Mubadalah.id – Mendengar seorang nabi yang menerima wahyu merupakan sebuah hal yang biasa. Namun bagaimana dengan seorang perempuan yang menerima wahyu? Mungkin hal ini masih asing bagi sebagian orang.
Mengapa demikian? Apakah karena nabi selalu identik dengan sosok laki-laki? Atau justru karena kisah-kisah perempuan ini yang kurang kita populerkan? Jika jawabanya adalah yang kedua, maka marilah kita simak beberapa kisah perempuan penerima wahyu berikut.
Maryam binti Imran
Maryam adalah putri dari Imran yang besar di bawah asuhan Nabi Zakariya As. Dia adalah seorang wanita suci, yang terpilih dan dilebihkan Allah SWT dari seluruh perempuan di alam semsesta. Maryam adalah satu-satunya wanita yang bisa melahirkan anak tanpa adanya proses pembuahan dari lawan jenisnya. Dia adalah ibu dari Nabi besar Isa As yang kemudian menjadi rasul dan menerima kitab Injil. Kebanyakan orang mungkin hanya tahu kisahnya sampai disini.
Padahal Al-Qur’an bercerita kisah Maryam lebih detail. Bagaimana kisah kelahiran dan pengasuhanya, saat ia mendapat anugrah makanan , menerima wahyu, perjuangan saat melahirkan, serta bagaimana ia menghadapi pertanyaan -pertanyaan kaumnya. Namun narasi paling popular dari sosok Maryam hanyalah karena kedudukanya sebagai “Perawan Suci” dan ibu dari Sang Nabi.
Kelahiran dan Pengasuhanya
Maryam adalah putri Imran sedangkan ibunya dalam sejarah terkenal bernama Hannah. Ibunya adalah seorang wanita yang tekun beribadah. Saat mengandung Maryam Ibunya bernadzar akan menjadikan anaknya sebagai orang yang mengabdi di Baitul Maqdis. Ibunya sangat mengharapkan anak laki-laki, karena keadaan sosial pada saat itu hanya memungkinkan seorang laki-laki untuk mengabdi di Baitul Maqdis.
Namun saat mengetahui ia melahirkan anak perempuan, maka ia menamai anak itu Maryam yang bermakna “Pengabdi”, serta meminta perlindungan kepada Allah untuk Maryam dan keturunanya dari godaan syaitan. (QS.Ali Imran: 35-36).
Status Maryam yang perempuan rupanya tidak menyurutkan tekad ibunya untuk menjadikan Maryam seorang pengabdi di Baitul Maqdis. Hingga Allah pun menerima nadzarnya dan membesarkan Maryam dalam pertumbuhan yang baik.
Singkat cerita Allah mempercayaan pengasuhan Maryam pada Nabi Zakariya As setelah dimenagkan melalui undian. (Orang-orang berebut ingin mengasuh Maryam, QS.Ali Imran: 44) Dalam asuhan Nabi Zakariya, Maryam tinggal di sebuah mihrab (ruang khusus ibadah) di Baitul Maqdis. Maryam adalah seorang wanita terpilih yang mendapat berbagai keistimewaan dari Allah.
Salah satu keistimewaanya adalah mendapatkan makanan langsung dari Allah. Setiap kali Nabi Zakariya datang mengunjunggi Maryam, ia selalu mendapati makanan di sisinya. Nabi Zakarya pun heran dan menanyakan dari mana asal makanan itu. Maryam pun hanya menjawab bahwa semua itu berasal dari Allah. (QS.Ali Imran: 37)
Maryam Menerima Wahyu
Suatu hari Malaikat Jibril datang kepada Maryam dalam rupa seorang laki-laki. Maryam yang sangat menjaga diri dari lelaki asing pun khawatir sehingga memohon perlindungan kepada Allah. Kemudian Jibril mengutarakan maksud kedatanganya untuk menyampaikan wahyu kepada Maryam tentang kelahiran seorang anak yang suci.
Mendengar peryataan Jibrib, Maryam pun terkejut dan menyangkalnya. Bagaimana mungkin seorang wanita yang menjaga kesucian diri dan tidak pernah disentuh laki-laki bisa melahirkan bayi. Namun Jibril menjelaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi ketetapan Allah (QS. Maryam: 16-21)
Pengalaman Reproduksi sebagai Ujiannya
Dengan izin Allah Maryam pun mengandung, ketika perutnya telah besar dan kandunganya semakin berat, Maryam pergi mengasingkan diri ke tempat yang jauh untuk menghindari tuduhan buruk kaumnya. Dalam keadaan hamil besar, saat itu ia benar-benar sendiri, tanpa ada seorang pun yang menemani dan membantunya.
Kepayahan yang amat berat ia rasakan. Hingga ketika rasa sakit akan melahirkan tiba, memaksanya menyandarkan diri pada sebuah pangkal pohon kurma. Sendirian dengan rasa sakit yang begitu hebat, terlebih membayangkan cemoohan orang-orang yang akan menimpanya membuat Maryam hampir saja putus asa dan berkata: “Alangkah baiknya jika aku mati saja sebelum ini, dan menjadi seseorang yang terlupakan”. (QS. Maryam: 22-23)
Namun Allah tidak meninggalkan Maryam begitu saja. Dia lah yang memberikan anugrah sekaligus ujian itu kepada Maryam. Maka Allah lah yang akan menolongnya. Kemudian Allah menyruh Jibril untuk memberikan wahyu lagi kepada Maryam.
