Mubadalah.id – Buku “Overdosis Beragama”, yang Wildani Hefni tulis sebagai ilmuwan muslim ini sangat menampar cara kita beragama dalam keberagaman. Agama yang kita jalani masih dalam tataran syariat tanpa mengindahkan aspek hakikat dan makrifat. Padahal para cendikiawan muslim terdahulu, seperti Imam Malik telah menegaskan bahwa barangsiapa bertasawuf tanpa fikih, maka akan menjadi zindiq. Dan barangsiapa berfikih tanpa tasawuf, maka akan menjadi fasiq, dan barang siapa mengamalkan keduanya, maka akan mencapai hakikat.
Fikih sebagai ruang ilmu syariat, dan tasawuf sebagai ruang ilmu makrifat akan menggiring seseorang kepada pengamalan ajaran agama yang kaffah, atau paripurna. Sebagaimana Gus Dur ungkapkan sebagai bapak pluralis Indonesia. Ia menyampaikan bahwa ruang makrifat pada aspek ihsan merupakan rukun kemanusiaan, bersifat global, dan tidak berlaku halal-haram. Melainkan tentang bagaimana membersihkan hati, agar diri senantiasa mencintai, mengasihi, dan menebarkan kebaikan semesta. Aspek ini merupakan dasar untuk mewujudkan sikap toleransi sesama makhluk Tuhan.
Berbagai isu intoleransi, diskriminasi, ekstrimisme, rigid, eksklusifitas, serta sumbu pendek yang membabi buta penulis berulang-ulang sampaikan beserta data-data yang terjadi di masyarakat. Data-data tersebut menguatkan argumen Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, bahwa kita harus menempatkan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi.
Agama sebagai aspirasi hanya sebagai alat untuk memenuhi hasrat-hasrat duniawi yang bersifat pragmatis belaka. Berbeda jika agama kita posisikan sebagai inspirasi, tentu akan banyak nilai kebajikan yang akan mengantarkan para pemeluknya kepada jalan kerahmatan dan keteladanan bagi semesta.
Pandangan Keagamaan yang Rahmah
Dr. Alwi Shihab pada program Literasi Keagamaan Lintas Budaya, Institut Leimena, memaparkan fakta-fakta nasional dan internasional. Perihal mengapa agama Islam ditakuti dan dicemooh. Tidak lain karena kita sesama umat Muslim yang kerap saling mengkafirkan, saling menyalahkan, saling membunuh, dan juga saling berperang. Sehingga, fanatisme beragama merupakan hal yang harus kita hindari. Tidak saja oleh umat Muslim saja, tetapi juga oleh seluruh pemeluk agama lainnya.
Tanggungjawab kita sebagai pribadi yang berbangsa dan beragama saat ini adalah berbuat baik. Selain itu mampu bekerjasama dengan yang sama maupun yang berbeda. Kita semua harus mampu berhijrah dari pandangan yang keras dan kaku terhadap pandangan keagamaan yang rahmah. Sehingga kelak yang akan tampak dari umat Muslim bukanlah peringai bar-bar lagi. Melainkan keteladanan yang memang Nabi Muhammad Saw wariskan pada umatnya.
Pandangan keagamaan yang rahmah ini sejalan dengan warisan trilogi ukhuwah KH. Ahmad Siddiq yang Wildan kutip. Yakni Trilogi ukhuwah yang mencakup persaudaraan berdasarkan keimanan, nasionalisme, dan kemanusiaan. Tentunya trilogi ini telah Nabi Muhammad Saw. contohkan. Selain itu juga termaktub dalam ayat-ayat dalam seluruh kitab suci. Sehingga tidak ada alasan bagi umat pemeluk semua agama untuk melakukan intoleransi terhadap diri sendiri dan sesama.
Rasa Kemanusiaan
Menghadirkan rasa kemanusiaan itu tidaklah mudah. Perlu latihan diri, perlu kesadaran tinggi, perlu kemauan dari hati, untuk mengabrasikan sifat-sifat egoisme pada nurani. Kemanusiaan global layaknya perubahan iklim, yang saat ini sedang berusaha untuk menyadarkan manusia atas pentingnya rasa saling memiliki untuk saling menjaga guna kemaslahatan bersama. Sesama makhluk ciptaan-Nya, seluruh unit yang ada di semesta ini saling terhubung dan memberikan respon atas segala bentuk relasi yang ada.
