Mubadalah.id – Indonesia memilih pandangan mayoritas ulama fikih yang mewajibkan perempuan menikah melalui walinya dari kerabat dekat yang berjenis kelamin laki-laki, mulai dari ayah, kakek, paman, atau saudara kandung.
Perwalian di Indonesia secara sosial dimaksudkan juga untuk memberi dukungan dan perlindungan bagi perempuan. Sehingga tidak dianggap remeh oleh laki-laki calon mempelainya.
Karena dalam benak banyak masyarakat, perempuan masih sering dianggap rendah, diremehkan, dan disia-siakan.
Untuk memperkuat dukungan sosial terhadap perempuan, kehadiran wali nikah bagi perempuan menjadi penting dan wajib dalam akad nikah.
Kecuali jika perempuan tidak memiliki wali atau terjadi pertengkaran antara ia dengan walinya, maka Islam juga memberi jalan melalui wali hakim dari pihak negara. Dalam Islam, wali hadir untuk mendukung dan melindungi perempuan.
Wali Nikah Menurut Imam Malik
Jika merujuk pandangan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ tentang perempuan menjadi wali nikah. Maka menurut Imam Malik, perempuan yang menjadi wali nikah pertama adalah Aisyah r.a.
Aisyah r.a menurut Imam Malik, beliau yang menjadi wali yang menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki.
Kebolehan perempuan menjadi wali nikah ini merujuk pada Hadis:
Dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari ayahnya al-Qasim bin Abi Bakr al-Shiddiq r.a., bahwa Aisyah r.a. menikahkan Hafshah bint Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama al-Mundzir bin al-Zubair. Saat itu, Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang tidak ada, karena berada di Syam.
Ketika ia datang dari Syam, dia mengeluh, “Orang sepertiku diperlakukan seperti ini? Orang sepertiku dilangkahi untuknya begitu saja?.”
Lalu Aisyah r.a. berbicara dengan al-Mundzir bin al-Zubair. Dan al-Mundzir kemudian berkata, “Semua ini (keputusannya berada) di tangan Abdurrahman.”
Lalu Abdurrahman pun menjawab, “Saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu langsungkan, (wahai Aisyah).” Dan Hafshah pun tetap hidup serumah bersama al-Mundzir. (Muwaththa’, no. 1167).
Di samping untuk menolak larangan perempuan dewasa yang menikahkan hidupnya sendiri. Teks ini juga mengindikasikan bahwa perempuan bisa menjadi wali nikah. Bahkan bisa melangsungkan akad nikah bagi orang lain.
Teks lain yang Mazhab Hanafi gunakan adalah atsar bahwa Abdullah bin Mas’ud r.a. telah mengizinkan istrinya melangsungkan akad nikah bagi putrinya.
Di dalam Mazhab Hanafi, perempuan tidak hanya boleh dan sah menikahkan hidupnya sendiri. Tetapi juga boleh dan sah, ketika tidak ada wali yang laki-laki, untuk menjadi wali nikah bagi perempuan yang menjadi keluarganya. []