Jibril pun berseru dari tempat yang rendah. “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah telah menjadikan anak sungai di bawahmu, dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu, niscaya ia akan menggugurkan buah yang masak kepadamu.”
Jibril menyuruh Maryam makan dan minum dengan semua itu, juga berpesan kepada Maryam untuk diam seribu bahasa ketika ada orang yang mempertanyakan anaknya. (Pada saat itu puasa untuk bicara adalah ibadah). (QS. Maryam: 24-26)
Menghadapi Pertanyaan Kaumnya
Setelah kondisinya membaik, Maryam pun kembali pada kaumnya dengan menggendong anaknya. Betepa terkejutnya orang-orang saat itu, melihat seorang wanita suci (pengabdi di Baitul Maqdis) berjalan sambil menggendong anak.
Tentu orang-orang langsung ramai mengerumuninya dan mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Mereka berpikir hal-hal yang buruk tentang Maryam. Berpikir jika Maryam telah berzina kemudian datang dengan anak hasil perzinahanya. (QS. Maryam: 27-28)
Menginggat pesan Jibril, Maryam hanya terdiam dan menunjuk kepada anaknya. Kaumnya semakin heran pada Maryam, bagaimana mereka akan bertanya pada seorang bayi yang masih dalam gendongan? Hingga dengan izin Allah, bayi itu pun bisa berbicara dan berkata : “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Dia memberiku kitab dan menjadikanku seorang nabi.” (QS. Maryam: 29-30)
Bukan Perihal Status Kenabian
Membahas kisah perempuan yang mendapatkan wahyu bukan untuk menyoal status kenabiannya. Melainkan untuk mengingatkan kita bahwa perempuan juga mengambil peran penting dalam sejarah kenabian. Saat status keperempuanan tidaklah menghalanginya untuk menjadi hamba pilihan Allah. Bahwa Allah memilih siapa saja dari hambanya tanpa membedakan jenis kelaminya.
Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah untuk mengingatkan kita bahwa peran perempuan dalam kisah nubuwah tidak terbatas sebagai alat reproduksi samata. Keberadaan perempuan tidak hanya menjadi penting karena telah melahirkan seorang nabi saja, namun mereka juga memiliki detail kisah tersendiri dalam Al-Qur’an yang sarat akan pelajaran.
Peran Maryam yang Sering dilupakan
Salah satu peran Maryam yang sering kita lupakan adalah posisinya sebagai pengabdi di Baitul Maqdis. Hal tersebut berhasil mematahkan stigma pada saat itu ketika orang-orang suci hanya berasal dari kalangan laki-laki.
Nyatanya, narasi dalam QS.Ali Imran:35-36 menerangkan bahwa Allah menerima nazar ibunya dan mebesarkan Maryam dengan pertumuhan yang baik. Hal ini juga berkaitan dengan spiritualitas perempuan yang seringkali kita anggap kurang agamanya (secara kuantitas). Padahal Allah telah menyuruh Maryam untuk taat dan banyak beribadah kepada Allah (QS.Ali Imran: 43)
Kita juga bisa meneladani bagaimana keteguhan Maryam dalam menerima ketetapan Tuhanya. Perjuanganya saat hamil dan melahirkan sendirian, belum lagi keadaan pasca melahirkan saat harus menghadapi cercaan kaumnya. Betapa kuat ketahanan mental, fisik juga spiritual seorang Maryam. Hal ini juga menjadi gambaran bahwa perempuan adalah orang yang paling dirugikan saat terjadi kehamilan di luar pernikahan (Perempuan selain Maryam).
Figur Maryam juga menjadi pengingat kita untuk memperhatikan nutrisi dan kesehatan perempuan. Makanan yang Maryam dapatkan adalah makanan spesial, karena proses reproduksinya juga spesial. Bahkan saat Maryam hendak melahirkan perintah yang Allah berikan adalah untuk makan dan minum (QS. Ali Imran: 26) Dari sana kita bisa melihat adanya isyarat untuk memperhatikan nutrisi perempuan, khususnya yang akan menjadi calon ibu.
Satu hal lagi yang cukup menarik untuk kita ketahui dari Maryam, adalah tentang mukjizat yang Maryam alami, menjadi penguat bukti ketauhidan. Yaitu pada saat kelahiran Nabi Isa As yang spesial menjadi alasan pengkultusanya sebagai Tuhan atau anak Tuhan, maka Al-Qur’an dengan tegas membantah itu.
Al-Qur’an mengatakan bahwa Nabi Isa As dan Ibunya Maryam biasa memakan makanan (Al-Maidah: 75). Karena sekiranya keduanya adalah Tuhan selain Allah, maka tentu Tuhan tidak memerlukan makanan. []