Mubadalah.id – Belakangan ini, kasus perceraian salah satu aktor senior ramai menjadi perbincangan. Terlebih dalam perceraian tersebut terkuak adanya perjanjian kawin dan seluruh harta yang ada tercantum atas nama suami, sehingga tidak ada harta bersama yang bakal diterima sang istri. Menyikapi hal ini, lantas apakah perjanjian kawin justru akan merugikan pihak istri? Bagaimanakah mubadalah menyikapinya?
Perjanjian Kawin Menempatkan Para Pihak dalam Kedudukan Setara
Perjanjian perkawinan di kalangan masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya masih terasa asing dan dianggap tabu untuk kita laksanakan, karena dipandang negatif dan menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan perjanjian perkawinan sebagai sesuatu yang tidak lazim, materialistis, tidak etis, dan tidak sesuai dengan adat ketimuran.
Meski demikian, pandangan tersebut mulai bergeser seiring dengan kesadaran mengenai perlindungan hak masing-masing pihak.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, maka seyogyanya perjanjian kawin menempatkan kedua pihak yang terlibat dalam perjanjian dalam kondisi setara. Selanjutnya dalam posisi kesederajatan dan kesetaraan tersebut, suami isteri dapat merumuskan dalam perjanjian perkawinan mengenai nilai-nilai kerja sama dan kebersamaan dalam pengurusan, pengelolaan, dan pengaturan rumah tangga. Termasuk dalam hal ini harta benda perkawinan.
Demikian juga kita bisa melihat bahwa UU Perkawinan menganut asas kesetaraan kedudukan antara suami istri dalam perkawinan. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 31 yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga. Selain itu, dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Kesetaraan Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Termasuk pula kesetaraan kedudukan mengenai hak dan kewajiban suami istri terhadap harta benda perkawinan. Kemudian dalam Pasal 35 UU Perkawinan, menyebutkan dengan jelas bahwa harta benda yang suami istri peroleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Namun dengan adanya perjanjian kawin pemisahan harta, maka status harta bersama akan hilang. Sehingga, baik harta dan utang setiap pasangan suami istri akan menjadi tanggung jawab masing-masing.
Adapun mengenai isi perjanjian, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, maka diserahkan sepenuhnya oleh kedua belah pihak suami dan istri. Namun tetap berpegang pada aturan yang berlaku. Artinya, para pihak suami dan istri bebas menentukan isi perjanjian perkawinan dengan melihat batasan-batasan yang undang-undang atur. Namun tidak boleh menghilangkan hak dan kewajiban suami istri.
Dengan demikian, kesepakatan-kesepakatan dalam perjanjian kawin sejatinya bisa kita buat sedemikian rupa. Selain itu ada kesepakatan kedua pihak untuk mengatur bagaimana ketentuan setiap pasangan dalam pemasukan dan pengelolaan keuangan. Bukan lantas mengebiri hak-hak salah satu pasangan.
Selanjutnya untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, tidak boleh ada unsur yang bersifat memaksa. Artinya apabila salah satu pihak tidak menghendaki adanya perjanjian perkawinan, atau terdapat klausul yang belum mereka sepakati, maka pihak lain tidak boleh memaksakan diri untuk mengadakannya.
Pilar Mubadalah dalam Perjanjian Kawin
Berkaitan dengan pilar mubadalah sebagai penyangga visi kebaikan hidup di dunia dan akhirat yang harus dicapai bersama oleh pasangan suami isteri, maka dalam perjanjian kawin, pilar musyawarah menjadi penting dalam keputusan suami isteri untuk mengadakan perjanjian perkawinan dan dalam penentuan klausul isi perjanjian kawin.
Demikian juga pilar muasyarah bil ma’ruf, artinya pembuatan perjanjian perkawinan dilakukan dengan iktikad baik. Yakni demi kemaslahatan bersama dan saling mengutamakan kebaikan bagi kedua pihak. Selain itu tidak dalam rangka merugikan salah satu pihak dan memberi keuntungan pada pihak lainnya.
Dalam pasal 1 huruf f KHI disebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh. Baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Selanjutnya kita sebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Sehingga meskipun dalam perjanjian kawin telah menetapkan kewajiban masing-masing pihak.
Yaitu suami sebagai pencari nafkah utama dan isteri berperan mengurus rumah tangga, sebagaimana dalam perjanjian kawin sang aktor, seyogyanya perjanjian kawin tidak mengebiri hak isteri terhadap harta perkawinan.
Harus kita sadari bahwa, meskipun istri berperan sebagai ibu rumah tangga dan tidak berpenghasilan, namun tetap mempunyai andil dalam perwujudan harta benda perkawinan. Karena suami akan dapat bekerja dengan tenang, sebab keberadaan istri dalam mengurus rumah ,dan memelihara serta menjaga harta.
Pembagian Harta dalam Perjanjian Harus tetap Adil
UU Perkawinan dan KHI sendiri telah mengakomodir harta bawaan masing-masing suami istri dengan tetap berada pada penguasaan masing-masing pihak. Tanpa adanya persatuan/percampuran harta, kecuali apabila para pihak hendak menentukan lain melalui perjanjian perkawinan.
Demikian pula mengenai pembagian harta bersama dapat kita upayakan perumusan dan pembagiannya, sehingga melindungi kepentingan dan hak masing-masing suami istri. Yakni ejalan penegasannya sesuai dengan UU Perkawinan dan KHI yang menyatakan bahwa harta benda yang suami istri peroleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Ketentuan itu tanpa perlu mempersoalkan siapa yang mengusahakannya lebih banyak. Tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa harta tersebut, maka pembagiannya dalam perjanjian itu harus tetap adil bagi masing-masing pihak.
Demikian apabila pilar rumah tangga dalam relasi mubadalah tersebut kita pegang dalam pembuatan perjanjian kawin, maka perjanjian ini akan memberikan keadilan dan menguntungkan kedua pihak dalam memberikan perlindungan hak dan kepentingan para pihak. Utamanya dalam hal harta benda perkawinan. []