Mubadalah.id – Jika merujuk Undang-undang (UU) No. 35/2014 yang merupakan Perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak telah menjangkau cukup lengkap kondisi-kondisi khusus yang dialami anak agar mereka memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak-haknya.
Pada bagian keempat dari UU itu terdapat 22 pasal yang mengatur perlindungan khusus untuk anak-anak itu dalam kondisi sebagai berikut:
Pertama, anak dalam situasi darurat. Kedua, anak yang berhadapan dengan hukum. Ketiga, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi. Keempat, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.
Kelima, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Keenam, anak yang menjadi korban pornografi. Ketujuh, anak dengan HIV/AIDS. Kedelapan, anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan.
Kesembilan, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Kesepuluh, anak korban kejahatan seksual. Kesebalas, anak korban jaringan terorisme.
Kedua belas, anak penyandang disabilitas. Ketiga belas, anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Keempat belas, anak dengan perilaku sosial menyimpang dan terkahir anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
Sementara itu, jika kita melihat di klaster kelima, yaitu perlindungan khusus, rumusan indikator Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) mencakup aspek-aspek yang lebih luas dibandingkan dengan yang tercantum di dalam Konvensi Hak Anak (KHA).
Antara lain anak korban kekerasan dan eksploitasi, korban pornografi dan situasi darurat, penyandang disabilitas, dan anak dalam kelompok minoritas.
Kemudian, terisolasi, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), terorisme, dan stigma. Salah isu krusial adalah kekerasan yang anak alami, baik fisik, psikis, dan seksual.
Konvensi Hak Anak (KHA)
Terkait dengan konsep kekerasan, di dalam KHA menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya sebagai kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan sosial, emosional, dan seksual.
Pasal 19 ayat 1 KHA berbunyi:
“Negara-negara anggota akan mengambil semua langkah legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cedera.
Kemudian, pelecehan, penelantaran, perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual, sementara anak berada dalam asuhan orang tua, wali, atau orang lain yang mengasuh sang anak.”
Ketentuan KHA ini telah diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Indikator Kota/Kabupaten Layak Anak ke klaster perlindungan pada kondisi khusus.
Penterjemahan klister ini juga meniscayakan penguatan kelembagaan aturan, anggaran, saran prasana, sumber daya manusia baik aparat maupun masyarakat.
Kemudian, keterlibatan lembaga-lembaga di luar pemerintah, partisipasi dunia usaha, dan peningkatan jumlah usaha-usaha inovatif untuk mendukung anak-anak pada kondisi khusus ini, terutama kekerasan yang memakan korban anak dari segala latar belakang. (Rul)