• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Keluarga Satu Visi Nabi Ibrahim

Badriyah Fayumi Badriyah Fayumi
27/06/2020
in Keluarga
0
Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

74
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Pernah kita membayangkan andai kata Ismail alaihissalam menolak perintah Allah yang diciptakan pada Ayahanda, Ibrahim alaihissalam? atau Hajar yang sudah melahirkan dan membesarkan Ismail dengan segala perjuangan tidak rela anaknya yang sangat menyejukkan hati disembelih?

Menurut rasa yang umum, wajar jika Ismail dan Hajar menolak perintah yang maha berat itu. Tapi rupanya keluarga Nabi Ibrahim bukanlah seperti keluarga biasa. Ketaatan mereka kepada Allah sangat luar biasa, hingga mencapai titik tertinggi kepasrahan manusia kepada Tuhannya.

Keluarga Nabi Ibrahim As. adalah contoh nyata keluarga satu visi. Kesatuan visi inilah yang menoreh sejarah emas dunia. Kita yang hidup beradab kemudian tetap merasakan kehadiran keluarga Nabi Ibrahim sebagai acuan membangun keluarga.

Bukan Terjadi Begitu Saja

Keluarga satu visi Nabi Ibrahim As. bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Ada proses panjang, ada ikhtiar manusia, ada keyakinan kuat, ada perjuangan melawan godaan, dan ada takdir Tuhan di sana. Lahirnya Ismail, seorang Putra yang “halim” (sangat santun dan sabar) adalah buah dari penantian panjang Nabi Ibrahim.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Namun ujian rupanya terus diberikan Allah. Saat masih bayi ayah dan anak mesti terpisah karena keadaan yang menghendaki begitu. Hajar dan Ismail pun harus berjuang sangat berat untuk mempertahankan hidup di gurun pasir yang tandus.

Keyakinan sang ayah bahwa kedekatan dengan Baitullah akan menjadikan semua baik-baik saja menjadi api yang terus menyalakan semangat hidup Hajar-Ismail. Di atas kesamaan keyakinan dan kepasrahan pada Allah itulah kehidupan yang tak mudah terus dijalani.

Keluarga Ibrahim, Hajar dan Ismail terus berjalan dalam semangat berjuang menegakkan agama Allah. Ibrahim terus membina keluarga kecilnya dengan dua, contoh nyata, dan pelibatan anak dalam perjuangan. Dalam doa-doa Nabi Ibrahim, selalu disebut anak keturunannya (lihat QS. al-Baqarah/2: 125-129, QS. Ibrahim/14: 35-41).

Bahkan ketika Allah menyatakan lulus berbagai ujian dan mengangkatnya menjadi imam, beliau meminta agar hal itu juga berlaku untuk anak-cucunya (QS. al-Baqarah/2: 124). Doa Ibrahim pun dikabulkan Allah. Nabi Ishaq, menurunkan Nabi-nabi Bani Israil. Nabi Ismail menurunkan Rasulullah Muhammad saw.

Jiwa perjuangan telah ditanamkan Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya sejak dini. Saat membangun kembali Ka’bah, Ismail kecil sudah diajak serta. Pengalaman langsung di usia dini pada gilirannya membentuk jiwa perjuangan Ismail yang hebat.

Sambil membangun, Ibrahim tak lupa berdoa untuk sang anak dan cucu-cicitnya nanti agar mereka menjadi orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Doa ini pun dikabulkan. Ismail belia yang sangat menyenangkan hati orangtuanya betul-betul berserah diri saat perintah menyembelih datang. Dalam Al-Quran surah as-Shaffat/37: 102 diturunkan:

قال يا اْبت افعل ما تؤمر ستجدني ان شاْ الله من الصا برين

“Dia Ismail berkata: Wahai ayahku lakukan apa yang diperintahkan Allah padamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Tetap Satu Visi Saat Kritis

Ismail yang “halim” adalah kehendak Allah yang dititahkan hadir melalui ayah dan ibunya yang satu visi; ikhlas, berserah diri, dan terus melangkah sesuai perintah Allah. Kesatuan visi inilah yang menjadikan mereka “ringan” menjalankan perintah penyembelihan yang maha berat.

Godaan iblis yang masuk melalui perasaan kasih sayang ibu pun tak berhasil menggoyahkan Hajar yang sudah sevisi dengan Ibrahim dan Ismail yang memilih pasrah kepada Allah, meski sebagai seorang ibu hatinya sangat sedih.

Betapa tidak, satu-satunya anak yang dibesarkan dengan susah payah dan sedang tumbuh menjadi bocah yang budiman dan membuncahkan harapan, hidupnya harus diakhiri oleh ayah sendiri. Namun Allah yang Maha Kasih ternyata hanya menguji mereka. Dan ternyata keluarga Ibrahim tetap satu visi di saat kritis hingga pada titik yang amat sangat mengagumkan dan bahkan mustahil bagi kebanyakan orang.

Allah menguji mereka secara dramatis, dengan menggunakan tradisi tidak manusiawi yang berlaku saat itu yang sesungguhnya hendak Allah hapus. Tradisi mengorbankan manusia demi dewa saat itu sudah berlangsung berabad-abad di berbagai belahan dunia.

Di Mesir kuno, di Babilonia, di India, dan berbagai tempat lain. Tanpa pernah tahu rusuk sekarat skenario Allah, keluarga Ibrahim rela mengorbankan anaknya semata karena ketaatanNya. Mereka baru menyadari Allah hanya memujinya setelah seekor domba dihadirkan untuk menggantikan Ismail.

Peristiwa itu telah menjadikan keluarga Ibrahim sebagai pembawa misi kemanusiaan untuk menghentikan praktik yang tidak manusiawi. Cukuplah seekor domba atau binatang ternaknya lainnya disembelih sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur kepada Allah bukan manusia.

Acuan Sepanjang Zaman

Kesatuan visi telah meluluskan keluarga Nabi Ibrahim dalam ujian hidup dari Allah dan sekaligus menyelamatkan umat manusia dari tragedi kemanusiaan yang saat itu dianggap biasa. Kesatuan visi telah menjadikan mereka menjadi keluarga pilihan yang menjadi acuan sepanjang zaman.

Dari keluarga Nabi Ibrahim kita belajar bahwa kesatuan visi suami-isteri-anak adalah syarat mutlak terwujudnya cita-cita keluarga yang selalu kita panjatkan dalam doa, sebagaimana dituturkan dalam al-Qur’an surat al-Furqan/25:74:

ربنا هب لنا من اْزوجنا ودْرياتنا قرة اْعين واجعلنا للمتقين اما ما

“Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami dan anak-anak keturunan kami penyejuk mata, dan jadikanlah kami bagi orang-orang bertaqwa sebagai iman”.

Untuk membentuk keluarga satu visi Nabi Ibrahim rela menjalani proses hidup yang menuntut kesabaran tinggi, tak pernah lupa berdoa untuk anak cucunya setiap saat, mendidik anak dengan melibatkannya sejak dini dalam perjuangan, sepandangan dengan istri dalam menyikapi segala keadaan, dan semua anggota keluarga sama-sama berfokus dan berserah diri pada Allah.

Saat ini dan sepanjang zaman, keluarga muslim selalu berdoa agar pasangan hidup dan anak-anaknya menjadi penyejuk hati dan pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Pada titik ini kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah doa yang kita panjatkan setiap hari sudah dibarengi usaha menuju ke sana seperti yang dilakukan keluarga Nabi Ibrahim as. []

Badriyah Fayumi

Badriyah Fayumi

Ketua Alimat/Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID