Mubadalah.id – Akhir-akhir ini masyarakat global sedang terguncang oleh kematian Mahsa Amini, perempuan Iran yang mati setelah tertangkap polisi moral Iran karena pakaiannya yang tidak sesuai dengan undang-undang syariah.
Meninggalnya Mahsa Amini kemudian memicu demonstrasi yang mengecam perilaku polisi moral. Mereka diduga telah melakukan kekerasan. Aksi massa yang terjadi di Iran hingga saat ini tidak dapat dibendung dan muncul juga di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa.
Iran memproklamirkan diri sebagai Republik Islam Iran (Jomburi-ye Eslami-ye Iran) pada 1 April 1979 melalui gerakan revolusi di bawah pimpinan Imam Khomeini. Konsep politik Islam Iran adalah Velayat al-faqih yang menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Velayat al-faqih atau dalam literatur lain mengatakan Vilayat al-Faqih merupakan bentuk kepemimpinan di tangan fuqaha (ahli fiqh).
Dari konsep kepemimpinan vilayet al-faqih, peraturan dan undang-undang di Iran disyariahkan. Segala peraturan negara adalah peratuhan Tuhan yang harus mereka tegakkan. Ayatullah Khomeini sebagai pendiri Republik Islam Iran memandang bahwa pemerintahan Islam memegang teguh konstitusi dan demokrasi. Namun, demokrasi yang Khomeini maksud adalah hukum tidak terbuat oleh keinginan manusia, tapi harus sesuai dengan Alqur’an dan Al-hadits.
Undang-undang Syariah
Salah satu contoh peraturan dari undang-undang syariah di Iran adalah peraturan berpakaian bagi kaum perempuan dan laki-laki. Iran mewajibkan kaum perempuan menutupi seluruh tubuh termasuk kepala dan leher dengan jilbab serta menyembunyikan rambut, sedangkan laki-laki wajib memakai pakaian lengan panjang dan celana panjang. Peraturan ini yang kemudian menyebabkan Mahsa Amini tertangkap polisi moral di Iran.
Polisi moral berfungsi mengontrol masyarakat atas kebijakan syari’ah pemerintah Iran. Polisi moral sendiri merupakan komponen dari penegakan hukum di Iran yang menegakkan aturan ketidaksopanan dan kejahatan di Iran. Mereka memiliki akses terhadap kekuasaan, senjata, dan pusat penahanan serta pendidikan ulang warganya ketika warga Iran melakukan tindakan amoral, seperti yang terjadi pada kasus Mahsa Amini
Pada kasus Mahsa Amini, Polisi Moral tersorot oleh warga global. Akses terhadap kekuasaan, senjata, dan penahanan, serta pendidikan ulang yang polisi moral miliki telah memakan korban. Meskipun, pada dasarnya polisi moral adalah kepanjangtanganan pemerintah. Mereka bertugas menegakkan peraturan yang dianggap suci karena berangkat dari Alqur’an dan hadits.
Jama’ah Ulama
Di samping polisi moral sebagai alat kontrol masyarakat, terdapat aktor yang memegang penuh hukum syari’ah Iran yaitu jama’aah ulama sebagai representasi dari Vilayat al-Faqih. Jama’ah ulama di Iran memiliki otoritas penuh terhadap masalah publik dan hukum yang mengizinkan ulama untuk ikut campur tangan dalam urusan politik demi kepentingan masyarakat. Sementara ulama-ulama dalam jama’ah tersebut adalah ulama syi’ah.
Ketika Iran dipimpin oleh ulama syi’ah yang menginginkan islamisasi dalam kepemerintahannya, maka tindakan penangkapan Mahsa Amini yang polisi moral lakukan dapat berupa atas nama agama atau atas nama politik kepemerintahan oleh rezim Ulama. Oleh karena itu, penting melihat kembali penangkapan Mahsa Amini di Iran untuk mengetahui motif penangkapan Mahsa Amini oleh polisi moral dalam perspektif ekonomi politik.
Secara kronologis, Mahsa Amini ditangkap ketika melakukan perjalanan bersama keluarganya di kota Teheran pada tanggal 13 September 2022. Alasan penangkapannya karena Mahsa Amini menggunakan Jilbab yang tidak sesuai dengan peraturan di Iran. Kemudian, pada tanggal 16 September Mahsa Amini meninggal.
Alasan penangkapan Mahsa Amini, secara langsung menunjukkan bahwa tindakan ini bermotif menegakkan ajaran agama Islam. Namun, yang perlu diingat adalah ideologi Islamisme Republik Islam Iran.
Ajaran Imamah
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Islamisme di Iran dimulai semenjak revolusi Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Pendiri Republik Islam Iran yang bermadzhab Syi’ah. Sementara, mayoritas penduduk Iran menganut syi’ah itsna ‘asyariah yang salah satu ajaran pokoknya adalah “imamah”. Ajaran Imamah dalam syi’ah mewajibkan penganutnya mematuhi imam atau pemimpinnya. Maka dengan ini sempurna sudah jalan menuju Islamisme.
Bagi penulis, polisi moral merupakan bagian dari Imamah. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa Polisi moral memiliki akses kekuasaan. Sebagai kepanjangtanganan pemimpin, mereka memiliki fungsi kontrol. Tindakannnya pun, menyesuaikan dengan tindakan pemimpin yang berkuasa dan mereka juga memiliki kekuasaan. Maka, jika kita analisis menggunakan perspektif tindakan Weber, tindakan penangkapan Mahsa Amini oleh polisi moral dapat kita kategorikan sebagai “tindakan rasional instrumental”.
Tindakan rasional instrumental kita maknai sebagai suatu tindakan dengan tujuan tertentu dan ia memiliki sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Jika terkait dengan tindakan penangkapan Mahsa Amini oleh polisi moral, tujuan penangkapannya adalah islamisasi dan alatnya adalah undang-undang Syari’ah. Sehingga, ketika terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam versi pemimpin Iran, maka tindakan tersebut mereka katakan salah.
Upaya Islamisasi ini adalah bagian dari tindakan politik kekuasaan yang kepemimpinan ulama Iran lakukan. Tujuannya untuk meneruskan revolusi Republik Islam Iran yang Khomeini proklamirkan. Jika Islamisme runtuh, makan runtuh pula rezim republik Islam Iran. Dan alat untuk mengekalkan rezim adalah undang-undang Syariah dan Polisi Moral.
Secara historis dan kronologinya hingga saat ini, penangkapan Mahsa Amini berikut perempuan-perempuan lain di Iran hanyalah upaya mengekalkan rezim Republik Islam di Iran yang telah diproklamirkan sejak 1979. Wallahu a’lam. []