Mubadalah.id – Suami sebagai pemimpin bagi istrinya dalam rumah tangga, seringkali dihadapkan pada keadaan harus mengalah baik dalam posisi benar ataupun salah. Hal ini menunjukkan posisi suami sebagai penanggung jawab keluarganya. Dalam Islam pun dikatakan, “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” (QS at-Tahrim [66]:6). Memahami istri dengan mengalah justru seringkali menyelesaikan masalah.
Sekilas ayat al-Qur’an tersebut memberikan warning kepada suami agar jangan sampai dirinya dan keluarganya terjerumus ke dalam api neraka. Secara implisit tertuang makna ketenangan di dalam upaya menjaga rumah tangga dari gambaran panasnya api neraka berupa ketidakharmonisan. Maka kehidupan yang tenteram terwujud dengan sikap suami yang tenang dalam menghadapi persoalan keluarga.
Tak jarang seorang suami harus mengalah di hadapan istri. Hal ini dilakukan agar suasana lebih tenang dan terhindar dari ketegangan. Dengan demikian pergesekan emosi bisa diredam dan istri pun lega. Walau suami harus menelan ludah sebab meredam emosinya.
Secara psikologis saja suami istri berbeda. Istri cenderung mengedepankan perasaan. Maka sesuatu yang dirasakan, diluapkan secara spontan, kadang dengan ekspresi yang meledak-ledak. Adapun suami cenderung mengedapkan logika. Maka jika tidak berusaha mengendalikan pikiran, akan terjadi pandangan yang menganggap omelan istri harus dijawab dengan fakta. Padahal yang diperlukan istri adalah ingin didengar keluhannya.
Pandangan tentang ‘Suami Tak Ada Benarnya’
Pandangan seolah suami tidak ada benarnya muncul dari kaum laki-laki sebagai suami. Pandangan ini muncul sebagai respon atas kondisi istri yang sering – untuk tidak mengatakan selalu – ngomel, rewel, merisaukan hal kecil, menganggap apa yang dilakukan suami kurang sempurna, mengatur urusan suami dan lainnya. Dalam kondisi seperti ini ada sikap yang berbeda dari suami; sabar dan mengayomi, atau marah dan memaki.
Sikap demikian tidak untuk menggeneralisir bahwa suami tergolong ke dalam dua sikap tersebut, sebab ada pula suami yang bersikap acuh, ada pula yang menjadikan istri layaknya pembantu. Padahal jika kita telaah, dalam perkawinan, posisi suami istri itu saling melengkapi dan menguatkan.
Laki laki dipandang salah oleh perempuan karena perasaan perempuan yang selalu menuntut lebih. Padahal seharusnya, laki-laki dan perempuan itu saling melengkapi karena masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan prinsip pernikahan bahwa suami istri adalah mitra. Ada kesetaraan diantara keduanya dalam Islam.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan dapat diwujudkan dalam bentuk hubungan kemitraan antara suami dan istri. Hal ini seperti diungkapkan Allah SWT dalam Alquran, “Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…,” (QS al-Baqarah [2]: 187). Menurut kitab Tafsir Jalalain, kata pakaian yang termaktub di dalam ayat ini menjadi kiasan bahwa suami dan istri saling bergantung dan saling membutuhkan.
Jika suami istri memahami hal ini, tentu tidak ada perasaan, atau sedikit meredam perasaan, bahwa suami merasa selalu disalahkan, dan istri ingin selalu menyalahkan suami karena sesuatu yang kurang perfect dari suaminya. Suami pun hendaknya memosisikan diri sebagai orang yang kuat pemikirannya, sehingga ketika kadang seorang istri yang terlalu perfeksionis dan selalu mengharapkan sosok laki-laki yang sempurna, maka suami menenangkannya dan memberi harapan akan berusaha memenuhinya. Sebab istri itu perlu didengar keluhannya.
Mengalah Bukti Kepemimpinan Suami
Suami adalah pemimpin keluarga. Dia menjadi pembimbing dan motivator bagi istri dan anak-anaknya. Seorang pemimpin keluarga yang bijak tentu mampu memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada anggota keluarganya, kemudian bersabar dalam menghadapi dan meluruskannya.
Ini termasuk pergaulan baik terhadap keluarga yang diperintahkan dalam firman Allah SWT, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak,” (QS an-Nisaa’[4]: 19).
Maka mengalah adalah salah satu cara bersabar. Dengan mengalah pula suami bisa mengerti kondisi istri dan karakter istri yang sesungguhnya. Dengan mengalah pula suami terbukti memiliki sifat kepempinan. Dimana seorang pemimpin akan bertanggung jawab dalam segala situasi. Termasuk ketika istri banyak bicara dan menganggap suami salah. Karena istri sebenarnya menginginkan yang terbaik bagi suami adan anak-anaknya.