Mubadalah.id – Dalam peradaban Islam, awal mula rintangan terbesar dakwah Rasulullah adalah mengenalkan Tuhan yang metafisik, dogma agama, suprarasional syariat Islam dan mengenalkan Al-Qur’an kepada masyarakat yang nilai kebudayaannya masih primitif, konservatif, amoral dan melekat dalam dogma paganisme serta memiliki pola pikir yang distorsif.
Terlebih corak karakter masyarakat Arab terbilang tersekat dengan klen atau fanatik kesukuan, sehingga dapat dikatakan sensitif jika tidak adanya kesalingan antar suku, dan dapat terjadi peperangan padang pasir apabila terdapat konflik di antara mereka. Pada waktu yang bersamaan, hal inilah yang menghambat proses dakwah Rasulullah di jazirah Arab.
Untuk itu, menurut satu versi yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap atau berangsur-angsur, berargumen bahwa untuk memahami dan beradaptasi dalam mengenalkan Al-Qur’an di tengah masyarakat yang memiliki karakteristik seperti yang telah disebutkan di atas, tidaklah mudah untuk mendapatkan simpati dan respon baik dalam menerima ajaran agama baru dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Mereka tidak hanya menyangsikan, bahkan mereka bertindak opensif dalam menghentikan dakwah Rasulullah. Sehingga, apabila Al-Qur’an diturunkan secara kolektif, niscaya akan sulit untuk memahami nilai-nilai Al-Qur’an dan menghafalnya. Sebagaimana keterangan dalam kitab Tarikhu Nuzul Al-Qur’an halaman 43:
اَدْرَكْنَا الْحِكْمَةَ مِنْ نُزُوْلِ الْقُرانِ الْكَرِىْمِ مُفَرِّقًا لِىَقْرَاُهُ الْرَّسُوْلُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَلِيُرَتِّلُهُ تَرْتِيْلاً يَسْهُلُ مَعَهُ حِفْظُهُ وَ فَهْمُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ
Artinya: “kami menemukan sebuah hikmah dari proses turunnya Al-Qur’an secara terpisah-pisah supaya Rasulullah dapat mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dengan konsisten dan dapat membacakannya dengan tartil yang akan mempermudah menghafal, memahami dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.”
Hal ini juga untuk menepis para orientalis barat yang sangat membenci Islam yang memunculkan opini-opini miring sebagai upaya melemahkan agama Islam, serta membendung peradaban Islam di barat yang semakin hari semakin menggemuk. Salah satu upaya tersebut adalah menyangsikan model gradual dalam penurunan Al-Qur’an.
Mereka merangkai opini yang sekilas terkesan logis lewat sejarah turunnya kitab-kitab Nabi terdahulu yang semuanya diturunkan secara langsung. Sehingga mereka beranggapan bahwa jika memang Al-Qur’an kalam Tuhan, maka seharusnya juga diturunkan secara keseluruhan, bukan sepenggal-sepenggal.
Oleh karena itu, dengan alasan tersebut di atas, mereka meyakinkan banyak pihak bahwa Al-Qur’an merupakan karangan Muhammad Saw. Opini semacam ini sebenarnya juga pernah terjadi di masa Nabi Saw. Menurut keterangan Ibnu Abbas, kafir Quraisy pada saat itu mengejek Rasulullah Saw serta menertawakannya dengan menyebar opini tentang keanehan-keanehan metode penurunan Al-Qur’an yang berbeda dengan kitab Samawi sebelumnya.
Kejadian ini melatarbelakangi turunnya surat al-Furqon ayat 32 untuk menepis ujaran mereka. Dalam Wahyu tersebut Allah Swt secara tegas menjelaskan hikmah turunnya Al-Qur’an secara bertahap:
وَقَالَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَيۡهِ الۡـقُرۡاٰنُ جُمۡلَةً وَّاحِدَةً ۚ كَذٰلِكَ ۚ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُـؤَادَكَ وَرَتَّلۡنٰهُ تَرۡتِيۡلًا
Artinya “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya kami memperkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqon: 32)
Al-Qur’an diturunkan secara gradual adalah metode yang sangat tepat, sebab di samping kisah-kisah dan hikmah, Al-Qur’an memang diturunkan untuk membawa hukum. Andaikata Al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan, niscaya pemeluk Islam pada saat itu akan terkejut dan merasa keberatan menjalankan hukum-hukum yang tertera di dalamnya, apalagi kedatangan Islam pada saat itu sudah dianggap ajaran yang asing dan aneh.
Maka, hikmah yang tersemat dalam pembahasan ini adalah mengajarkan umat manusia menerapkan undang-undang Allah Swt secara perlahan melalui fase-fase tertentu dan secara berangsur. Terlepas dari itu, para pemeluk Islam akan mudah menancapkan ajaran yang disampaikan dalam hati mereka seraya bisa langsung mengamalkannya. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap juga senantiasa menguatkan kegundahan hati Nabi yang selalu diterpa gangguan gembong kafir Quraisy.
