Dari Ali bin Abi Thalib r.a.: Aku mendengar Nabi saw. bersabda, “Maryam binti Imran adalah sebaik-baik perempuan (pada masanya), dan sebaik-baik perempuan bangsa ini adalah Khadijah.” (Sahih Bukhari, 58: no.164).
Jika ada perempuan dalam Islam yang harus ditiru oleh para perempuan muslim, Khadijah tentu berada di peringkat atas. Dialah ibu pertama orang-orang beriman, yang memiliki posisi unik tak hanya sebagai perempuan pertama, tapi juga orang pertama yang memeluk Islam.
Sejak ia wafat di awal masa kenabian Muhammad saw., seluk-beluk kehidupan Khadijah tidak secara luas didokumentasikan seperti banyak Sahabat Nabi yang lain.
Meskipun begitu, dari sumber-sumber yang ada, kita tahu bahwa Khadijah berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Khuwailid adalah salah satu pemimpin yang paling dihormati di sukunya hingga ia terbunuh dalam peperangan. Suaminya pun telah wafat, meninggalkannya sebagai seorang janda kaya-raya.
Ia terkenal karena kepribadian, kekayaan dan kecantikannya yang sangat memukau. Khadijah juga dikenal sebagai Amira-Quraish (Putri Quraish), dan ath-Thahira (Yang Murni), karena kepribadiannya yang tanpa cela dan berbudi luhur, apalagi ia berasal dari keturunan yang dihormati.
Setelah kematian suami pertamanya, Khadijah memikul pengelolaan hartanya seorang diri, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Saat Muhammad saw. masih muda, Khadijah mempercayakan padanya sebagian hartanya, memintanya untuk berdagang dengan modal itu di Suriah, dengan atas namanya. Nabi saw. kembali dari Suriah setelah mendapat keuntungan besar untuk Khadijah. Saat itu, ia sudah dikenal atas ketulusan, kejujuran, dan sifatnya yang dapat dipercaya. Kualitas-kualitas inilah yang lebih menarik perhatian Khadijah ketimbang ketajaman bisnisnya.
Setelah mendengar laporan perjalanannya, Khadijah memantapkan hati bahwa Muhammad akan menjadi suami yang terbaik. Perlu diingat bahwa pada saat itu, dia adalah perempuan dengan harta melimpah dan status tinggi, yang secara sosial dan finansial ia layak menikahi salah satu dari banyak bangsawan Quraish yang telah melamarnya.
Bagaimana pun, ia memiliki integritas dan kemuliaan untuk mengakui sifat terpuji yang ia lihat dalam diri Muhammad saw., yang menggantikan segala kekayaan, status sosial atau garis keturunan elit siapa pun. Sebagai perempuan dengan karakter kuat dan pandai mengambil keputusan, Khadijah berangkat untuk melamarnya.
Setelah paman Nabi saw., Abu Thalib, merestui lamaran itu, Muhammad dan Khadijah dinikahkan. Saat menikah, Nabi saw. berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah berusia 40 tahun. Dialah istri pertama Nabi saw. dan satu-satunya perempuan yang beliau nikahi sebelum kenabiannya. Fakta menarik lain tentang pernikahan ini adalah Nabi saw. tidak menikahi siapa pun sampai setelah kematian Khadijah.
Dari pernikahan mereka, Khadijah melahirkan beberapa buah hati. Sayangnya, anak pertama mereka yang diberi nama Qasim, meninggal saat masih berumur 2 tahun. Dua anak laki-laki lainnya, Thayyib dan Thahir, juga lahir tapi mereka pun wafat di usia balita. Namun, setelah beliau diutus menjadi Nabi, Muhammad saw. dan Khadijah memiliki 4 anak perempuan yang bertahan hingga dewasa: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Khadijah adalah satu-satunya istri beliau yang melahirkan anak-anak yang hidup hingga dewasa. Tidak ada istri lain yang melahirkan anak darinya, selain Mariah al-Qibthiyah, yang anak lelakinya, Ibrahim, juga wafat di usia balita.
Selama bertahun-tahun, semakin banyak Khadijah tahu tentang suaminya, semakin ia mencintai dan menghormatinya. Semua orang di Mekkah memanggilnya al-Amin (yang dapat dipercaya), dan Khadijah, lebih dari siapapun, tahu betapa cocoknya julukan ini.
