Mubadalah.id – Belakangan ini, isu tentang bullying sedang ramai diperbincangkan di media massa. Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan Bu Lili pemilik warung makan langgananku di dekat tempat kuliah dulu. Bu Lili curhat tentang anaknya yang mengalami kekerasan di pesantren.
Sebut saja Riski. Waktu itu, ia baru duduk di bangku kelas 7 SMP. Sebagai santri sekaligus siswa baru di pesantren tersebut, ia tentu merasa bingung dengan segala aturan yang ada di sana. Oleh karena itu, ia selalu mengikuti teman-temannya kemana pun mereka pergi. Tapi, lama kelamaan mereka merasa risih karena Riski selalu ngintil.
Alhasil, karena perasaan risih itu, kelompok teman Riski yang kebanyakan adalah kakak kelas di sekolah memukuli kepalanya. Tidak hanya satu kali, pemukulan itu ternyata masih berlanjut hingga beberapa bulan berikutnya tanpa diketahui oleh pihak pesantren.
Selama berbulan-bulan, Riski mengalami tekanan batin yang berat ditambah lagi dengan pukulan yang selalu dilakukan temannya. Tubuhnya semakin kurus. Mukanya juga mulai menirus dari sebelumnya. Badannya lemas sampai berjalan seperti robot, tidak tahan dengan berbagai tekanan yang ada di sana.
Peran berbagai pihak di pondok pesantren seperti pengurus dan pengasuh yang harusnya memberikan perlindungan, malah terkesan membiarkan dan menormalisasi tindakan kekerasan yang terjadi.
Maraknya Kasus Bullying yang Terjadi di Dunia Pesantren
Pemberitaan mengenai kasus kekerasan di dunia pendidikan terutama di Pesantren memang banyak menyita perhatian publik. Berbagai lembaga maupun media mulai sering menyoroti kasus yang muncul di pesantren.
Pada 13 Februari 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kenaikan angka kasus bullying sebanyak 1.138 baik kasus kekerasan fisik maupun psikis. Selain itu, KPAI juga mencatat ada sebanyak 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata banyak kita temukan kasus kekerasan lain di pondok pesantren, entah itu berupa kekerasan fisik maupun kekerasan psikis. Mengutip dari laman mediaindonesia.com bahwa Santri Pondok Pesantren Malang Dibully Teman Sebayanya. Korban mengalami luka dan patah tulang pada hidungnya.
Di lingkungan tempat tinggalku ada beberapa anak yang juga pernah mengalami kasus bullying di pesantren. Mulai dari kasus candaan yang di dalamnya terdapat kata bully, ada beberapa anak juga yang mengucilkan temannya sampai pada kasus kekerasan fisik seperti pemukulan.
Belum lagi banyak kasus bullying yang tidak terungkap ke media. Permasalahan perundungan atau bullying ini yang pada akhirnya membuat para korban tersebut memilih untuk menyudahi pendidikannya di pesantren.
Bagaimana Tips Mencegah Kasus Bullying?
Berangkat dari permasalahan bullying di pesantren, baik itu kekerasan fisik maupun psikis pada akhirnya akan memunculkan stigma negatif dari masyarakat terhadap pesantren.
Pandangan masyarakat mengenai kehidupan santri yang identik dengan sederhana, religius, penuh cinta dan kasih sayang terhadap orang lain perlahan akan berubah.
Stigma masyarakat tentang pesantren sebagai tempat menimba ilmu, dan membina akhlak santri bisa saja berubah menjadi stigma bahwa pesantren itu identik dengan pembullyan.
Kasus bullying seperti ini tidak boleh kita biarkan. Harus mendapatkan perhatian khusus terutama oleh pihak pesantren. Sudah semestinya semua pihak saling bekerjasama untuk mencari solusi bagaimana memutus kasus bullying yang banyak terjadi terutama di dunia pendidikan. Ada 2 tips penting dalam mencegah kasus bullying di lingkungan pesantren.
Pertama, kita bangun kesadaran anak sejak dini mengenai prinsip keadilan relasi. Anak-anak yang menjadi pelaku dalam kasus bullying bisa jadi mereka memang belum cukup edukasi baik dari keluarga maupun sekolah tentang hal ini. Harusnya anak kita berikan pemahaman mengenai cara pandang keadilan relasi sejak dini, bagaimana cara menghargai orang lain.
Tanamkan pada anak bahwa jika kita ingin diperlakukan dengan baik maka kita juga harus memperlakukan orang lain dengan baik pula. Prinsip kesalingan dalam berelasi tersebut yang nantinya akan memandang dua belah pihak sebagai manusia yang terhormat dan setara. Prinsip keadilan relasi ini pada akhirnya akan melahirkan rasa persaudaraan yang kuat antar sesama.
Kedua, lembaga pesantren perlu membentuk tim konseling. Mengapa banyak kasus bullying yang akhirnya tidak terungkap? Ya, terkadang ada beberapa kasus korban bullying yang merasa takut untuk menceritakannya kepada orang lain lantaran tidak percaya atau alasan yang lain. Ada juga korban yang memang diancam oleh pelaku agar tidak menceritakan ke orang lain.
Peran penting semua pihak dalam mencegah bullying
Melihat alasan-alasan tersebut, sebaiknya pihak lembaga lebih kuat lagi dalam mengawasi dan monitoring terhadap santri. Salah satu cara yang bisa kita lakukan yakni dengan melibatkan santri yang ada di pesantren untuk mengikuti pelatihan menjadi konselor yang nantinya akan membantu dan mengatasi permasalahan bullying di lingkungan pesantren.
Tim konseling inilah yang nantinya akan membantu menganalisis faktor-faktor pemicu bullying dan merancang program penanganan yang tepat. Melalui langkah tersebut, harapannya korban bullying akan memiliki wadah untuk bisa menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami untuk bisa kita carikan solusi bersama.
Tak hanya santri saja yang akan menjadi tim konselor tersebut, namun pihak pengurus, pengajar, dan pengasuh juga akan masuk ke dalam tim konseling.
Untuk mencegah bullying yang terjadi di lingkungan pesantren tentunya bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak saja. Namun, semua stakeholder yang ada di pesantren baik dari pengasuh, pengajar, pengurus maupun santri turut berperan juga dalam melawan kasus perundungan atau bullying di pesantren.