“Fahmi masak apa ? Duh ko kasihan banget sih, memangnya teman-temanmu yang perempuan pada kemana?”
Begitulah kira-kira perkataan dari bibi si Fahmi yang tidak sengaja saya dengar di balik kamar.
Fahmi adalah salah satu teman saya yang sedang Praktik Islamologi Terapan (PIT) atau setara dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah Jamblang Cirebon. Saya dan Fahmi memang masuk dalam satu kelompok. Kita di sini bersepuluh, empat perempuan dan enam laki-laki.
Selama 2 bulan mendatang, kami memang akan tinggal di rumah saudara Fahmi. Rumahnya memiliki 2 lantai dan cukup besar. Saya dan teman-teman diperbolehkan untuk ngontrak di lantai duanya saja. Sedangkan yang punya rumah di lantai 1. Di sana kita hanya disediakan peralatan dapur di lantai 2, dua kamar tidur dan sebuah aula besar.
Mari kembali ke perkataan yang di atas. Perkataan dari bibi Fahmi itu saya dengar di hari Minggu lalu, tepatnya ketika teman-teman saya baik yang laki-laki maupun perempuan sedang pulang. Karena memang di hari Minggu kemarin, kebetulan kami tidak ada jadwal dengan masyarakat. Sedangkan di kontrakan hanya ada saya dengan Fahmi.
Saat itu, Fahmi sedang masak oseng kangkung, tempe goreng, lalapan, dan sambel untuk menu makan siang. Entah kenapa, tiba-tiba dari dekat terdengar suara bibi Fahmi yang mengatakan, “Fahmi masak apa ? Duh ko kasihan banget sih, memangnya teman-temanmu yang perempuan pada kemana ?”.
Dari bilik kamar sebetulnya saya agak risih juga mendengar perkataan dari bibi Fahmi itu, kok laki-laki masak malah dikatain. Apalagi merasa kasihan melihat laki-laki masak. Duhh greget juga sihh dengarnya. Dalam urusan masak-memasak bagi sebagain masyarakat di pedasaan memang masih tabu kalau ada laki-laki yang masak, karena tugas masak ataupun tugas dapur itu tugasnya perempuan.
Jadi kalau ada laki-laki yang sedang masak itu harus dibantu, harus dikasihani, nanti makanannya keasinan, makanannya tidak enak, nanti gosong, tidak cocok, kurang pas, bukan bidangnya, disalahkan dan dianggap kalau ada laki-laki yang masak itu seperti perempuan.
Begitupun, kalau kita ingat waktu kecil dulu. Bahwa kalau ada anak laki-laki yang main masak-masakan justru dia akan dimarahi oleh orang tuanya. Karena masak-masakan adalah permainan perempuan. “Kamu itu laki-laki, ya main permainannya juga laki-laki dong. Main masak-masakan itu ya buat perempuan. Masa laki-laki main masak-masakan sih. Ayo pergi, bapak dan ibu beliin mainan mobil-mobilan, motor-motoran, dan pesawat-pesawatan buat kamu.”
Memang tanpa kita sadar bahwa sedari dulu kita selalu diajarkan oleh orang tua kita bahwa permainan itu sudah berjenis kelamin. Ada laki-laki dan ada perempuan. Kalau mobil-mobilan, motor-motoran dan lain-lain itu untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan itu ya masak-masakan, rumah-rumahan, dokter-dokteran dan lain-lain.
Dan kalau ada anak perempuan yang main mobil-mobilan itu dicap sebagai anak tomboy, sebaliknya kalau ada laki-laki yang main masak-masakan justru akan dikatakan sebagai banci. Ehhh ko malah ngomongin permainan sih… hehehe. Tapi ada benarnya juga sih, menurut saya, ini menjadi salah satu penyebab kenapa para ibu dan bapak termasuk bibi sekalipun masih mencibir kalau ada laki-laki yang masak.
