Adu argumen atau mempertahankan kemauan masing-masing, itu mungkin biasa. Bahkan hal ini juga kerap terjadi di kalangan orang dewasa. Namun ketika ada kekerasan fisik, siapapun wajib menegur dan melakukan tindakan preventif agar kejadian yang sama tidak akan terulang.
Saat anak sedang di rumah, orang tua harus secara intens menyuarakan (sounding) kepada anak, bahwa memukul, mencubit, atau mencakar teman, adalah perbuatan yang tidak baik, karena dapat menyakiti dan melukai temannya. Guru di sekolah, juga harus berulang kali menyampaikan bahwa apapun jenis kekerasan fisik bukanlah hal yang biasa dan harus dihindari.
Terlebih untuk anak usia batita, dengan karakter egosentrismenya yang masih sangat tinggi. Mereka belum mampu memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kalau mereka tidak suka dan kehabisan ide untuk memperjuangkan kemauannya, maka kekerasan fisik adalah langkah cepat yang mereka ambil.
Inilah yang menjadi alasan kuat mengapa guru sekolah dan orang tua harus satu frekuensi dalam mendidik anak. Jika salah satu pihak saja tidak paham, maka prilaku anak yang tidak baik, akan kembali terjadi. Wallahu a’lam bi al-shawab. []