Menjadi kebiasaan Muhammad saw. setiap tahun untuk menghabiskan bulan Ramadhan dalam penyendirian dan refleksi di sebuah gua di gunung Hira, yang berada di pinggiran Mekkah. Khadijah akan selalu memastikan bahwa suaminya dibekali makanan dan minuman selama meditasi.
Begitu cintanya Khadijah kepadanya, sehingga kadang ia menemani suaminya selama beberapa hari selama meditasi, tidak pernah mengatakan sepatah kata pun kepadanya selama waktu itu agar tidak mengganggu perenungannya. Berapa banyak perempuan dalam sejarah yang memiliki tingkat pemahaman yang mendalam untuk kebutuhan suami mereka, dan mempraktikkan pengendalian diri dalam berbicara dan bertindak jika dihadapkan dengan perilaku yang serupa dari suami mereka?
Para istri biasanya justru komplain saat diabaikan. Namun, Khadijah tidak pernah marah atau pun mengeluh selama masa ketidakhadirannya yang cukup lama, karena ia menghargai dan menghormati kebutuhan spiritual Nabi saw. untuk merenungkan, merefleksikan, dan menyatukan hati dengan Penciptanya.
Sekitar lima belas tahun pernikahan mereka, menjelang akhir Ramadhan, ketika ia berusia empat puluh dan Khadijah lima puluh lima, Muhammad saw. tiba-tiba muncul di rumah mereka di tengah malam, gemetar ketakutan dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!”
Khadijah sangat khawatir melihatnya dalam kondisi seperti itu. Dengan cepat ia membungkus tubuh Nabi saw. dengan selimut di bahunya dan, ketika ia sudah tenang, Khadijah memintanya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia mengatakan padanya bagaimana seorang makhluk yang belum pernah ia lihat sebelumnya (yang itu sebenarnya adalah malaikat Jibril) tiba-tiba muncul kepadanya dan berkata, “Bacalah!”
“Tapi aku tidak bisa membaca,” jawabnya, karena dia buta huruf dan tidak bisa membaca atau menulis. “Baca!” Malaikat itu mengulangi, mendekap Muhammad saw. dekat dadanya. “Aku tidak bisa membaca,” dia mengulangi. “Bacalah!” Malaikat itu tetap mengulangi, memeluknya lagi dengan kuat. “Apa yang harus saya baca?” Nabi saw. bertanya dengan putus asa, dan malaikat itu menjawab:
“Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan (manusia) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq (96): 1-5).
Maka dimulailah peristiwa yang mengubah kehidupan. Bukan hanya hidupnya, tetapi sejak saat itu dan seterusnya, jalan umat manusia mengambil arah yang berbeda. Meskipun Muhammad saw. tidak sepenuhnya menyadari pada saat itu, inilah awal turunnya wahyu Al-Qur’an.
Dan pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu, Khadijah berperan penting tidak hanya sebagai istri dan teman, tetapi juga sumber dukungan emosional, moral dan finansial yang konstan untuknya. Lebih dari sekali, beliau kembali kepada istrinya untuk meminta nasihat dan kenyamanan, dan dibimbing dengan kebijaksanaannya. Dengan kata lain, dialah ibunda sejati orang-orang yang beriman.
Sebagai contoh, setelah perjumpaan pertama dengan malaikat Jibril, Nabi saw. sangat ketakutan, tidak tahu apakah ia mulai gila dan berhalusinasi, atau apakah ia dirasuki jin. Nabi saw. menuruni bukit secepat mungkin dan pulang untuk menceritakan pengalamannya kepada istri tercinta.
Ketika dia mendengarkan kata-kata Nabi saw., Khadijah tidak merasa takut sedikit pun. Ia menyadari bahwa sesuatu yang luar biasa dan menakjubkan telah terjadi pada suaminya. Dia yakin dan begitu mengenalnya, bahwa suaminya tidak gila atau kerasukan.
“Jangan khawatir,” katanya, “karena dengan-Nya Yang berkuasa atas jiwa Khadijah, aku berharap engkaulah Nabi umat ini. Allah tidak akan pernah merendahkanmu, karena kau baik kepada kerabatmu, kau memegang janji-janjimu, kau membantu orang-orang yang membutuhkan, kau mendukung yang lemah, kau memberi makan tamu dan kau memenuhi panggilan orang-orang yang dalam kesulitan.”
