• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tokoh Pewayangan yang Menumbangkan Stereotip Gender

Penggambaran Srikandi dalam tokoh pewayangan sukses menumbangkan stereotip gender yang selama ini masyarakat pahami

Hilda Rizqi Elzahra Hilda Rizqi Elzahra
07/11/2022
in Pernak-pernik
0
Stereotip Gender

Stereotip Gender

961
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sudah tidak asing dengan istilah feminim dan maskulin. Kedua istilah tersebut telah menjadi semacam pijakan utama stereotip gender untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Secara umum kita menerima asumsi bahwa perempuan harus bersifat feminim, dan laki-laki harus bersifat maskulin, maka kita seperti diharuskan menggagap bahwa konsep ini nyata dan wajar.

Seandainya ada penyimpangan dari asumsi tersebut, semisal ada perempuan yang menunjukkan sifat-sifat maskulin (pemberani, tegas, idealis, pekerja keras, agresif dan kompetitif) lebih dominan daripada sifat feminimnya (pemalu, lemah lembut, penyayang dan pengasih). Maka ia akan dianggap aneh, tomboy dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Begitu pula sebaliknya, lelaki akan dianggap banci jika memiliki sifat-sifat feminim dalam dirinya.

Padahal jika ditelisik bahwa laki-laki harus bersifat maskulin (tidak boleh menangis, harus kuat, agresif dan pemberani) sifat-sifat itulah yang menjadikan laki-laki berwatak keras dan arogan. Itulah akar patriarki yang menyebabkan peristiwa KDRT, kekerasan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan memanfaatkan sisi feminim perempuan (Sumaryai, 2017)

Dengan adanya stereotip gender tersebut yang menciptakan adanya perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan yang memicu munculnya sistem patriarki pada kehidupan masyarakat—karena menganggap laki-laki lebih unggul daripada perempuan, sebab laki-laki dianggap lebih kuat secara mental ataupun fisik dibandingkan dengan perempuan.

Perbedaan Seks dan Gender

Namun sebelum kita membahas lebih jauh mengenai ini, kita harus lebih dulu membedakan antara seks dan gender. Kedua hal ini sering kali kita salah pahami dan dianggap memiliki pengertian yang sama. Padahal pengertian seks yang sebenarnya adalah karakteristik biologis manusia.

Baca Juga:

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

Hal ini kita lihat dari organ reproduksi, kromosom dan hormon. Sedangkan gender adalah karakteristik maskulin dan feminim yang seseorang miliki dalam konteks kultural dan sosial, mangacu pada perilaku, sifat, dan sikap. Seks dan gender tidak bisa kita samakan sebab ada beberapa orang yang merasa memiliki gender identity yang bersebrangan dengan seks-nya. Sebagai perempuan Indonesia, sangat keterlaluan jika kita tidak mengenal wayang.

Wayang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia Indonesia karena proses spiritual. Wayang kulit purwa menurut perkembangannya bukan hanya merupakan tontonan semata. Namun juga merupakan tuntunan bagi penonton dan penikmatnya.

Wayang ini banyak mengajarkan nilai-nilai luhur yang adiluhung tidak hanya nilai-nilai kejuangan, namun juga feminis. Emansipasi , sering ternisbatkan menjadi gerakan tuntutan agar kaum perempuan bisa masuk ke bidang-bidang yang minatnya sama dengan pria. Bahkan tak jarang, sampai masuk ke wilayah agama yang sudah jelas dasar dan ketentuannya.

Tokoh Perempuan dalam Pewayangan

Di pewayangan kita mengenal tokoh perempuan yang luar biasa perangainya dengan berbagai karakter yang mendukungnya. Dewi Sinta, Drupadi, dan Srikandi contohnya. Mereka adalah karakter yang paling akrab di telinga masyarakat. Bahkan namanya seringkali menjadi sebuah laqob untuk perempuan yang sukses berkiprah dalam suatu bidang, sebutan itu adalah srikandi.

Kisah Srikandi sejatinya memiliki dua versi, yaitu versi kitab Mahabharata dari India dan versi pewayangan Jawa. Dari kedua versi ini, ada perbedaan yang mencolok yaitu mengenai identitas gender dari Srikandi.

Dalam versi India, Srikandi atau Shikhandi adalah sosok transgender- ia adalah perempuan yang kemudian bertransisi menjadi laki-laki. Sedangkan dalam versi pewayangan Jawa, Srikandi terlahir sebagai perempuan namun tergambarkan memiliki sifat-sifat maskulin.

Kisah Pewayangan

Dalam pewayangan, Dewi Srikandi disebut memiliki sifat tekad yang kuat, percaya diri, lemah lembut, dan keibuan. Sosoknya juga disebut sangat handal olah panah setelah diri dia diajari Arjuna.

Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Kurawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.

Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi, ia tewas terbunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Astina setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

Sosok Srikandi bisa menjadi pengingat bagi kita, bahwa perempuan bisa menjadi kuat dan mandiri tanpa harus terbatasi oleh peran-peran gender yang kaku dan biner. Ada beberapa yang  patut kita teladani dari Srikandi yang bisa menjadi panutan bagi perempuan Indonesia.

Srikandi Patahkan Stereotip Gender

Penggambaran Srikandi dalam tokoh pewayangan sukses menumbangkan stereotip gender yang selama ini masyarakat pahami. Srikandi mampu tampil terbaik di bidang yang laki-laki kuasai. Pada dasarnya ilmu pelajaran keprajuritan tidak pernah ada bagi perempuan. Namun ia mampu memanah dan kepiawaiannya tidak tertandingi. Bahkan Srikandi menerima tanggung jawab atas keselamatan dan keamanan kerajaan Madukara.

Srikandi mengajarkan untuk tegas dan berani. Yakni penggambaran sosok perempuan yang mendongak menandai bahwa ia adalah seorang yang tegas dan berani. Baik kepada kaum lelaki atau sesamanya. Srikandi mencontohkan menjadi perempuan mandiri yang mau belajar. Kkepandaiannya memanah adalah hasil dari belajar yang tidak kenal waktu pada Arjuna. Hingga kemudian membuatnya jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan Arjuna.

Srikandi tetap tampil cantik walaupun gagah berani. Dalam penampakan wayang kulitnya Srikandi terlukiskan sangat cantik dengan mata yang indah dan hidung lancip. Ia juga memakai mahkota dan baju keputrian lengkap dengan aksesorisnya. Srikandi tampil sebagai teladan. Ia berhasil menjadi teladan bukan hanya untuk para perempuan namun juga untuk laki-laki, bagaimana ia kuat tapi juga lembut, mandiri tapi juga menghargai.

Hal penting dan patut kita teladani dari Srikandi, baik versi India maupun Jawa bagi perempuan Indonesia. Yakni pada intinya bukanlah keahliannya dalam memanah ataupun berstrategi dalam perang. Tapi keberaniannya untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan tanpa mempersoalkan apa gendernya. []

 

Tags: BudayaNusantaraperspektif genderStereotipe GenderThis Is GenderTradisiWayang
Hilda Rizqi Elzahra

Hilda Rizqi Elzahra

Mahasiswi jelata dari Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid, pegiat literasi

Terkait Posts

Sekolah Tumbuh

Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

4 Juli 2025
Oligarki

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

4 Juli 2025
Islam Harus

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID