Mubadalah.id – Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan yang sangat mulia diantara bulan-bulan lainnya. Maka tak heran jika seluruh umat Islam sangat bahagia dengan kedatangan bulan Ramadhan. Karena selain sebagai momentum sakral untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, pada bulan ini juga terdapat limpahan ampunan Allah yang diberikan kepada hambanya. Yakni dengan cara memperbanyak ibadah kepada Allah dengan cara orang berpuasa, tadarus al-Qur’an, zakat, tarawih dan bentuk ibadah lainnya.
Kedatangan bulan suci Ramadhan di dua bulan sebelumnya telah disambut hangat oleh umat Islam, yakni dengan kegiatan Isra’ wal Mi’raj Nabi Muhammad serta pembacaan surat Yasin 3 kali pada malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Dua bulan tersebut ialah bulan Rajab dan bulan Sya’ban, yang juga merupakan bulan yang agung diantara bulan lainnya. Oleh karenanya dianjurkan untuk memperbanyak memohon do’a ;
أالّلهم بارك لنا فى رجب وشعبان وبلّغنا رمضان
Artinya : “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan Sampaikanlah kami di bulan Ramadhan”.
Selain itu juga, bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan yang mulia dan bulan yang berkah, karena di bulan ini kitab suci al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat serta dijadikan pedoman bagi umat Islam sedunia untuk selalu berpegang teguh pada al-Qur’an sebagai petunjuk dan mengharapkan keberkahan serta pahala dari Allah swt.
Maka tidak heran jika setiap mushala dan masjid-masjid ramai dengan bacaan al-Qur’an (tadarusan), semata-mata untuk mengagungkan kalimatullah dan rasa syukur kita karena telah dipertemukan Kembali di bulan yang mulia ini. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ; 185.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
Artinya : “ Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang benar dan yang bathil)”.
Pada bulan ini, semua umat Islam di perintah Allah Swt untuk melaksakan puasa satu bulan penuh selama bulan Ramadhan. Melaksanakan puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi siapapun yang beriman dan beragama Islam. Sebagaimana yang termaktub di dalam Rukun Islam yang ke-empat ialah berpuasa di bulan Ramadhan. Demikian pula firman Allah Swt di dalam Qs. al-Baqarah/183 ;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya : “Wahai orang-orang beriman!. Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajikan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Istilah puasa di dalam Bahasa arab ialah “as-Shaumu atau as-Shiyaam” yang bermakna menahan. Melaksanakan puasa tersebut ialah menahan dari syahwat perut dan syahwat kemaluan. Menahan syahwat perut ialah menahan dari rasa lapar dan haus, sedangkan menahan syahwat kemaluan ialan menahan dari berhubungan badan (Ijma’) bersama istri, serta seluruh perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Semua itu dimulai sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.
Setelah mengetahui pengertian dan hukum berpuasa Ramadhan di atas, maka kita harus mengetahui juga tingkatan Shaa’im (orang yang berpuasa). Mengutip pesan Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bahwa tingkatan orang yang berpuasa itu ada tiga (3) tingkatan. Diantaranya ialah ; Puasanya orang awam, puasanya orang khawas (khusus) dan puasanya orang yang khawasul khawas (khususil khusus).
Pertama, puasa orang awam
Puasa orang awam merupakan puasa yang berada di level standar, yang pada umumnya seseorang biasa-biasa saja dalam melaksanakan puasa. Ialah hanya cukup dengan menahan lapar dengan tidak makan dan menahan haus dengan tidak minum serta menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa secara syari’at (yang tampak saja).
Rasulullah Saw bersabda dalam suatu hadist nya berbunyi ;
كم مِن صائم ليس له مِن صيامهٖ إلّا الجوع والعطش
Artinya : “Berapa banyak dari orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan pahala puasanya kecuali hanya sekedar menahan dari rasa lapar dan haus?”
Oleh karena itu, mungkin jika di persentase dengan skor, pada level ini cukup dengan good saja tidak sampai pada skor very good atau excellent.
Kedua, puasa orang khawas (khusus)
Puasanya orang yang khusus merupakan puasa yang berada pada level diatas level standar pada umumnya. Mereka yang berpuasa pada level ini tidak hanya sekedar menahan rasa lapar dan rasa haus serta hal-hal yang dapat membatalkan.
Tapi mereka juga menahan pendengaran untuk tidak mendengar suatu berita yang maksiat, menahan penglihatan untuk tidak melihat suatu perkara yang maksiat, menahan tangan dan kaki untuk tidak digunakan jalan menuju kemaksiatan, serta menahan mulut dan lisan untuk tidak menggunjing, menggosip apalagi memfitnah, begitu pula dengan anggota tubuh yang lain juga ditahan agar tidak digunakan di jalan kemaksiatan.
Lebih tepatnya di zaman sekarang, mungkin juga menahan jari-jarinya untuk tidak menyebarkan berita hoax di media sesial, serta tidak membuat pertikaian antara satu dengan yang lain dengan alat komunikasi yang berupa smartphone. Mungkin persentase skor pada level ini ialah very good.
Ketiga, Puasa orang khawasul khawas (khususil khusus)
Puasa orang khawasul khawas (khususil khusus) merupakan level puasa yang tinggi menurut klasifikasi Imam al-Ghazali. Praktik puasa ini merupakan tingkatan puasa yang istimewa, excellent. Mereka yang berpuasa pada level ini tidak hanya menahan lapar, haus, hal-hal yang membatalkan serta anggota tubuh yang telah dipaparkan di atas.
Akan tetapi, mereka juga menahan hati dari keraguan akan ha-hal keakhiratan, dan menahan fikirannya dari hal-hal duniawiyah serta menjaga diri dari berfikir kepada selain Allah swt.
Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbesit dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan duniawi. Bahkan menurut kelompok ini puasa akan terkurangi nilainya, dan bahkan dianggap batal jika di dalam hatinya terdapat keraguan sedikit saja atas kekuasaan Allah.
Pada level ini merupakan puasa para Nabi, Shiddiqin, dan Muqarrabin. Sedangkan pada level kedua adalah puasanya bagi orang-orang shalih. Lantas dimanakah tingkatan puasa kita berada? Oleh karena itu, upaya Imam al-Ghazali dalam mengklasifikasikan orang yang berpuasa ke dalam tiga level tersebut, tak lain tujuannya adalah agar kita yang setiap tahun berpuasa Ramadhan bisa selalu berusaha menapaki tangga yang lebih tinggi dalam kualitas ibadah puasa. []