Mubadalah.id – Semua sumber keagamaan mencatat, bahwa Nabi Adam a.s dan Ibu Hawa adalah pasangan pertama yang Tuhan ciptakan untuk kemudian menjadi khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Bahkan sebelum Adam tercipta, dan juga sebelum bersama dengan Hawa memakan buah Khuldi, Allah Swt. telah bertujuan untuk menempatkan mereka di bumi-Nya, bukan di surga. Di balik peristiwa tersebut, ada hikmah di balik makna buah khuldi.
Maka sungguh tidak tepat jika kita menyatakan bahwa turunnya mereka ke bumi sebagai bentuk hukuman, juga mengambing-hitamkan Ibu Hawa sebagai sumber penderitaan, karena semuanya tidak terlepas dari kehendak-Nya. Bukankah pertobatan mereka karena telah terbujuk rayuan syetan telah diterima oleh-Nya saat mereka masih di Surga (QS. Thaha: 122). Lagi-lagi, turunnya mereka berdua ke bumi bukanlah hukuman, melainkan sebagai tujuan dari penciptaan mereka (manusia) itu sendiri.
Gus Baha dalam ceramahnya yang tersebar luas melalui akun Tiktok @Kingojan021 juga menegaskan, bahwa bukan Ibu Hawa yang mempengaruhi Nabi Adam as. hingga akhirnya memakan buah Khuldi, melainkan karena bujuk-rayu iblis yang dengan liciknya memengaruhinya, dengan menyematkan kalimat “wallahi” sebagai kalimat yang meyakinkannya.
Di balik peristiwa makna buah khuldi ini secara tidak langsung menunjukkan, bahwa Nabi Adam as. adalah manusia, makhluk yang diciptakan dengan beragam nafsu jiwa di dalamnya, baik nafsu yang bersifat seperti sifatnya Malaikat, maupun yang bersifat seperti sifatnya iblis.
Jika mengutip pernyataan Rektor ISIF, KH. Marzuki Wahid, bahwa jika ada suatu kemaksiatan, maka yang dikutuk adalah perbuatannya, bukan subjek orangnya, karena subjek atau mukallaf itu memiliki potensi untuk berubah. Layaknya Nabi Adam as., kita semua sebagai anak biologisnya juga diturunkan potensi-potensi serupa, yakni potensi-potensi untuk melakukan kemaksiatan ataupun amal saleh, dan itu adalah perjuangan kita bersama untuk selalu memperbaiki diri sepanjang masa.
Mengapa sepanjang masa? Karena sesuai wahyu-Nya, bahwa manusia memiliki peluang untuk saling bermusuhan di bumi. Bumi adalah tempat yang dibatasi waktunya sebagai tempat tinggal dan mencari kesenangan. Di bumi mereka akan hidup, lahir, mati, dan juga dibangkitkan kelak (QS Al-A’raf: 24-25).
Narasi tidak tepat mengenai Ibu Hawa yang membujuk Nabi Adam as. sudah mengakar dan diturunkan sejak generasi-generasi terdahulu. Hal ini adalah narasi yang tidak islami, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Yusuf Qardawi dalam Fatwa-fatwa Kontemporer, bahwa narasi misoginis ini lahir dari ‘penafsiran’ atas Kitab Taurat yang kemudian diimani oleh sebagian kaum Yahudi dan Nasrani saat itu.
Namun dengan datangnya Alquran, Allah Swt. juga menegaskan kembali, bahwa bukan mutlak tanggung jawab Ibu Hawa, melainkan mereka berdua, yakni Adam as. dan Ibu Hawa (QS. Thaha: 120-12 dalam Tafsir Al-Misbah). Kendati demikian, tafsiran atas Taurat memberikan corak dan pengaruh tersendiri terhadap pemikiran mufasir dalam Islam, sehingga narasi-narasi misoginis ini juga memiliki ruang tersendiri dalam literatur keislaman (salah satu contohnya lihat Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits karya Ibnu Al-Atsir jilid III halaman 158).
Menjadi kekuatan paradigma Mubadalah menurut KH. Faqih Abdul Kodir ialah untuk memiliki beragam inspirasi atas ayat, supaya ayat yang ditafsirkan menjadi ayat yang rahmatan lil alamin. Termasuk dalam ayat-ayat tentang penciptaan Nabi Adam as. berikut segala peristiwa yang disandarkan kepadanya. Apa inspirasi yang didapatkan dari persitiwa bujuk-membujuk untuk memakan buah Khuldi ini? Apa makna buah khuldi dalam peristiwa itu?
Ya, inspirasi tentang konsep musyawarah. Bujuk rayu iblis kepada Nabi Adam as. dan Ibu Hawa memberikan ruang kepada keduanya untuk berpikir, mempertanyakan kebenaran bujukan Iblis atas perintah yang berisikan larangan-Nya. Bukan diri Nabi Adam as. ataupun sosok Ibu Hawa seorang diri yang mendominasi keputusan untuk memakan buah Khuldi ini, melainkan telah menjadi keputusan bersama. Bukankah dalam ayat-Nya juga ditegaskan, bahwa yang terbujuk adalah keduanya, dan yang memakannya pun mereka berdua.
Berdasarkan hal ini tampak dengan jelas, bahwa sebuah keputusan bersama itu didasari atas kesepakatan bersama pula. Narasi ini bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, namun narasi ini memberikan insight bahwa mencari kesepakatan atau bermusyawarah adalah hal yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki tujuan bersama dalam sebuah relasi yang dibangun.
Apapun yang menjadi hasilnya, entah baik atau buruk, itu adalah konsekuensi yang juga harus ditanggung bersama, bukan justru saling mengkambing-hitamkan pihak lainnya.
Musyawarah adalah amalan surga, itu adalah inspirasi yang saya dapatkan. Dalam kehidupan berumah-tangga tidak sedikit pasangan yang tidak memiliki komitmen pasti untuk hal ini. Tidak sedikit pasutri memutuskan hal-hal dalam pernikahan secara sepihak, sehingga suka-duka yang dialami juga tidak dapat dirasakan dengan perasaan yang penuh kerelaan bersama, melainkan justru menjadi akar masalah timbulnya masalah-masalah baru yang dapat membawa kesengsaraan yang berkepanjangan.
Musyawarah adalah indikator dari komunikasi yang baik, tidak saja dalam relasi pasutri, namun juga relasi orangtua-anak, kakak-adik, tetangga, atasan-bawahan, dan semua bentuk relasi yang tercipta di dunia. Dari kisah buah Khuldi ini kita belajar, kita harus memiliki komitmen diri untuk dapat bermusyawarah, karena musyawarah adalah amalan surga, amalan BERSAMA sebagai manusia yang tidak hidup sendiri, amalan yang mengarahkan manusia untuk dapat menjalani kehidupan dengan saling membahagiakan dengan penuh kerelaan. []