• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Imposter Syndrome: Mengapa Perempuan Seringkali Merasa Rendah Diri?

Perempuan tidak lebih rendah kemampuannya dibandingkan laki-laki atau gender non biner. Perempuan di sekitar saya memiliki potensi yang besar, pintar, pekerja keras dan rajin. Sayangnya mereka dan saya juga cenderung memiliki imposter syndrome yang memberatkan langkah kita.

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
06/04/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Imposter Syndrome

Imposter Syndrome

891
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Benarkah perempuan cenderung rendah diri dibanding laki-laki? Apakah benar kepercayaan diri berhubungan dengan gender? Saya akan menyebutkan melalui kacamata gender biner yaitu laki-laki dan perempuan dalam hal ini. Di mana saya berefleksi dalam hubungan pertemanan saya dengan laki-laki dan perempuan. Lalu, saya baru menyadari belakangan bahwa memang perempuan di sekitar saya merasa rendah diri dibanding laki-laki.

Dalam perkuliahan saya di tingkat Magister, seringkali mahasiswa laki-laki yang lebih percaya diri sekalipun mereka tidak lebih kompeten dari mahasiswa perempuan. Saya juga pernah beberapa kali bekerja secara kelompok, dan beban tugas seringkali diberikan kepada perempuan. Tentu saja tidak semua teman laki-laki saya begitu, tapi ini menjadi pola sejak saya SD. Dari mana rasa percaya diri itu? Mengapa ketika saya tahu jawaban dari pertanyaan guru/dosen, saya tidak yakin menjawabnya?

Ternyata hal ini disebut sebagai imposter syndrome. Menurut kamus Merriam-Webster, imposter syndrome adalah kondisi psikologis yang tertandai dengan adanya keraguan terus-menerus tentang kemampuan atau prestasi seseorang. Di mana hal itu disertai dengan perasaan takut bahwa suatu saat kemampuannya ia anggap sebagai penipuan sekalipun memang orang tersebut memiliki kemampuan.

Baca Juga:

Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

John Jost menyebut ada kekuatan yang mempraktikkan sosialisasi gender yang meyakinkan perempuan untuk menginternalisasi inferioritasnya yang termanifestasi dalam istilah imposter syndrome (Babcock dan Laschever, 2003). Linda Babcock dan Sara Laschever dalam “Women Don’t Ask: Negotiation and the Gender Divide” menjelaskan studi menemukan bahwa perempuan yang lulus dari kuliah menunjukkan mereka memiliki kepercayan diri yang rendah dibandingkan teman laki-laki seangkatannya. Sekalipun nilai mereka bagus atau bahkan lebih baik.

Dampak Imposter Syndrome bagi Perempuan

Imposter syndrome memberikan dampak pada penghargaan diri perempuan dalam berbagai aspek, termasuk dalam pekerjaan. Babcock dan Laschever menemukan bahwa pada fresh graduate, hanya 7% perempuan yang berani menego gaji mereka. Sedangkan 57 % laki-laki berani menegosiasikan jumlah gaji yang lebih tinggi. Dengan begitu, laki-laki bisa memiliki sekitar 7,4 % gaji awal daripada rata-rata gaji yang diterima fresh graduate.

Saya mengingat pengalaman Najwa Shihab yang ia bagikan dalam acara Indonesia Butuh Anak Muda Seri Perempuan. Dia mengatakan bahwa saat pertama kali bekerja sebagai jurnalis dia tidak berani menego gaji pertamanya. Dia mengatakan bahwa diterima bekerja saja sudah senang. Namun rekannya yang laki-laki berani menegosiasikan gajinya agar lebih tinggi. Saya juga berefleksi, saya pun tidak berani menegosiasikan gaji, saya terima saja tanpa mengajukan negosiasi.

Hal ini menunjukkan kepercayaan diri dan penghargaan diri perempuan yang rendah akan kemampuannya. Najwa Shihab juga mengalami hal ini saat pertama kali bekerja sebagai jurnalis. Dia tidak berani menegosiasikan jumlah gajinya dan merasa mendapatkan pekerjaan tersebut saja sudah merupakan hal yang besar. Saat wawancara kerja, saya bahkan tidak berani menanyakan jumlah gaji, apalagi menegosiasikan agar gaji saya lebih tinggi.

