Mubadalah.id – Teman, masih ingat dengan sinetron Dunia Terbalik yang pernah tayang di salah satu stasiun tv swasta negeri ini? dalam sinteron tersebut kurang lebih menceritakan bagaimana para suami menjadi orang tua tunggal, dan terlibat penuh dalam hak asuh anak, sementara istrinya pergi bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Kisah dalam sinetron tersebut, tak berbeda jauh dengan kondisi di daerah tempat tinggalku di Indramayu, di mana para suami merasa bangga menjadi bapak rumah tangga, sementara para istri bekerja di luar rumah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh suami, yang memberikan dukungan penuh atas pilihan apapun yang saya inginkan. Termasuk bekerja dan tetap melanjutkan pendidikan. Meski demikian saya tetap merasa gelisah ketika harus pergi bekerja ke luar kota, dan harus meninggalkan anak-anak untuk waktu yang lama. Selalu saja muncul kekhawatiran tentang hak asuh anak, bagaimana jika anak-anak akan terlantar dan tidak terurus?
Tetapi suami meyakinkan bahwa ia mampu untuk menjaga anak-anak, dan memastikan hak asuh anak akan berjalan baik-baik saja. Walaupun ia sendiri sebagai tenaga kesehatan dan ASN yang juga punya kesibukan pekerjaan tidak sedikit. Namun komitmen untuk melakukan hak asuh anak secara bersama ini berjalan begitu saja secara alami. Kadang-kadang kami bergantian membawa anak ke tempat kerja. Ia tidak sedikitpun merasa malu atau ragu.
Hingga suatu hari, ketika saya menyampaikan ada kegiatan di Malaysia untuk satu minggu ke depan, sementara usia anak kami masih di bawah lima tahun, yang awalnya saya merasa khawatir suami akan melarang, malah sebaliknya justru memberi dukungan, dan hampir setiap hari selama saya berada di negeri jiran itu, kami aktif berkomunikasi memberitahu kegiatan apa saja yang ia lakukan bersama anak di rumah.
Secara tegas ia meyakinkan saya bahwa ia sanggup menemani putri kecil kami yang masih berusia 3 tahun. Situasi tersebut tentu tidak mudah, karena baru pertama kali saya pergi jauh, dan dalam waktu lama tanpa suami dan anak-anak. Tetapi kesulitan-kesulitan tersebut akhirnya bisa teratasi, dan kekhawatiran saya tidak terbukti. Suami saya berhasil membuktikan diri menjadi ayah yang tangguh dan penuh kasih bagi puteri kami dalam memenuhi hak asuh anak secara bersama.
Tentu, upaya kami sebagai orang tua, hanya sedikit mencoba mempraktikkan apa yang telah Nabi Muhammad SAW ajarkan, tentang bagaimana perlakuan dan rasa cinta kasih Nabi pada keluarganya. Hingga hari ini, tidak hanya bagi kami saja, Nabi Muhammad saw. menjadi teladan bagi umat Islam sepanjang zaman.
Dalam suatu riwayat dikisahkan Rasulullah saw. aktif membangun kedekatan emosional dengan putra-putri dan juga cucu-cucu beliau dengan mencium, memeluk, memangku, dan lain-lain sampai menimbulkan keheranan karena masyarakat belum terbiasa kenapa Nabi Saw. begitu memperhatikan soal pengasuhan anak dari para putrinya. Misalnya kesaksian Aisyah ra. tentang kedekatan Rasulullah saw. dengan putrinya yang bernama Fatimah ra. berikut ini:
“مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ .قَالَتْ :كَانَ النَّبِيُّ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَاثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَاالنَّبِيُّ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ”
Artinya:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi saw. dalam cara bicara maupun duduk daripada Fatimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi saw. melihat Fatimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fatimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi saw. datang padanya, maka Fatimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (HR. Bukahri No. 947).
Demikian pula sikap beliau saw. pada cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ
Nabi saw. mencium Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah saw. pun melihat kepada Al-‘Aqro’ dan bersabda: “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi, maka ia tidak akan dirahmati” (HR Bukhari No. 5997).
Di samping memberikan teladan secara langsung, Rasulullah saw. juga menegur masyarakat di masa itu, yang memperlakukan anak-anak dengan cara yang tidak adil, dan mengingatkan perlunya menjaga ketaqwaan pada Allah dengan memperlakukan anak secara adil. Penuturan sahabat Nabi yang bernama An-Nu’man bin Basyir ra. menunjukkan hal ini:
تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ، فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ :لاَأَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللهِ .فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ :أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ :لاَ .قَالَ :اِتَّقُوااللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ .فَرَجَعَ أَبِي فَرَدّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ
Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya padaku. Berkatalah ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, “Aku tidak ridha hingga engkau meminta persaksian Rasulullah saw. atas pemberianmu itu.” Pergilah ayahku menghadap Nabi saw. untuk meminta persaksian beliau atas pemberiannya padaku. Rasulullah saw. pun bertanya, “Apakah engkau lakukan hal ini pada semua anakmu?” Dia menjawab, “Tidak!” Beliau berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian!” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberiannya itu. (HR. Bukhari No. 2447)
Keterlibatan ayah dalam hak asuh secara bersama, dan kedekatan dengan anak yang diteladankan Rasulullah saw. menunjukkan bahwa pendidikan dan pengasuhan anak tidaklah menjadi tanggung jawab ibu semata, melainkan juga tanggung jawab ayah.
Setiap orang tua termasuk ayah yang menginginkan keluarga bahagia, dan anaknya sukses di dunia serta akhirat mesti terlibat langsung dalam menanamkan dan meneladankan nilai-nilai fundamental kehidupan pada anak sebagai konsekuensi logis harapan tersebut.
Bahkan jika sudah mempunyai anak yang sudah baligh atau bisa diajak berkomunikasi dua arah, bisa juga dilibatkan dalam aktivitas keluarga yang sederhana. Agar ikatan emosional dalam bangunan yang bernama rumah tangga itu semakin kuat. Seperti bunyi tagline iklan semen. Kokoh tak tertandingi. Harapan yang sama, begitu juga dengan saya, suami dan anak-anak kami. Semoga! []