Mubadalah.id – Kebanyakan remaja di zaman sekarang terlalu kebanyakan mikir, mereka menginginkan kehidupan mereka nyaman, tentram, dan sesuai harapan. Termasuk ketika hendak menikah, mereka dibingungkan apakah hendak bekerja terlebih dahulu atau langsung saja menikah, mengenai pekerjaan bisa nanti belakangan.
Penulis terinspirasi untuk membahas tentang ini, ketika melihat sebagian ustadz pesantren mendorong para muridnya untuk menikah terlebih dahulu sebelum bekerja. Dan gak usah bingung kalau mengenai rezeki yang sudah dijamin oleh Allah, terlebih ketika sudah menikah. Karena termasuk dari salah satu barakahnya pernikahan, adalah bisa mendatangkan rezeki.
Pemahaman demikian, salah satunya diambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Sayyidatina Aisyah Ra. “Nikahilah olehmu perempuan-perempuan itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.” (H.R. Hakim dan Abu Dawud)”. Sekaligus dikuatkan dengan pengalaman hidup beliau (ustadz), yang sebelum menikah sulit untuk mencari pekerjaan, tapi ketika sudah menikah, pekerjaan menjadi gampang.
Kalau ditinjau dari hukumnya pernikahan, menikah dalam Islam sebenarnya disunnahkan bagi orang yang sangat ingin untuk menikah, dan mempunyai cukup biaya. Biaya di sini meliputi mahar, pakaian, dan nafkah untuk si anak dan istrinya. Sehingga menikah bisa menjadi makruh bagi orang yang tidak ingin untuk menikah, dan bisa menjadi haram bagi orang yang tidak mempunyai biaya yang cukup.
Sehingga bukanlah suatu problem bagi seseorang untuk menikah dahulu sebelum bekerja, asalkan dipenuhi saja dulu syarat-syaratnya. Yang menjadi problem adalah ketika seseorang memprioritaskan menikah dari pada pendidikan. Lantaran pendidikan dapat membantu untuk menemukan pekerjaan dan biaya pernikahan.
Memprioritaskan pendidikan, bisa diilustrasikan kepada dua prinsip. Pertama, adalah dengan menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu setelah itu baru menikah. Prinsip ini biasanya dimiliki oleh seseorang yang lahir dari keluarga yang berpendidikan.
Kedua, adalah dengan menikah dulu namun tetap melanjutkan pendidikannya. Orang-orang yang berprinsip seperti ini, biasanya kekurangan ekonomi untuk menyelesaikan pendidikannya, sehingga menikah terlebih dahulu. Namun, dia tetap memiliki tekad yang kuat, hingga akhirnya mencari berbagai solusi untuk tetap melanjutkan pendidikannya.
Semisal kisahnya Imam Al Ghazali, ketika ditinggal ayahnya dalam keadaan yatim, dan tidak banyak harta yang ditinggalkannya. Beliau tetap memprioritaskan pendidikan, dengan cara masuk madrasah yang setiap harinya menyediakan makanan , dan biaya pendidikan secara cuma-cuma.
Ada lagi kisahnya seorang ulama, yang dikenal dengan nama Al-Mawardi. Seorang yang alim dari kalangan madzhab As-Syafi’i, dan juga bergelar “Qadli Al-Qudlah”. Beliau banyak menghasilkan karya, salah satunya adalah kitab Al-Hawi Al-Kabir (22 jilid). Namun ketika melihat profesi beliau, mungkin akan mengherankan, lantaran profesinya adalah sebagai pedagang air mawar yang dijajakan di pasar-pasar Bashrah.
Kalau mengacu pada Al-Maqasid As Syari’ah, tujuan disyariatkannya nikah adalah untuk menjaga keturunan (Hifdzu Ad-Nasl), yang urutan hierarkinya terletak nomer lima. Oleh karena itu masih lebih prioritas pendidikan, yang tujuan disyariatkannya adalah untuk menjaga akal (Hifdzu Al-Aqli), yang urutan hierarkinya terletak nomer tiga.
Memahami prioritas merupakan hal yang penting, karena setiap kita acapkali salah menempatkan perkara yang prioritas. Semisal, lebih perhatian kepada kekasih ketimbang orang tua, lebih suka begadang dan menggunakan banyak waktu untuk santai-santai ketimbang belajar, banyak menggunakan waktunya untuk ibadah namun lupa akan kesehatan badan, dan lain sebagainya.
Ketika seseorang hendak membahagiakan orang lain, maka dia harus membahagiakan diri sendiri terlebih dahulu. Karena logikanya, tidak mungkin seseorang bisa membahagiakan orang lain tanpa membahagiakan dirinya terlebih dahulu. Sehingga tak heran, apabila ada orang yang memprioritaskan kebahagiaan orang lain ketimbang dirinya, justru bukan malah bikin bahagia, tapi bikin menderita.
Sama halnya dengan guru yang ingin mencerdaskan muridnya, hendaknya mencerdaskan dirinya terlebih dahulu sebelum mencerdaskan orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataannya Almarhum K.H. Hariri Abdul Adzim (Mudir ke-3 Ma’had Aly Situbondo), “Seorang Guru wajib hukumnya untuk belajar terlebih dahulu sebelum mengajar.” Karena memang demikianlah seharusnya adab seorang guru menurut kitab Ta’lim Al Mutaallim.
Dan saking pentingnya suatu ilmu, Islam bahkan sampai mewajibkan ummatnya untuk mencari ilmu, dan menyuruh ummatnya untuk mencari ilmu walaupun ke Negeri China. Dan sekarang, Meski sebegitu rumitnya kehidupan kita, masihkah kita mau mengesampingkan bahkan meninggalkan pendidikan demi cinta akan kekasih? Wallahua’lam. []