Mubadalah.id – Saya pernah mengantar istri ke toko batik di bilangan Jakarta Selatan. Saat hendak memarkir mobil di depan toko, petugas parkir melarang tanpa alasan. Saya diminta parkir di seberang toko. Agak jauh tapi tetap saya mengikuti karena malas berdebat. Sambil bertanya tanya di dalam hati, mengapa ada diskriminasi, saya berusaha tetap berprasangka baik.
Usai membayar belanjaan, saat keluar dari toko, eh ada mobil mewah parkir persis di depan toko. Saya masuk lagi dan minta bertemu manager toko. Saya bertanya mengapa saya tidak boleh memarkir mobil di situ, sementara ada yang istimewa boleh memarkir mobilnya.
Ternyata orang itu sama seperti saya, pengunjung biasa. Tapi, tampilan mobilnya memang lebih mewah. Manajer toko memberitahu bahwa pengaturan parkiran itu tergantung petugas parkir. Saya langsung melaporkan perlakuan diskriminatif itu. Soal hukuman sepenuhnya menjadi kewenangan manajemen toko.
Perlakuan tidak Adil
Minggu lalu, saya dan istri kembali menerima perlakuan yang sama, saat memesan dua porsi nasi liwet di warung kaki lima. Usai memesan, kami duduk mengantri, sama seperti yang lain. Hingga 10 menit belum juga terlayani. “Mungkin sedang banyak pesanan”, batinku.
Saat menunggu pesanan, tiba-tiba datang pasangan suami-istri berpakaian rapi turun dari mobil bagus. Begitu sampai, dia langsung memesan nasi liwet dua porsi juga. Dalam hitungan kurang dari 3 menit, pasangan ini langsung terlayani terlebih dahulu.
Merasa ada diskriminasi, dan diperlakukan tidak adil, saya memprotes cara penjual melayani antrian. Namun ada yang menarik kaos dengan pesan tegas; “Pak cukup!” Saya urung menyampaikan protes lebih keras. Namun pesan penting sudah tersampaikan, bahwa antrian saya lebih dahulu tapi mereka layani belakangan. Ada perlakuan tidak adil. Akibatnya, nasi liwet yang seharusnya enak itu jadi terasa hambar.
Dari dua peristiwa itu, saya bisa merasakan betapa tidak enaknya diperlakukan diskriminatif. Sakitnya tuh disini. Pedih, dongkol, sulit untuk tidak marah. Peristiwa yang saya alami itu hanya remeh temeh. Mungkin, orang lain pernah mengalami hal yang sama. Meskipun level dan bentuk perlakuannya berbeda-beda. Tetap saja, perlakuan diskriminatif itu melukai hati.
Saya tidak bisa mengeneralisasi motif seseorang ketika melakukan tindakan diskriminatif. Apakah itu ia lakukan dengan sadar atau sebaliknya. Mungkin, tindakan itu berakar dari cara pandang seseorang. Ada yang memandang, bahwa penentuan derajat manusia oleh tampilan luarnya. Bisa oleh busana, kendaraan yang ia gunakan, atribut pangkat yang menempel di baju, ataupun jabatan yang sedang ia sandang. Seseorang merasa perlu mengistimewakan orang tersebut berdasarkan kriteria di atas.
Mungkin juga, karena pengaruh dan kedekatan secara personal. Pedagang nasi liwet dan petugas parkir dalam dua peristiwa di atas, mungkin mengenal cukup dekat orang-orang yang mereka istimewakan. Mereka tidak paham, tidak peka, atau bisa jadi tidak peduli, bahwa perlakukan itu sangat melukai orang lain.
Diskriminasi yang dilegalkan
Dalam dunia kerja, praktik diskriminasi juga kerap terjadi. Misalnya, terkait persyaratan yang berlaku kepada para calon pelamar, seperti yang Firda Ainun Ula sampaikan. Ia adalah seorang aktivis muda perempuan dari Yogyakarta. Dia mengkritik praktik dan tata-cara orang dalam memperlakukan tubuh perempuan. Pandangan kritis itu ia sampaikan dalam acara diskusi tentang “Anak Muda Bicara”, yang YLKIS Yogyakarta selenggarakan pada November 2022.
