Mubadalah.id – Gagasan perempuan NU saat ini semakin banyak menjadi rujukan konsep kesetaraan gender untuk sebagian aktivis perempuan muslim di Indonesia. Gagasan tersebut kemudian menjadi lokomotif yang tersebar melalui karya diantaranya buku dan publikasi lain, seperti yang dilakukan oleh Shinta Nuriyah Wahid, Khofifah Indar Parawansa, dan Siti Musdah Mulia.
Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid
Shinta Nuriyah, isteri KH. Abdurrahman Wahid adalah tokoh perempuan NU yang memunculkan perspektif ketidakadilan gender timbul dari relasi yang dibangun dalam keluarga. Bahwa nilai patriarki yang perempuan alami karena ajaran agama yang misoginis yang dianggap kebenaran mutlak. Hal ini termaktub dalam karyanya bersama Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Karya ini berjudul “Wajah Baru Relasi Suami Isteri : Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn.”
Buku tersebut berisi tentang telaah ulang atau kajian kembali tentang kitab Uqud al-Lujjayn, karya Muhammad Ibn Umar al-Banten al-Jawy pada tahun 1877 M. Kitab tersebut membahas Hak dan Kewajiban suami isteri.
Khofifah Indar Parawansa
Salah satu tokoh perempuan NU yang bergerak dalam bidang politik, Khofifah Indar Parawansa juga terkenal sebagai pelopor nilai kesetaraan gender bagi kaum nahdilyyin masa kini. Pemikiran kesetaraan gender termaktub dalam bukunya yang berjudul “Mengukur Paradigma Menembus Tradisi : Pemikiran tentang Keserasian Gender”.
Bahwa untuk mewujudkan kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan), keadilan sosial dan penjaminan Hak Asasi Manusia, kita memerlukan perbaikan kualitas, status, dan dan peran perempuan dalam pembangunan agar meningkatnya keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia yang setara.
Menurut pendapatnya, kualitas perempuan penting untuk menunjang pembangunan Indonesia. Sementara itu, pembangunan yang mengabaikan keserasian dan keadilan (gender) akan berakibat pada upaya peningkatan kualitas perempuan. (Parawansa, 2006).
Selain itu, dalam buku “NU, Perempuan, Indonesia, Sudut Pandang Islam Tradisional” Khofifah menuliskan perlunya perempuan NU untuk menyebar dan menggeluti berbagai profesi di ruang publik, agar bisa turut serta membantu menyelesaikan masalah yang Indonesia hadapi.
Bahkan dalam buku yang berjudul “Memimpin, Melayani” karangannya, Khofifah menegaskan bahwa dengan adanya latar belakang keberagaman, menilai laki-laki dan perempuan itu memiliki peluang yang sama untuk memimpin baik itu di tingkat nasional maupun internasional.
Maka dari itu kita memerlukan keterbukaan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama pimpinan organisasi dan tokoh masyarakat untuk mendorong perempuan agar bisa memimpin. (Parawansa, 2015).
Musdah Mulia
Selain itu, dalam bidang teks keagamaan, tokoh perempuan NU yang lain adalah Siti Musdah Mulia. Yang terkenal dengan karya best sellernya berjudul “Muslimah Reformis: Perempuan Baru Keagamaan”. Buku yang mengungkapkan tentang kesetaraan gender, seksualitas dan politik perempuan.
Musdah Mulia mengajak para perempuan untuk menyuarakan Islam yang ramah perempuan dan peduli akan masalah-masalah kemanusiaan. Terungkap juga bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan penghormatan dan memuliakan sesama tanpa melihat jenis kelamin, gender, suku, ras dan ikatan primordial lainnya.
Pembahasan kesetaraan gender lebih mendetail adalah pada buku Musdah Mulia yang berjudul “Kemuliaan Perempuan dalam Islam”. Bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang memiliki martabat yang sama, penciptaan dari unsur yang satu (nafs wahidah).
Bahwa keduanya tercipta dengan tujuan untuk menjadi pemimpin untuk mengelola kehidupan di muka bumi. Laki-laki dan perempuan menerima beban atas tugas yang sama yaitu amar ma’ruf nahi munkar untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, bahagia dalam ridha Allah.
Patriarki Akar Ketidakadilan Gender
Dari keempat tokoh tersebut, menganggap bahwa patriarki merupakan sumber kompleks bagi perempuan. Perspektif yang terlahir dari pemikiran mereka itu, adalah bersumber dari kajian ulang.
Perjuangan kesetaraan gender adalah perjuangan yang menuntut penyetaraan, baik dari segi hak hukum, hak ekonomi, hak reproduksi, hak politik, dan segala bentuk hak asasi manusia antara laki-laki, perempuan, dan eksistensi gender lainnya.
Substansi dari feminisme dan kesetaraan gender adalah terwujudnya keadilan berdasarkan gender. Masyarakat yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Lalu, mengacu pada substansi tersebut, apakah terdapat pertentangan dengan perjuangan Nabi?
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tokoh yang paling vokal dalam menentang penindasan manusia atas manusia? Perbudakan terhapus, kaum mustadh’afin terangkat derajatnya, poligami terbatasi. Dan menghilangkan sekat-sekat identitas sempit manusia berdasarkan asal usul yang sama, yakni Adam dan Hawa. []