Terakhir yang perlu diingat adalah dengan konsep Al-Qu’ran diturunkan secara berangsur-angsur, justru lebih menahbiskan Al-Qur’an sebagai dokumenter terbaik dalam peristiwa bersejarah, khususnya peristiwa penting dalam Islam. Jika kita sedikit cermat, hampir nihil peristiwa penting dalam Islam yang tak tercover, terutama oleh Al-Qur’an sendiri.
Lalu, mengenai sejarah turunnya Al Quran, Syekh M. Ali as-Shabuni bercerita bahwa Al-Qur’an pertama kali turun pada tanggal 17 Ramadhan saat usia Rasulullah mencapai 40 tahun (sekitar 608-609 M). Ketika Rasulullah sedang beruzlah di gua Hira yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Makkah, tiba-tiba Jibril datang membawa wahyu.
Jibril memeluk dan melepaskan Rasulullah Saw. Hal ini diulanginya sebanyak 3 kali. Setiap kali memeluk, Jibril mengatakan, “Iqra’!” yang memiliki arti “bacalah.” Kemudian Rasulullah menjawab “Aku tidak mengenal bacaan.” Hingga pada kali ketiga, Jibril melanjutkan dengan membacakan surah Al-Alaq ayat 1-5 yang berbunyi “Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq, khalaqal insana min alaq. Iqra wa rabbukal akram. Alladzi ‘allama bil qalam. Allamal bil qalam. Allamal insana ma lam ya’lam.”
Jika ditelisik lebih jauh, proses turunnya mukjizat terbesar Rasulullah tersebut melalui tiga fase. Untuk fase pertama, kitab suci Al-Qur’an diturunkan pertama kali ke Lauh al-Mahfudz secara keseluruhan. Hal tersebut dijelaskan melalui firman Allah SWT dalam Q.S Al-Buruj ayat 21-22:
( بَلۡ هُوَ قُرۡءَانٞ مَّجِيدٞ (٢١)فِي لَوۡحٖ مَّحۡفُوظِۢ (٢٢
Artinya, “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh al-Mahfuzh”. (QS. al-Buruj [85]: 21-22)
Dari penggalan ayat di atas, para mufassir sepakat bahwa ayat ini menjelaskan turunnya Al-Qur’an di Lauh al-Mahfudz.
Lalu pada fase kedua, kitab suci Al-Qur’an diturunkan secara utuh dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-‘Izzah pada bulan Ramadhan, yakni bertepatan dengan malam Lailatul Qadar. Dalil yang menjadi landasan untuk fase kedua ini adalah firman Allah SWT dalam penggalan ayat Q.S Al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ
Artinya, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
Ayat Al-Qur’an di atas juga diperkuat dengan hadits berikut ini:
فُصِلَ القُرْآنُ مِنَ الذِّكْرِ )أي: اللّوح المحفوظ(، فَوُضِعَ فِي بَيْتِ العِزَّةِ مِنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا،فَجَعَلَ جِبْرِيلُ عليه السّلام يَنْزِلُ بِهِ عَلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم
Artinya, “Al-Quran dipisahkan dari ad-Dzikr (Lauh al-Mahfudz lalu diletakkan di Bait al-‘Izzah di langit dunia. Kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi Saw.” (HR. Hakim dalam al-Mustadrak)
Menyikapi ayat dan hadits di atas terkait fase kedua diturunkannya Al-Qur’an, para mufasir, seperti Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir as-Sa’di, dan pakar tafsir lalinnya, sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan secara utuh dari Lauhul Mahfudz ke Bait al-‘Izzah.
Kemudian pada fase ketiga yang merupakan fase terakhir dari Al-Qur’an diturunkan tersebut, melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sesuai dengan konteks peristiwa pada saat itu. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah dalam Q.S as-Syu’ara ayat 193-195 yang merupakan dalil yang menjadi dasar adanya fase ketiga ini.
نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ (١٩٣)عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ (١٩٤) بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ (١٩٥)
Artinya, “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. as-Syu’ara [26]: (193-195)
Namun sebenarnya, dari Lauh al-Mahfudz, Jibril menerima Al-Qur’an dari Malaikat penjaga secara berkala selama 20 malam. Lalu Jibril menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw berangsung-angsur selama 20 tahun. Dalam keterangan lain yakni dalam al-Arjuzah al-Munabihah halaman 86 mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan lebih dari 20 tahun.
Oleh karena itu, seperti yang kita ketahui bahwa ayat Al-Qur’an diturunkan secara inheren dengan konsep kausal atau sebab akibat (asbab an-Nuzul). Hal tersebut merupakan sudut pandang bidikan dalam memahami proses Al-Qur’an diturunkan. Walhasil, untuk mengenalkan ajaran Islam dan mengenalkan Al-Qur’an beserta kandungan maknanya, membutuhkan waktu yang panjang dan tidak sebentar untuk bisa beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat Arab yang kala itu disebut dengan masyarakat Jahiliyah. []