Mubadalah.id – Pandangan-pandangan klasik bahwa perempuan dilarang untuk terlibat dalam politik kini berhadapan dengan ruas-ruas modernitas yang terbuka lebar.
Keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan sampai setinggi-tingginya telah melahirkan kemampuan-kemampuan (al-ahliyah). Mereka dalam segala urusan yang sebelumnya diklaim hanya menjadi wilayah laki-laki.
Persepsi tendesius bahwa kaum perempuan kurang rasional, lebih emosional, dan kurang kompeten menangani urusan domestik dan publik daripada kaum laki-laki kini telah gugur dan tidak lagi populer.
Kaum perempuan kini tengah bergerak merengkuh masa depannya dan mengubur masa lalu yang suram dan penuh nestapa. (Baca juga: Partisipasi Politik Bagi Kaum Perempuan)
Abad Ke-20
Sejak awal abad ke-20, sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam menggugat otoritas patriarkis. Pemingitan dan peminggiran perempuan dari ruang publik kita sadari telah merugikan semua orang.
Status perempuan dalam hukum pada akhirnya harus mengalami perubahan setahap demi setahap dan dari waktu ke waktu.
Misalnya, dari Daulah Utsmaniyah (1917), Mesir (1920, 1927, 1979, dan 1985), Turki modern (1924), Irag (1959, 1963, dan 1986), Iran (1967, 1975, dan 1979).
Kemudian, Yordania (1951 dan 1976), Sudan (1951, 1927, 1932, 1933, 1935, 1960, dan 1969). Tunisia (1956, 1957, 1964, 1966, dan 1981), dan Suriah (1953 dan 1975).
Melalui amandemen dan revisi demi revisi atas UU di negara-negara tersebut, hak kaum perempuan muncul dalam ruang-ruang sosial, politik, ekonomi, dan budaya berdampingan secara sinergis dengan kaum laki-laki.
Meski masih belum cukup proporsional (adil), tetapi cita-cita perempuan untuk membangun masa depannya semakin terbuka lebar. []