Tingkat Kepercayaan Diri Perempuan

Mengapa perempuan cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah dan cenderung memilik imposter syndrome? John Jost menjelaskan bahwa hal ini karena perempuan tidak menyadari bahwa mereka adalah kelompok yang tertindas. Konsekuensinya, perempuan memegang kepercayaan yang sesuai dengan yang menindas mereka. Jost menjelaskan perempuan mempraktikkan sosialisasi gender membuat kita terbiasa pada diskriminasi dan ketidaksetaraan. Hingga kemudian membuat kita menginternalisasi inferioritas.

Ada salah satu studi kasus yang dianalisa melalui Babcock dan Laschever (2003) mengenai bagaimana Elaine, seorang hakim perempuan di Amerika Serikat menerima perlakuan dengan tidak setara dalam pekerjaannya karena praktik sosialisasi gender yang Jost sebutkan. Hal ini juga dekat dengan kita di Indonesia yang mengalami diskriminasi berdasarkan gender sekalipun ada di level yang sama.

Elaine menjelaskan bahwa dampak dari stereotip gender pada sikap dan kemampuan sebagian besar perempuan membuat kita tidak menyadari bahwa hidup kita dipengaruhi oleh ekspektasi sosial berdasarkan gender. Sebagai hakim perempuan, dia dan hakim perempuan lainnya diperlakukan berbeda dibandingkan dengan rekan laki-lakinya. Dia dan hakim perempuan lainnya dipanggil dengan nama oleh hakim ketua, sedangkan hakim laki-laki dipanggil berdasarkan jabatanya seperti “Hakim Joseph”.

Menurut Babcock dan Laschever, secara tidak langsung hakim ketua menganggap laki-laki sebagai “tegas, dominan, tegas, ambisius, dan memiliki peran”. Karena itu hakim laki-laki pantas mereka sebut “hakim.” Sebuah gelar yang memberikan hak untuk menegaskan diri sendiri dan menjalankan kekuasaan pribadi. Hakim ketua juga mungkin menganggap perempuan lebih “hangat, ekspresif, mengasuh, emosional, dan bersahabat,” dan karena itu lebih tepat ia sapa dengan nama depan mereka yang “lebih ramah”.

Lingkar Dukungan Sesama Perempuan

Dalam perspektif saya, perbedaan perlakuan berdasarkan gender yang Elaine alami adalah sebuah diskriminasi. Dampaknya, Elaine tidak memiliki posisi yang setara dalam pekerjaannya, pendapatnya mungkin dianggap tidak penting dan tidak bisa menjadi pemimpin karena lebih baik pada posisi “membantu”. Konsekuensi lainnya adalah gaji yang lebih rendah, level jabatan yang lebih rendah dan tidak menganggapnya penting.

Selain itu, dampak lainnya adalah internalisasi pada perempuan itu sendiri sesuai harapan sosial untuk menjalankan nilai-nilai dan peran-peran feminin. Merasa tidak kompeten sebagai hakim, tidak percaya diri dan terbiasa dengan penindasan. Hal ini berhubungan langsung dengan pembagian gender tradisional dan stereotip gender pada perempuan yang menganggap perempuan inferior. Lebih dominan perasaan dibanding logika dan peran alaminya adalah melakukan pekerjaan domestik.

Perempuan tidak lebih rendah kemampuannya dibandingkan laki-laki atau gender non biner. Perempuan di sekitar saya memiliki potensi yang besar, pintar, pekerja keras dan rajin. Sayangnya mereka dan saya juga cenderung memiliki imposter syndrome yang memberatkan langkah kita. Maka penting untuk terus-menerus menguatkan, membantu dan memvalidasi sesama perempuan yang mengalami hal serupa.

Kadang kita merasa tidak layak mendapatkan atau menempati sesuatu yang kita anggap besar. Dan, kadang kita susah untuk memulai sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Menurut Najwa Shihab, penting untuk memiliki lingkar dukungan sesama perempuan karena itu dapat menjadi kekuatan yang luar biasa. Dia juga berpesan agar kita memulai duluan dan jangan menunggu orang lain, karena inisiasi awal adalah kekuatan kita. []

Tags: GenderImposter SyndromekeadilanKesehatan MentalKesetaraanNajwa Shihabperempuan
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan
  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID