Mubadalah.id – Sebelum membahas tentang perempuan daftar haji karena mampu, atau atas kehendak suami, saya mengutip kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, bahwa Ibnu Rusyd menjelaskan kalau para ulama berselisih pendapat mengenai hukum perempuan yang berangkat haji seorang diri.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafii, perempuan tidak harus untuk berangkat haji didampingi mahram. Mengantongi izin suami terlebih dahulu sudah cukup.
Seorang perempuan boleh berhaji bersama teman yang bisa ia percaya. Kerabat dekat atau jauh bersama-sama, atau bahkan berangkat sendirian. Sedangkan, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan pendapat ulama lain, keberadaan mahram atau izin suami merupakan syarat wajib.
Namun, menurut Imam Ahmad dalam versi pendapatnya yang lain, muhrim termasuk syarat sunah bukan wajib. Pendapat ini jelas menjadi referensi rujukan beraneka pendapat yang bisa mencerahkan. Ambillah tergantung pada sisi mana kita menaruh kepercayaan.
Pertanyaan dari Perempuan yang Daftar Haji
Namun, permasalahan itu ternyata bukan menjadi pertanyaan dasar para perempuan yang bermimpi dapat berhaji dari kalangan menengah ke bawah. Kemarin, awal Juni ketika menghormati walimatul safar salah satu tetangga, seorang perempuan separuh abad duduk di samping saya, menitikkan air mata. Lalu, tutur katanya selanjutnya menohok benak ini.
“Ya Allah. Senangnya. Apakah saya akan ditakdirkan haji ya Allah, sedangkan suami belum mendapatkan panggilan.”
Kepadanya saya bertanya, “Memangnya suaminya sudah daftar, Bu?” Dia menjawab dengan anggukan dan menceritakan kalau suaminya sudah mendaftarkan diri sepuluh tahun yang lalu. Usianya hanya terpaut dua tahun dengan sang istri, jadi sudah sama-sama separuh abad usianya.
Waktu kutanyakan kenapa hanya mendaftar satu kursi saja? Alasan kendala dana menjadi jawaban paling tidak bisa kita bantah untuk perempuan-perempuan dari kalangan menengah ke bawah seperti tetangga saya ini.
Ketika ada uang buat mendaftar maka prioritas yang mereka daftarkan adalah pihak suami. Kenapa? Karena kalau kepala keluarga belum berhaji dan istrinya malah berangkat terlebih dahulu, menurut sebagian pandangan masyarakat hal itu adalah sebuah keanehan. Kok, istrinya dulu yang berangkat? Nadanya skeptis. Lazim kita mendengarnya, kan?
Ketika Haji Istri Menunggu Hadiah dari Suami
Hal inilah yang kemudian membuat banyak perempuan menyimpan tanya. Benar, haji itu panggilan dari Allah tetapi dalam benak kaum perempuan menengah ke bawah, berangkat haji, setidaknya bisa didaftarkan haji adalah sebuah ‘hadiah’ dari seorang suami. Namanya ‘hadiah’ tentu saja boleh diberikan atau tidak maka tergantung sang pemberi, kan?
Sebagai sesama perempuan yang mendengarkan keluhan ini terbayang sudah betapa lelahnya hubungan saling mengharapkan seperti itu dalam keluarga mereka. Apalagi jika salah satu saja yang sudah memasukkan daftarnya untuk memenuhi panggilan ke Baitullah. Sedangkan sisa jatah daftar untuk istrinya hanya bisa ia jaminkan dengan kata-kata : Nanti kalau ada dana lagi.
Kapan? Wallahu a’lam. Haji, adalah panggilan. Kemudian kalimat itulah yang kita buat sebagai rujukan dan juga sebagai pelipur lara sendiri. Dengan kata itu kita kembali memasrahkan diri kepada Tuhan, bukan?
Selayaknya kita perlu berterima kasih kepada para perempuan kaum menengah ke bawah, di mana ia rela menekan rasa rindu Baitullah demi membuat ekonomi keluarga tetap terjaga. Mereka juga menghibur diri dengan menumbuhkan rasa bangga dalam hati mereka manakala suami mereka sudah berhaji lebih dulu.
Meskipun saat suaminya bernama Doni sang istri ikut dipanggil Bu Doni tetapi kalau suaminya berhaji lebih dulu, sang istri tidak bisa dipanggil Bu Haji atau Bu Hajjah sebagai istri seorang lelaki yang sudah berhaji.
Sekali lagi, untuk menghibur dirinya, kami hanya bisa memberikannya doa-doa dari para ulama’ semoga Allah menakdirkan namanya sebagai tamu Allah dengan jalan min haisu laa yahtasib yang tidak kita sangka-sangka. Sebuah penghormatan kepada perempuan yang seharusnya kita hargai lebih, kan? Wallahu a’lam. []