Mubadalah.id – “Aaaaaaaaaaa” teriak anak berumur dua tahun sambil melambaikan tangannya yang mengisyaratkan bentuk penolakan agar saya tidak mendekati dirinya. Saya mulai sedikit menjauh dan mencoba mengajaknya mengobrol secara sederhana untuk membangun bonding di antara kami. Saya terkejut pada usia yang menginjak dua tahun, anak perempuan mungil itu belum bisa mengucapkan kosa kata sederhana sama sekali.
Apabila kita menelusuri lebih lanjut tepatnya, anak perempuan tersebut yang juga keponakan saya ternyata mengalami speech delay atau keterlambatan berbicara. Saya mencoba melihat bahwa apa yang saya lihat saat ini adalah dampak dari kemiskinan terstruktur.
Perkawinan Anak
Setelah pulang dari kegiatan Akademi Mubadalah Muda 2023, saya memutuskan untuk mengunjungi keluarga ayah yang kebetulan memang tinggal di Cirebon. Pada hari terakhir seusai saya menghabiskan waktu bersama Oma di Pantai Kejawanan, saya mengunjungi rumah mimi (nenek atau ibu dari ayah saya) dan mendapati ada saudara sepupu perempuan beserta dengan putri kecilnya.
Sepupu perempuan yang lebih muda dari saya ini, sering saya panggil dengan sebutan ‘Teteh’ (penyebutan saudara/kakak perempuan di daerah Jawa Barat). Meskipun masih berumur belasan, namun sepupu saya sudah memiliki anak perempuan berumur dua tahun dan saat ini sedang mengandung di usia kehamilan sekitar 3-5 bulan. Tentu bukanlah hal mudah bagi perempuan under age untuk mengandung dan mengasuh anak.
Sebelum usia teteh menginjak umur 17 tahun, Teteh saya memutuskan untuk menikah secara sirri (agama) tanpa adanya kasus kehamilan di luar pernikahan. Teteh menikah di bawah umur dan belum bisa menikah secara hukum negara karena belum memenuhi ketentuan batas minimal umur perempuan untuk menikah, yakni 19 tahun.
Keputusan menikah secara dini memanglah bukan hal yang mudah. Saya sendiri sebenarnya masih belum memahami apa saja alasan mengapa teteh memutuskan untuk menikah pada usia yang seharusnya ia fokus untuk melanjutkan pendidikan.
Broken Home
Setelah melihat bagaimana teteh dibesarkan, saya sangat memahami bagaimana bisa teteh memutuskan untuk menjalani perkawinan anak. Dari kecil, teteh dibesarkan dalam keadaan keluarga yang broken home. Hal ini membuatnya tidak menuntaskan pendidikan dasar.
Dalam keadaan keluarga yang broken home dan kurang berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan, mau tidak mau Teteh harus mencari pekerjaan. Tentu, mencari pekerjaan pada usia yang masih dikatakan anak-anak adalah hal yang sangat sulit.
Pada usia Teteh yang menginjak remaja (waktu itu, saya sedang menginjak pendidikan SMP dan teteh berumur dua tahun dari saya), tetah seringkali mendapatkan diskriminasi dari tetangga atau kerabat. Yang saya tahu, Teteh terjebak dalam lingkungan pertemanan yang kurang sehat. Lingkungan tersebut membawanya ke dalam kehidupannya yang sekarang. Mungkin dalam pertemanan tersebutlah teteh juga memutuskan untuk menikah.
Kadang, saya menyayangkan mengapa Teteh tidak fokus terhadap pendidikannya saja. Ketika pendidikan terputus, Teteh hanya bisa bekerja serabutan, Bagi saya, pendidikan menjadi batu loncatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kembali lagi, tentu saya dan Teteh besar dalam keadaan, cara, dan lingkungan yang berbeda.
Katakanlah saya hidup dalam keluarga harmonis yang orang tuanya selalu mementingkan pendidikan anak-anaknya. Namun tidak bagi Teteh. Singkatnya, kami punya privilege dan lingkungan yang berbeda. Kalau sudah seperti itu, saya juga tidak bisa menyalahkan Teteh. Yang harus saya pahami, Teteh mungkin sedang keluar dari lingkungan tersebut namun malah terjebak di lingkungan lain yang sebenarnya adalah lingkungan yang sama.
Kemiskinan Terstruktur
Sedari kecil, Teteh sudah terjebak dalam kemiskinan terstruktur. Penyebab kemiskinan terstruktur adalah faktor-faktor struktural seperti ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik yang terkait dengan sistem ekonomi, kebijakan publik, dan budaya masyarakat.
Kesulitan mengatasi kemiskinan terstruktur karena membutuhkan perubahan yang lebih fundamental dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini bisa terjadi pada kelompok tertentu seperti minoritas etnis, perempuan, anak-anak, dan orang-orang dengan cacat fisik atau mental.
Pada intinya, kemiskinan terstruktur tidak hanya dalam satu sisi saja (misalkan hanya sisi pendidikan saja, sisi ekonomi saja, atau sisi lainnya). Namun, seseorang yang terperangkap pada kemiskinan terstruktur memiliki keadaan yang kurang mendukung dalam berbagai sisi dalam kehidupannya.
Saya mungkin paham bagaimana maksud Teteh yang ingin keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, keputusan Teteh sebenarnya masih belum benar-benar tepat. Teteh mungkin hanya berpikir dengan bekerja dan berpenghasilan, maka teteh dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, saat ini yang terjadi ialah Teteh terjebak lagi dalam kemiskinan terstruktur namun di kondisi yang baru (terjadi pada rumah tangga Teteh).
Saat ini, teteh adalah perempuan muda under 20 tahun yang sedang mengandung dan memiliki satu orang anak. Selebihnya, Teteh tidak memiliki riwayat pendidikan formal, pun dengan kegiatan sekarang yang berfokus mengasuh anak, Teteh juga tidak memiliki penghasilan sendiri.
Stunting
Kondisi Teteh saat ini merupakan kondisi kemiskinan struktural. Dampaknya, Teteh tidak dapat mengenyam pendidikan formal, tidak dapat memenuhi kebutuhan belanja rumah tangga sendiri, hingga yang paling parah adalah keadaan stunting dan speech delay pada sang anak.
Anak harus menjadi korban karena keadaan yang memaksa keluarganya. Anak perempuan teteh tubuhnya kurus, kecil, dan terlihat sedikit lusuh. Selain itu, rupanya teteh belum bisa memberikan makanan yang bergizi, pakaian yang kurang layak, hingga pengasuhan yang tepat untuk anak umur dua tahun. Akibatnya, anak perempuan teteh mengalami stunting dan speech delay karena minimnya gizi dan pendidikan bagi si anak.
Sungguh hal yang miris, bukan?
Perlu kita sadari bahwa kondisi kemiskinan terstruktur yang seperti inilah yang sebenarnya lebih banyak merugikan perempuan. Di samping perempuan belum bisa berdaya, perempuan masih harus menanggung beban ganda dan kemiskinan terstruktur.
Hal yang lebih parah ketika anak-anak tidak berdosa harus menanggung hal-hal yang merugikan bagi mereka. Kejadian seperti ini harusnya tidak boleh terulang lagi. Kita membutuhkan upaya dukungan dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah.
Kita perlu memberikan akses bagi perempuan yang seringkali menjadi pihak rentan melalui pemberdayaan. Selain itu juga perlu menanamkan pemikiran bahwa menikah dan memiliki anak pada usia yang masih sangat muda bukanlah solusi untuk keluar dari kemiskinan, justru malah mengulang fase lingkaran kemiskinan. (bersambung)