Oleh karena itu, nilai-nilai kebajikan selalu mengingatkan akan pentingnya waktu dan hal-hal yang harus kita lakukan di dalamnya. Para ilmuwan, para tokoh agama, para pemimpin bangsa, dan pemegang kebijakan telah menggaung-gaungkan nilai moderasi beragama guna menciptakan kemanusiaan global ini. Sudah saatnya individu-individu menyambutnya dengan melakukan perbaikan-perbaikan diri.
Tidak perlu menunggu orang lain untuk memulai, masing-masing kita bisa menjadi agen dan juru damai dalam segala peran yang kita punya. Fanatisme beragama yang mengakibatkan overdosis beragama pada para pemeluknya itu sungguh berbahaya. Memahami fenomena yang niscaya ini, tokoh mujaddid Indonesia yang diakui di kalangan nasional maupun internasional, KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) meninggalkan nasihat sederhana namun dalam makna guna menangkal sikap berlebihan dalam beragama dan hidup berdampingan dalam keberagaman.
Nasihat ini kita kenal dengan Ranggeuyan Mutiara, Untaian Mutiara, yang berisikan lima pokok nasihat: jangan membenci kepada ulama yang sejaman; jangan menyalahkan pengajaran orang lain; jangan memeriksa murid orang lain; jangan merubah sikap meskipun disakiti orang; harus menyayangi orang yang membenci kepadamu.
Kebenaran Sepihak
Membenci ulama dan menyalahkan pengajaran liyan merupakan penyakit umat Muslim saat ini. Sebagaimana Wildan sampaikan, pemahaman tunggal atau absolutism beragama ini akan mengantarkan pada kejumudan berfikir, yang pada akhirnya akan melahirkan truth claim, kebenaran sepihak. Sehingga, pendapat dari kelompok lain tidak diindahkan, dan hanya pendapat kelompoknya sajalah yang paling benar. Tentu pandangan ini harus kita luruskan dengan menghayati nasihat tasawuf tersebut.
Di sini lain, saat kita tidak membenci ulama yang sejaman dan mengoreksi apa yang diajarkan, berikut sikap para murid atau pengikutnya, sejatinya kita telah berada pada maqam mampu menerima perbedaan dengan tidak memonopoli tafsir. Sebagaimana cendikiawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Yusuf Rahman sering gaungkan pada mahasiswanya, sejatinya yang manusia manusiaadalah penerjemahan dan penafsiran atas ayatnya, untuk mengetahui makna terdekat dengan makna yang Ia kehendaki.
Karena hakikat makna hanya Allah Swt. saja yang mengetahuinya, maka penafsiran yang hadir pun akan sangat beragam. Manusia harus memahami keberagaman ini, agar tidak memonopoli tafsir yang dapat menghambat rasa ukhuwah antar sesama manusia.
Berprasangka Baik
Konsep berprasangka baik, possitve thinking, husnudzon, adalah salah satu strategi yang ampuh guna membangun kesadaran dalam keberagaman. Tidak ada yang tahu apa yang ada dalam hati seseorang selain dirinya dan Yang Esa. Manusia tidak berhak menghakimi liyan. Sekalipun itu terasa menyakitkan, Nabi mengajarkan untuk tetap weelas asih dan tidak membalasnya dengan hal serupa.
Ya, kita tidak boleh merubah sikap dan tetap harus dapat menyayanginya. Karena rasa welas asih itu kelak juga akan kembali kepada kita. Selama ini kita kerap membalas keburukan dengan keburukan, sehingga mudah sekali timbul konflik kecil maupun konflik besar yang merugikan banyak pihak, bahkan bisa memicu peperangan.
Menjaga kestabilan diri dengan pengendalian nafsu dan menjalankan syara’ secara bebarengan adalah kunci agar keberagamaan kita menjadi keberagamaan yang wasathan, yang tidak overdosis dalam pengamalan dan penghayatannya, sehingga baldah thayyibah wa Rabb Ghafuur itu dapat tercipta di seluruh penjuru semesta. []