Mubadalah.id – Secara historis, sepak terjang pemikiran Islam di Indonesia tidak dapat terlepas dari tiga guru bangsa tersebut. Meskipun mereka tidak selalu satu pendapat, namun mereka tetap saling menghormati. Baik warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i memiliki corak yang berbeda. Namun tujuan, orientasi, dan nilai-nilai luhur perjuangan mereka bagi bangsa Indonesia tetap sama.
Ketiga tokoh tersebut memiliki kontribusi yang begitu besar bagi keberlangsungan perdamaian bangsa Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Bahkan survei yang Alvara Institute lakukan pada Desember 2021 menyebut bahwa 99,4 % orang Indonesia mengakui jika agama berperan penting dalam kehidupan.
Angka ini menunjukkan bahwa agama sudah menjadi pedoman dan rule of way bagi sebagian besar masyarakat Indonesia di mana sejak awal terkenal sebagai masyarakat Timur yang ramah dan relijius.
Namun yang tidak boleh kita abaikan bahwa agama pun dapat memicu ketegangan yang berujung pada konflik. Apalagi jika agama sudah bercampur dengan kepentingan-kepentingan praktis sehingga substansi dari agama pun sering terdistorsi. Kehadiran ketiga tokoh tersebut memberi andil yang luar biasa dalam menghadirkan wajah Islam Indonesia yang inklusif dan toleran dan menolak gerakan-gerakan yang merongrong persatuan dan kesatuan Indonesia.
Pandangan Prof. Musdah Mulia
Kemarin penulis menyaksikan perhelatan Refleksi Kebangsaan bertajuk “Spirit Guru Bangsa – Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i – dalam Aspek Bernegara Masa Kini”. Acara kolaborasi antara Caknur Society, Jaringan Gusdurian, dan Ma’arif Institute ini menjadi cerminan akan indahnya kerukunan antar organisasi besar. Walaupun dengan perbedaan tokoh yang ia kagumi masing-masing.
Hadir dalam acara tersebut Prof Musdah Mulia, pendiri Mulia Raya Foundation. Sebuah Yayasan independen nonprofit yang bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, seperti advokasi perempuan dan anak. Dalam pemaparannya beliau memberikan refleksi terkait apa saja yang perlu kita teladani dari ketiga guru bangsa tersebut.
Pada dasarnya ada banyak teladan yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran. Namun pada kesempatan tersebut, Prof. Musdah Mulia menekankan pada 3 hal warisan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i yang perlu generasi era sekarang teladani, antara lain:
Kemampuan Berpikir Kritis
Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i merupakan sosok pemikir yang kritis dalam membaca dan melihat problematika kehidupan. Pemikirannya yang out of the box memberikan pemahaman dan warna baru dalam tradisi pemikiran Islam.
Seperti yang kita ketahui bahwa kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan di era sekarang. Namun, Prof. Musdah Mulia juga menyayangkan bahwa pendidikan tinggi kini tidak menjadikan mahasiswanya dapat memiliki pemikiran kritis secara otomatis. Bahkan lebih miris lagi, lanjut beliau, setingkat professor sebagai representasi dari kaum terpelajar saja terkadang tidak luput dari perjokian.
“Karena kritis ini adalah buah dari literasi. Sedangkan pendidikan tidak berbanding lurus dengan kemampuan literasi.” Ujar dosen UIN Jakarta dan perempuan pertama yang diangkat sebagai profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Kemampuan Bertindak Demokratis
Prinsip demokratis sebagai warga negara Indonesia sangat kita perlukan. Namun syarat yang harus terpenuhi untuk mewujudkan hal tersebut adalah memiliki civility values atau keadaban. Masyarakat yang demokratis hendaknya dapat menghormati orang lain, menerima keberagaman, dan menghargai perbedaan. Selain itu juga dapat mendengarkan dengan penuh empati serta memiliki lingkungan yang mendukung kolaborasi tanpa mengkotak-kotakkan latar belakang sosial.
Dan prinsip seperti ini telah Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i ajarkan dalam rekam jejaknya. Bagaimana ketiga guru bangsa ini selalu memperjuangkan hak-hak masyarakat minoritas yang sering terabaikan dari gelanggang percaturan politik maupun bidang-bidang lainnya.
Kemampuan Beragama secara Humanis
Pada akhirnya tujuan dari masing-masing agama adalah kemanusiaan. Tetapi belakangan ini kita sering menjumpai bahwa semakin banyak orang yang agamis, namun tidak manusiawi.
“Kamu mending jangan hijrah deh, soalnya sebelum hijrah kamu sibuk memikirkan dosa-dosamu, tetapi setelah hijrah kamu malah sibuk memikirkan dosa-dosa orang lain” ujar Prof Musdah Mulia.
Semakin orang beragama, sambung beliau, seharusnya semakin bermuhasabah diri, semakin intropeksi terhadap diri sendiri. Bukan malah menyalahkan orang lain dan merasa paling benar sendiri. Pada dasarnya Indonesia tidak dapat terlepas dari agama. Oleh karena itu, aktivis perempuan ini juga berharap supaya masyarakat sekarang hendaknya memikirkan bagaimana masa depan agama itu bisa lebih berkeadaban dan manusiawi.
Pendidikan Damai
Prof Musdah Mulia menuturkan bahwa pemikiran-pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i harus selalu kita kaji ulang dan juga dikembangkan. Salah satu caranya, menurut beliau, adalah dengan melaksanakan pendidikan damai.
Pada dasarnya pendidikan damai telah diajarkan oleh Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii. Namun hal demikian tetap harus kita lakukan dan kembangkan. Karena tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selalu kondusif. Oleh karena itu pendidikan damai yang mengedepankan kemampuan berpikir kritis, demokratis, dan humanis ini menjadi penting.
Pendidikan damai dapat kita lakukan dengan penguatan literasi bagi setiap masyarakat. Prof Musdah Mulia menyebut lima bidang literasi yang harus digalakkan. Yakni literasi kemanusiaan, literasi kebangsaan, literasi lingkungan, literasi digital, dan literasi kesetaraan gender.
Kelima unsur literasi ini penting kita gencarkan untuk mewujudkan pendidikan damai sebagai manifestasi dari pemikiran-pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i. []