[ez-toc]Mubadalah.id – Skandal memalukan mewarnai Perhelatan Miss Universe Indonesia 2023 perihal pemeriksaan badan (body checking) peserta yang dilaporkan dilakukan secara telanjang. Pelaku dalam proses pemeriksaan tersebut kabarnya adalah oknum tertentu, dan bukan atas dasar persetujuan semua pihak di ajang kontes kecantikan tersebut.
Body checking atau pengecekan tubuh tanpa busana ini, penyelenggara lakukan tanpa persetujuan (consent) jelas telah melanggar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022. Upaya hukum eksploitasi terhadap tubuh Perempuan ini penting kita dukung jika ingin kasus serupa tak lagi terulang.
Mamay Muthmainnah mewakili PB Kopri PMII telah menyerukan untuk bergerak bersama memberi dukungan pada para korban. Secara tegas ia menyatakan sikap agar kasus ini diusut tuntas. Menurutnya, ajang kecantikan Miss Universe Indonesia ini, sangat berlawanan dengan spirit untuk memberdayakan “empowering women”. Sebab tidak ada penilaian yang mengkategorikan apapun, bahkan mewajibkan melihat tubuh peserta secara telanjang.
Pelecehan seksual, dan eksploitasi terhadap tubuh perempuan ini harus kita hentikan. Karena telah menundukkan kesempatan emas untuk mengangkat harkat, dan martabat derajat perempuan Indonesia di mata dunia.
Standar Kecantikan Perempuan
Ketika bicara standar kecantikan, saya jadi teringat dengan Buku Mitos Kecantikan (2004) karya Naomi Wolf, yang mengawali tulisannya dengan penggambaran keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 yang mampu meraih hak-hak hukum dan reproduksi.
Di samping itu perempuan juga mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi keberhasilan itu tidak kita barengi dengan kebebasan perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya.
Di sini perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan. Naomi Wolf menjelaskan secara gamblang, bagaimana mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering kita sebut sebagai citra kecantikan perempuan.
Selain itu Naomi Wolf bertutur tentang mitos kecantikan dalam ruang kebudayaan. Mitos kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhluk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Pencitraan tentang tubuh perempuan mereka ciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya mempunyai dua pilihan. Memiliki kecerdasan atau mempunyai kecantikan.
Eksploitasi Tubuh Perempuan
Pada penjelasan yang lain, Simone de Beauvoir dalam karya monumentalnya Second Sex juga mengatakan tentang eksploitasi terhadap tubuh perempuan yang terbentuk sedemikian rupa. Yakni melalui gaya pakaian yang terbuat untuk menyamarkan. Seperti perempuan di China dengan ikatan kakinya yang membuat mereka sulit berjalan.
Lalu sepatu berhak tinggi, korset, dan baju-baju yang menyulitkan perempuan untuk bergerak bebas, serta semua aturan kepantasan yang diberlakukan bagi perempuan. Menurut Simone, tubuh perempuan tampak menjadi milik laki-laki sebagai harta bendanya. Make up dan perhiasan juga semakin menegaskan tuntutan akan wajah dan tubuh ini.
Mitos Kecantikan
Namun bagi saya, seperti apapun kesadaran yang perempuan miliki harus melampaui mitos kecantikan. Tetapi lantas tidak mengabaikan kecantikan itu sendiri. Sebaliknya, bagaimana agar keluar dari mitos kecantikan yang telah terancang sedemikian rupa, sehingga perempuan kita dorong untuk lebih berani menentukan dan mengekspresikan diri, dan mencintai tubuhnya dengan melepaskan semua nilai-nilai atas tubuhnya itu.
Apapun pakaian yang perempuan kenakan, bermake up atau tanpa polesan sama sekali, sesama perempuan harus saling menghargai dan tidak mudah untuk saling menghakimi. Jika sudah merasa nyaman dengan pilihan penampilan, tidak lantas menyuruh orang lain untuk mempunyai tampilan yang sama dengan kita.
Karena selera masing-masing perempuan itu berbeda, tergantung pada kebutuhan dan lingkungan di mana dia berada. Artinya, dengan saling menghargai pilihan itu, perempuan harus bangga dengan menjadi diri sendiri.
Menjadi Perempuan Berkualitas
Kebanggaan di sini, sebagaimana penjelasan Faqihuddin Abdul Kodir dalam artikel “Membanggakan Perempuan”, bahwa kebanggaan semu terhadap kecantikan malah akan menyudutkan perempuan. Yakni dengan anggapan bahwa perempuan adalah figur penggoda bagi laki-laki.
Stigma penggoda ini yang kemudian tereksploitasi dari tubuh perempuan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak kembali pada kepentingan perempuan itu sendiri. Sehingga bagaimana perempuan melepaskan kebanggaan tidak hanya sekedar artifisial terbatas pada keindahan tubuh dan kecantikan saja, melainkan juga menumbuhkan kebanggaan sebagai perempuan. Di mana ia mempunyai jiwa, raga, pikiran, rasa, tenaga dan karya.
Dalam bahasa agama, menurut Faqihuddin, potensi penggoda ini disebut fitnah. Bahwa perempuan memiliki potensi fitnah yang bisa menghanyutkan para laki-laki dan merusak tatanan masyarakat. Dengan potensi ini perempuan sering bersanding dengan harta, benda dan tahta.
Dalam berbagai kesempatan seringkali ada pernyataan bahwa ujian setiap orang adalah harta, tahta dan wanita. Seakan wanita bukan orang karena kita samakan dengan banyak sekali hal yang menyudutkan perempuan. Kehidupan terasa menjadi tidak nyaman bagi perempuan.
Jadi, kebanggaan terhadap perempuan bukan dari potensi fitnah ini. Kebanggaan pada tubuh, kecantikan dan penampilan yang bersifat artifisial bisa berujung pada tindakan eksploitatif dan diskriminatif. Tetapi kebanggaan perempuan sebagaimana juga laki-laki adalah sebagai manusia yang bermartabat, berdaya, berkarya nyata, berkiprah positif.
Baik itu yang kita lakukan di ranah domestik maupun publik. Perempuan inilah yang dalam istilah agama kita sebut sebagai “Mar’ah Shalihah”, atau perempuan berkualitas. []