Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu, aku sempat bertanya kepada nenekku di kampung tentang mengapa anak perempuan harus di khitan. Waktu itu nenekku menjawab karena untuk mengurangi syahwat perempuan. Tentu saja tujuannya untuk melindungi perempuan supaya tidak “nakal” atau “binal”.
Ternyata setelah bercerita panjang lebar, kepercayaan masyarakat di kampung nenekku tentang khitan perempuan ini berangkat dari sebuah hadis yang menjelaskan bahwa syahwat perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 9 bading 1. Perempuan 9, laki-laki 1.
Dengan begitu, salah satu cara untuk mengontrol syahwat yang banyak itu ialah harus memotong sebagian dari vagina perempuan, yaitu bagian klitoris.
Hal yang sama juga, disampaikan oleh beberapa ustad di kampung nenekku, lebih tepatnya di Sukabumi, Kabupaten Jawa Barat. Dalam berbagai ceramahnya, aku seringkali mendengar bahwa perempuan memang harus dikhitan supaya tidak “liar”.
Bahkan pernyataan tersebut juga didukung oleh berbagai dalil keagamaan. Biasanya mereka akan mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl ayat 123 yang berbunyi:
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Artinya: “Kemudian Kami (Allah) wahyukan kepadamu agar mengikuti millah Nabi Ibrahim yang lurus. Dan sekali-kali tidaklah kami jadikan (bagian dari) orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Nahl ayat: 123).
Menurut mereka ayat ini menegaskan tentang perintah agar Nabi Saw dan umatnya mengikuti agama Nabi Ibrahim as. Salah satu ajarannya ialah khitan.
Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam buku “Ijtihad Kyai Husein” menyampaikan bahwa ayat al-Qur’an di atas sesungguhnya bukan membicarakan tentang khitan. Tapi lebih luas dari itu, yaitu ajakan meyakini tauhid dan menjauhi kekafiran atau kemusyrikan kepada Allah.
Dengan begitu, KH. Husein Muhammad berpendapat bahwa tidak ada dasar teologis dari al-Qur’an tentang khitan perempuan. Itu artinya khitan perempuan bukan ajaran Islam.
Asal Usul Tradisi Khitan
Dari uraian di atas sudah jelas sebenarnya, khitan perempuan tidak ada dalam ajaran Islam. Namun mengapa tradisi tersebut masih ada dan terus dilakukan sampai saat ini?
Masih dalam buku “Ijtihad Kyai Husein” aku menemukan fakta yang menarik yaitu tentang asal usul tradisi khitan pada Masyarakat muslim.
Ternyata dalam perspektif Islam tradisi khitan ini berangkat dari sebuah hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi:
Dari Ummu Athiyyah ra. Berkata: “Bahwa seorang perempuan mengkhitan para perempuan di Madinah. Kemudian Nabi Saw. bersabda “Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan dan paling disukai suami.”
Atau dalam riwayat yang lain “Potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia adalah penyeri wajah dan bagian yang disukai suami.” (HR. Abu Daud).
Pandangan KH. Husein Muhammad
Dalam memaknai hadis tersebut KH. Husein Muhammad menganalisisnya menggunakan dua cara. Pertama, kata la tanbaki (jangan berlebihan) maksudnya ialah jangan berlebihan memotong klitoris perempuan.
Pernyataan Nabi Saw ini, sebenarnya kritik beliau terhadap praktik khitan perempuan yang biasa masyarakat Arabia lakukan waktu itu, yang di mana dalam beberapa kebudayaan dunia lama. Praktik khitan perempuan mereka lakukan dengan menghilangkan sebagian atau seluruh kulit klitoris.
Dengan begitu, pernyataan Nabi tersebut sebenarnya sedang melakukan perubahan kultural. Yang awalnya seluruhnya, menjadi sebagian saja. Dan jika kita renungkan lebih dalam, justru sebenarnya Nabi ingin menghilangkan tradisi khitan perempuan tersebut. Namun dalam rangka dakwah, Nabi melakukannya dengan pelan-pelan.
Kedua, kata “karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan dan paling disukai suami” pada hadis di atas menunjukkan bahwa klitoris merupakan organ yang menguntungkan bagi perempuan. Sekaligus menyenangkan bagi laki-laki (suami).
Dengan begitu jelas dalam hadis tersebut Nabi Saw sebenarnya tengah mengingatkan masyarakat bahwa klitoris perempuan adalah bagian tubuh yang berharga, karena memberikan kenikmatan seksual bagi kedua belah pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (istri).
Jadi, ungkapan tersebut harusnya jadi pengingat bagi kita untuk tetap membiarkan klitoris yang jadi sumber kenikmatan tersebut apa adanya, jangan mereka gores, potong atau lukai oleh benda tajam apapun. []