Dalam kejadian yang lain, Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi saw. sedang duduk bersama Khadijah tak lama setelah turun wahyu pertama. Beliau kemudian melihat seseorang di antara langit dan bumi, dan memberi tahu Khadijah apa yang beliau lihat. Khadijah memintanya untuk berada lebih dekat dengannya, dan setelah dia melakukannya, dia bertanya apakah beliau masih melihat orang itu. Beliau menjawab dengan tegas (bahwa ia masih melihatnya). Dia kemudian menyuruh Nabi saw. untuk meletakkan kepalanya di pakaiannya (dalam laporan lain, diceritakan bahwa dia melepaskan jilbabnya) dan bertanya apakah Muhammad saw. masih melihat orang itu. Beliau menjawab tidak, karena orang itu telah menghilang. Khadijah mengatakan kepada beliau untuk tenang, bahwa orang itu pasti adalah malaikat (dalam wujud manusia), karena iblis tidak akan malu untuk tetap menonton keintiman mereka.
Begitulah reaksinya – Khadijah sangat percaya pada integritas, kesehatan pikiran dan rohani Nabi saw. Dia memiliki kematangan pemikiran, sehingga ia segera memadamkan kecemasan dan keraguan Nabi saw. akan kewarasannya dan justru memberinya dukungan sejak saat dimulai masa kenabiannya.
Ketika Muhammad saw. sedikit lebih tenang, Khadijah membawanya untuk menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal, karena ia seorang yang berpengetahuan. Dia yakin bahwa Waraqah akan dapat menjelaskan arti atas apa yang baru saja terjadi pada suaminya tercinta.
Waraqah telah mempelajari secara mendalam buku-buku orang Yahudi dan Kristen dan dia telah belajar banyak dari orang-orang yang paling bijaksana di antara mereka. Dia tahu bahwa kedatangan Nabi lain telah diramalkan oleh Musa a.s. dan Isa a.s., dan dia tahu banyak tanda-tanda yang akan mengkonfirmasi identitas Nabi ini ketika ia muncul.
Setelah mendengarkan dengan cermat ceritanya, Waraqah, yang tua dan buta, berseru, “Ini adalah makhluk yang sama yang membawa wahyu Allah kepada Musa. Aku berharap aku masih muda dan bisa hidup ketika orang-orangmu akan mengusirmu.”
“Apakah mereka akan mengusirku?” tanya Muhammad saw.
“Ya,” jawab Waraqah. “Tak seorang pun yang datang dengan apa yang telah diberikan kepadamu tanpa diperlakukan dengan permusuhan; dan jika aku hidup sampai hari ketika engkau muncul sebagai Nabi, maka aku akan mendukungmu sekuat tenaga.
Biarkan aku meraba punggungmu.” Waraqah meraba di antara bahu Nabi saw. dan menemukan apa yang ia rasakan: sebuah lingkaran kecil, terasa sedikit tidak teratur di kulit. Ini adalah pertanda lain dari banyak tanda yang Waraqah sudah tahu akan menunjukkan identitas nabi berikutnya setelah Isa a.s.
“Ini adalah Segel Kenabian!” ia berseru. “Sekarang aku yakin bahwa Engkau memang Nabi yang kedatangannya telah diprediksi dalam Taurat yang diwahyukan kepada Musa a.s. dan dalam Injil yang diturunkan kepada Isa a.s. Engkau memang Utusan Allah, dan makhluk yang menampakkan diri kepadamu di gunung memang adalah malaikat Jibril!”
Khadijah sangat gembira dan terkesima mengetahui bahwa pemahamannya tentang apa yang terjadi di gunung telah terkonfirmasi. Tidak lama setelah kejadian ini, Muhammad saw. diperintahkan dalam wahyu berikutnya dari Allah Swt. melalui malaikat Jibril, untuk menyeru orang-orang untuk menyembah Allah saja.
Pada titik inilah, Khadijah tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan di depan umum apa yang telah ia ketahui dengan pasti: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,” katanya, “dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.” Dengan demikian, cintanya pada suaminya telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dan jauh lebih dalam, yakni menjadi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. []
Diterjemahkan dari: thesciencefaith.com