Menurutnya, perempuan telah menjadi korban diskriminasi karena bentuk tubuhnya. Mereka dinilai layaknya benda mati. Mereka ukur bukan dari kecerdasan otak dan keterampilannya. Tapi bentuk tubuhnya yang cantik atau tidak cantik. Proporsional atau tidak, Berpenampilan menarik atau tidak menarik.
Subyektivitas penilaian itu bisa menentukan nasib seorang pelamar perempuan hingga diterima atau ditolak kerja di bidang tertentu. Misalnya untuk menjadi seorang sales promotion girls, pramugari, customer service. Ada pemenuhan syarat tertentu yang spesifik dan hanya ditentukan oleh subyekifitas tim seleksi. Meskipun secara resmi syarat yang tertulis cukup umum, seperti; “berpenampilan menarik” atau “tinggi dan berat badan ideal”.
Mengabaikan Kodrat Tuhan
Hemat saya, perlakuan tersebut telah mengabaikan kodrat Tuhan. Bagaimana tidak, ketika manusia lahir di bumi, ia tidak memiliki kuasa sedikitpun, untuk menentukan siapa orang tuanya, bersuku apa, dan bentuk jenis kelaminnya apa. Manusia, juga tidak bisa menentukan sendiri bentuk tubuh, warna kulit, jenis rambut, model hidung, pipi, betis, perut dan keseluruhan organ luar tubuhnya, agar bisa lebih menarik dan bisa memenuhi standar cantik atau ganteng.
Memang, berkat kecanggihan teknologi modern, rekayasa bentuk organ luar tubuh manusia bisa direkayasa. Bentuknya bisa kita ubah untuk memenuhi selera dan persepsi cakep bagi penggunanya. Hidung pesek bisa kita buat lebih mancung. Jenggut bulet bisa menjadi lebih ramping, kecil dan berbelah. Rambut kepala dan dan alis mata bisa kita tanam ulang hingga nampak lebih hitam dan lebat. Meskipun rekayasa seperti itu belum tentu mampu menjadi nampak alami.
Label cantik dan ganteng adalah perkara persepsi manusia. Ia tidak pernah seragam dan tunggal. Cakep menurut saya, belum tentu menurut yang lain. Tuhan menciptakan beragam selera yang beraneka ragam.
Jika ada seseorang yang bisa diterima kerja karena dianggap telah memenuhi syarat berpenampilan menarik, maka sejatinya ia hanya memenuhi syarat menurut persepsi orang yang menyeleksinya saja. Alangkah sayang, jika manusia hanya dinilai berdasarkan bentuk tubuhnya. Padahal, tiap-tiap manusia itu unik dengan bentuk tubuhnya masing-masing. Menentukan produktifitas seseorang tidak hanya karena bentuk tubuh semata.
Cegah Bersama Perilaku Diskriminatif
Dalam perkara berat badan, ia memang bisa kita ubah. Kita bentuk sesuai dengan selera pemilik tubuhnya. Secara teori, memang ada kontribusi manusia terhadap ukuran bentuk tubuhnya. Salah satunya oleh pengaruh pola hidup. Bisa karena asupan makanan dan olah raga yang tidak seimbang.
Namun ada faktor genetik dan alamiah yang membentuknya menjadi seperti itu. Apapun bentuk tubuh seseorang, tetap tidak boleh menjadi pembenar bagi seseorang untuk memperlakukan orang lain secara diskriminatif.
Diskriminasi, mungkin tidak lagi menimpa secara massif karena perbedaan suku, agama dan ras. Tetapi, perilaku itu kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja. Tidak harus orang berpangkat dan bergelar.
Ataupun orang pintar dan memiliki pengaruh. Sikap menyakitkan itu bisa seseorang lakukan. Terutama yang sedang memiliki kuasa. Sekecil apapun bobotnya. Kita semua berpotensi menjadi pelaku ataupun korban. Untuk itu, setiap orang perlu merawat kesadaran pribadinya agar mampu mencegah munculnya perilaku diskriminatif kepada siapapun. []