Mubaadalah.Id– Keputusan DPR merupakan langkah maju untuk mengakhiri kekerasan seksual sekaligus melindungi semua warga negara tanpa kecuali dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Berdasarkan catatan 16.943 kasus kekerasan seksual terjadi selama pembahasan RUU PKS.
Kendati demikian, sayangnya, selama 3 tahun sejak tahun 2016 hingga September 2019 (masa akhir periode DPR RI), belum ada kemajuan penting dalam pembahasan RUU P-KS. Bahkan selama pembahasan RUU tersebut sudah terjadi 16.943 kasus kekerasan seksual.
Hal itu diungkapkan oleh Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Veni Siregar, saat ditemui Mubaadalahnews, di depan gedung MPR/DPR, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa, 17 September 2019.
“Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasasan seksual. Dalam artian, resiko setiap warga negara mengalami kekerasan seksual terus meningkat,” tegas Veni.
Menurutnya, Panitia Kerja (Panja) RUU P-KS Komisi VIII terkesan mengulur-ulur waktu dan menghindari kewajiban sebagai wakil rakyat untuk segera membahas serta mengesahkan RUU yang menjadi inisiatifnya sendiri.
Jika merujuk pada Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, kata Veni, total kekerasan seksual yang terjadi sejak 2014 hingga 2017 sekitar 21.310 kasus, dengan rata-rata terjadi 5327 kasus per tahunnya.
Hal yang sama pada hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama BPS Tahun 2016 juga menemukan sebanyak 33,4 persen perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan.
“Kekerasan seksual adalah kasus yang tertinggi yaitu 24,2 persen,” paparnya.
Bahkan Veni mengungkapkan bahwa penelitian yang dilakukan FPL sendiri di tahun 2015-2016 di 20 Provinsi juga menemukan bahwa hanya 10-15 persen pelaku kekerasan seksual yang dihukum pengadilan.
“Ini mendorong kepihatinan untuk kita, serta menciptakan gelombang besar dukungan dari masyarakat sipil dan rakyat di seluruh Indonesia yang bersuara satu yaitu mendukung pembahasan dan pengesahan RUU P- KS,” ungkapnya.
Lebih lanjut lagi, sudah banyak juga hasil penelitian objektif dan kesaksian yang diberikan para korban, bahwa tingginya resiko kekerasan seksual telah menghambat, membatasi serta merampas kebebasan dan hak-hak fundamental warga negara.
“Tidak main-main, para korban terhambat untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, serta hak-hak lain dalam rangka keberkelanjutan hidup yang layak. Korban juga terhambat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sehingga tidak dapat menjadi ambil bagian sebagai sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana cita-cita Indonesia,” jelasnya.
Dengan demikian, selama pembahasan RUU PKS yang sudah mandek selama tiga tahun terakhir, sudah ada sekitar 16.943 kasus kekerasan seksual terjadi. Ini mendesak untuk segera disahkan oleh DPR. (RUL)