Hal ini juga, saya kira membuat kita sebagai laki-laki, tugas kita ketika di rumah baik sebagai anak laki-laki maupun suami, ya layaknya sebagai raja. Kalau sarapan, makan siang, dan makan malam kita hanya tinggal duduk manis di meja makan, dan kalau mau ngopi sekalipun sudah dibikinkan. Karena urusan masak-memasak sampai urusan rumah lainnya itu ibu atau istri yang kerjakan.
Jadi jangan kaget kalau si Fahmi yang sedang masak justru dikomentari, karena memang masak itu bagi sebagian masyarakat pedesaan bukan tugasnya seorang laki-laki melainkan tugasnya perempuan. Maka jangan heran juga ketika teman perempuan saya yang tidak tahu apa-apa justru dia yang disalahkan, alasanya karena dia meninggalkan tugasnya untuk memasak.
Tapi pertanyaan besarnya adalah apakah laki-laki itu tidak boleh masak, atau ketika masak harus dibantu atau dikasihani ? jawabannya jelas tidak kan teman-teman.
Dalam urusan masak, kalau kita lihat data dari Indonesian Chef Association (ICA) seperti dilansir oleh tirto.id yang berjudul kenapa koki pria mendominasi dapur-dapur hotel daripada perempuan, itu menyebutkan bahwa sampai akhir 2016, dari sekitar 2.200 orang anggota asosiasi yang terdiri dari koki, pengajar bidang kuliner atau perhotelan, pengusaha, sampai pemerhati kuliner ini, jumlah anggota laki-laki mencapai 80 persen, sisanya perempuan.
Lha jadi ini bagaimana?, sedari kecil dilarang, tapi kok kalau sudah soal pekerjaan masak justru dikuasai oleh laki-laki. Jadi begini ya teman-teman, sebetulnya dalam urusan masak maupun urusan dapur lainnya, itu bisa dikerjakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Keduanya mempunyai kesempatan yang sama dan tidak boleh ada pelarangan bagi keduanya.
Dr. Siti Musdah Mulia dalam bukunya Keadilan dan Kesetaran Gender Perspektif Islam menuliskan sebetulnya tidak perlu ada pembagian kerja domestik secara kaku, misalnya siapa harus mengerjakan apa, tetapi yang terpenting adanya saling pengertian di antara laki-laki dan perempuan untuk mengerjakan tugas-tugas di rumah tangga sebagai tugas bersama.
Lebih lanjut, menurut Ibu Musdah, semua pekerjaan di rumah tangga tidak ada yang spesifik untuk laki-laki atau hanya bisa dilakukan oleh perempuan. laki-laki dan perempuan, kedua dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan sama baiknya. Artinya, siapa yang mempunyai kesempatan, dialah yang mengerjakan, tanpa harus diperintah.
Allah SWT sendiri telah memerintahkan di dalam al-Qur’an, yang artinya “Sesungguhnya Allah SWT tidak menyia-nyiakan aktivitas orang-orang yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan.” (Q.S Ali Imran, 3:3).
Maka, saya kira sudah waktunya untuk ibu-ibu dan bapak-bapak ataupun orang tua lainnya, untuk tidak menyalahkan atau merasa kasihan kalau ada laki-laki yang sedang masak, tapi bagaimana agar sudah mulai terbiasa dan sadar bahwa persoalan masak ataupun persoalan domestik lainnya itu bisa juga dilakukan oleh laki-laki, dan yang terpenting adalah kalau selama pekerjaan tersebut mendatangkan kebaikan maka itulah yang harus dikerjakan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sebagai wujud nyata dalam urusan masak maupun kerja domestik lainnya, kelompok PIT kami mempraktekkannya, dengan membuat jadwal masak dan piket kebersihan yang melibatkan seluruh anggota kelompok baik laki-laki dan perempuan. Sehingga dengan dasar inilah membuat saya dengan teman-teman itu bekerja untuk saling melengkapi dan mengisi satu dengan lain. []