Mubadalah.id – Persoalan lingkungan akhir-akhir ini kerap menjadi isu penting dalam membangun wacana keilmuan, serta berupaya membangun kesadaran kolektif setiap orang ataupun kelompok tertentu. Tak heran sebagian organisasi yang fokus pada soal isu lingkungan semakin gesit dan gencar dalam mengkampanyekan pentingnya menjaga lingkungan. Termasuk bagaimana pesantren menjawab isu lingkungan.
Oleh karenanya, tugas konservasi lingkungan semestinya tidak hanya kita serahkan pada organisasi yang hanya fokus terhadap isu tersebut. Lebih jauh dari itu, seharusnya peranan lembaga keagamaan menjadi penting dalam memberikan penegasan terhadap kita sebagai umat beragama.
Salah satu lembaga keagamaan di sini yang saya maksud adalah pesantren. Kenapa harus pesantren? Karena pesantren sebuah pendidikan keagamaan yang berada di akar rumput yang memiliki konsen dan konsisten dalam mengedukasi. Selain itu juga mengajarkan perintah-perintah dari agama. Tapi meski demikian, tak banyak masih pesantren yang memiliki kajian khusus dalam isu-isu lingkungan.
Sebab kalau kita lihat ke belakang, pergerakan (napak tilas) pesantren menjawab isu lingkungan bermula dari sebuah perjumpaan di Lido, Sukabumi, Jawa Barat pada Tahun 2014. Di mana dalam pertemuan itu melibatkan 30 Kiai dari berbagai pesantren di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Di antaranya; Pondok Pesantren Langitan (Tuhan), al-Munawwir (Krapyak), Bahrul Ulum (Tambak Beras Jombang), al-Amin (Parenduan, Madura), al-Khairat (Palu), Hidayatullah (Kaltim) dan masih banyak lainnya.
Pertemuan tersebut diinisiasi oleh Indonesian Forest and Media Campaign (IMFORM) dan Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M). Adapun tujuan dari pertemuan tersebut, yakni harapannya dapat membuka wacana baru dalam keilmuan kepesantrenan, serta dapat memberikan dampak persuasif terhadap masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan (Wardani: 2015).
Edukasi Lingkungan di Pesantren
Tentu ini menjadi tugas yang cukup fundamental untuk saat ini. Bagaimana kemudian pesantren dapat memantik santrinya lewat kajian yang berfokus pada Fikih Bi’ah (fikih lingkungan). Pada bagian ini santri tidak semerta-merta berangkat dari ruang kosong. Harus ada dorongan dari Kiai, Ibu Nyai atau Gus dan Ning di pesantren tersebut, dalam bentuk kajian keilmuan yang mengarah pada pembahasan tentang isu lingkungan.
Artinya, pesantren jangan sampai menjadi stagnan hanya karena kajian keagamaan bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya) saja. Justru perlu juga memperhatikan peranan agama secara garis horizontal (hubungan manusia dengan alamnya). Sebab nilai-nilai agama tidak melulu bersifat normatif sebagaimana Ibadah Mahdah (seperti salat), tetapi juga perlu memperhatikan interpretasi agama secara luas sebagai bentuk ibadah pula, seperti dalam hadist Nabi “Kebersihan sebagian dari Iman”.
Pilihan yang pas terhadap pesantren ialah dengan memasukkan isu lingkungan menjadi bagian dari pendidikan khusus untuk membentuk karakter para santri/wati, agar turut peduli akan kondisi alam yang makin alami kerusakan. Tentu ini tidak hanya selesai dalam bangku pembelajaran, lebih dari itu harus ada bentuk praktik di lapangan sebagai implementasi dari keilmuan yang dipelajarinya.
Praktik Baik Pesantren
Adapun pesantren yang menerapkan keduanya (teori dan pengaplikasian) yakni Pondok Pesantren Darul Hikmah di Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren tersebut memperdayakan Sumber Daya Alam (SDA) dengan melibatkan santri-santrinya, sebab hal itu dinilai bagian dari edukasi (Baca: Mongabay.co.id).
Pemberdayaan SDA yang dikembangkan ialah dengan membuat adanya konservasi air, serta melakukan penanaman aneka pepohonan untuk meningkatkan kualitas lingkungan di lahan seluas 1,5 hektar, dengan tujuan untuk menciptakan oksigen yang baik, serta untuk membangun konservasi sumber mata air.
Tidak hanya itu, di sana air yang sudah terpakai untuk bersuci, mandi dan cuci dialirkan ke aneka tanaman di ladang pesantren. Pesantren memiliki area perkebunan, dan pengembangan tanaman pangan. Sehingga tak ada yang yang namanya terbuang cuma-cuma, kalau istilah pesantren mubazir.
Nah, langkah seperti itu yang saya maksud untuk kemudian pesantren dapat melibatkan santri-santrinya turut serta dalam proses pelestarian lingkungan, lewat kajian keilmuan maupun praktik di lapangan. Agar nantinya karakter itu terbentuk. Jika sudah demikian, maka saya pikir nilai persuasif untuk mengkampanyekan akan lebih mudah terhadap masyarakat. Sebab tidak hanya kita gerakkan sendirian, tapi bisa kelompok atau kelembagaan, misal, pesantren itu sendiri
Otoritas Pesantren Menjawab Isu Lingkungan
Selain memberikan edukasi, pesantren harus mampu merumuskan sebuah kajian yang bersifat metodologis di dalam merespon isu lingkungan. Respon tersebut berupa regulasi keagamaan (ijtihad) seorang Kiai maupun Gus dari berbagai pesantren. Karena hal ini bagian dari otoritas pesantren sebagai lembaga keagamaan.
Sebab umat ini perlu penyadaran akan adanya perintah dan larangan, khususnya umat Islam. Karena lagi-lagi peranan agama memang tidak boleh lepas dan terbatas pada persoalan spritualitas yang hanya mengingatkan umatnya untuk melakukan salat saja. Justru agama harus lebih jauh menjangkau, serta lebih peka menerjemahkan situasi yang saat ini sedang genting, lewat para ulama (Kyai dan Gus).
Berangkat dari situlah, seharusnya penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits harus lebih luas dan kontekstual. Dan pada bagian ini yang melakukannya harus pakar yang memiliki kompetensi di bidangnya. Yakni Kiai, Ibu Nyai, ataupun Gus dan Ning. Karena kalau bicara agama, tidak semua orang mumpuni di bidang tersebut. Apalagi untuk melakukan sebuah ijtihad, lalu menghasilkan produk hukum (Fikih), maka itu tidak mudah, kecuali memang pakar di bidangnya.
Salah satu yang perlu melakukan ijtihad. Yakni sikap kita terhadap alam. Karena tak jarang alam hanya kita eksploitasi hanya semata-mata persoalan materi. Makanya, pesantren di sini kita pandang perlu di dalam merumuskan landasan hukum untuk memahamkan umat lewat ayat-ayat dan hadist yang berlaku, spesifiknya dalam menjaga lingkungan.
Walaupun sebelum-sebelumnya ada beberapa tokoh tertentu yang konsen membahas hal demikian. Misal KH Ali Yafie (Ra’is Amm PBNU 1991-1992). Tetapi menurut saya harus lebih banyak terlibat, seperti pesantren. Lebih-lebih kalau pesantren terkenal dengan banyak jama’ahnya, serta adanya kepercayaan terhadap Kiai dan Ibu Nyai masih kuat dalam pandangan keagamaan. Inilah yang saya maksud otoritas keagamaan pesantren. Wallahu A’lam. (bebarengan)