Mubadalah.id – Sebelum melanjutkan ngaji Al-Sittīn Al-‘Adliyah, untuk memancing kesadaran santri-santri, saya melontarkan pertanyaan, mengapa harus memuliakan dan menghormati perempuan? Pertanyaan itu untuk memantik bahasan kali ini, di mana Kang Faqihuddin Abdul Kodir memberikan judul “Memuliakan perempuan dan menghormati kemanusiaannya” (Fi Takrīm al-Mar’ati wa Al-Ihtirām Bi Insaniyyatihā).
Secara umum jawaban kawan-kawan santri, sebagaimana saya duga, lantaran perempuan itu lemah dan secara fitrah minta disayangi, ada satu orang yang menjawab karena perempuan adalah ibu kita. Jawaban tersebut meneguhkan asumsi saya bahwa santri-santri, sebagaimana saya dulu, masih terkungkung di bawah alam sadarnya kalau perempuan itu lemah.
Saya hanya berkomentar bahwa kita: saya, kalian, dan mereka wajib memuliakan dan menghormati perempuan karena ia adalah manusia seutuhnya sebagaimana penegasan sub tema ini (Al-Ihtirām Bi Insaniyyatihā). Sebagaimana Tuhan dan Nabi, kita harus menghormati manusia baik laki-laki maupun perempuan karena kemanusiaannya.
Berkenaan dengan menghormati perempuan, Kang Faqihuddin mencantumkan sekitar 7 hadis yang saya klasifikasi menjadi empat pembahasan sesuai statusnya. Pertama, menghormati perempuan yang berstatus ibu. Kedua, perempuan yang berstatus anak dan saudari. Ketiga, perempuan yang statusnya istri. Dan keempat, perempuan sebagai entitas sosial secara umum.
Macam-Macam Ibu yang Absah Dalam Islam berikut penghormatannya
Kedua hadis dalam Al-Sittīn Al-‘Adliyah itu menjelaskan kewajiban kita untuk memuliakan perempuan yang menjadi ibu kita. Dalam Islam, perempuan yang statusnya ibu ada tiga. Pertama, ibu biologis/kandung/ yang melahirkan. Kedua, ibu susuan. Ketiga, ibu sambung dan mertua. Melalui jalur kemertuaan ini, ibu sambung termasuk di dalamnya.
Ketiga-tiganya harus dimuliakan dan dihormati. Di antara penghormatan yang kongkret adalah anak wajib memenuhi kebutuhan hidup orang tuanya, terlebih orang tua perempuan. Selain itu, haram menikahinya hatta di akhirat nanti, yang konon, seseorang akan mendapatkan apa pun.
Dalam hal memuliakan perempuan yang berstatus ibu ada dua hadis yang diriwayatkan Imam Muslim perihal ibu kandung dan Abu Daud mengenai ibu susuan:
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu dia bertanya, “Siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ibumu!” dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab: “Ibumu!” dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab: “Kemudian Ibumu!” dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dijawab: “Kemudian bapakmu!” (HR. Imam Muslim, 2/8).
Mengapa Nabi Menyebut Ibu Tiga Kali?
Pada hadis pertama, Nabi menyebutkan penghormatan ibu sebanyak tiga kali. Hadis tersebut sesungguhnya penguatan dari ayat-ayat Alquran. Di mana Alquran menggambarkan pengorbanan ibu di berbagai ayat. Penyebutan ibu secara spesifik dalam Alquran sebagai bentuk rekognisi atas pengorbanan yang sering kali terabaikan.
Misalnya surah Luqmān [31]:14 dan Al-Aḥqāf [46]:15. Dalam surah Luqmān tersebut, Tuhan menggambarkan pengorbanan seorang ibu yang rela letih menjadi ibu berserta risiko yang ia tanggung selama dua fase: masa hamil dan menyusui.
Tuhan menegaskan kembali pada surah Al-Aḥqāf, bahwa ibu mengorbankan waktu untuk dirinya sendiri demi anaknya di tiga fase: masa hamil, sakitnya kontraksi melahirkan, dan menyusui. Barangkali ini adalah relevansi dengan penegasan Nabi Muhammad yang sampai tiga kali menyebutkan ibu perihal menghormati ibu ketimbang ayah.
Oleh sebab itu, Tuhan mewanti-wanti agar anak-anak betapa pun ia sudah mandiri wajib menghormati dan menyayangi kedua orang tuanya, terlebih ibu.
Artinya, “Tuhanmu telah memerintahkan … hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik, (Al-Isrā’ [17]:23)
Sebagian ulama memperbanyak alasan-alasan mengapa prioritas kepada perempuan (ibu) untuk dihormati dan disayangi sebagaimana dikutip Sulaiman bin Muhammad al-Haimid, (Syar Bulaghal Maram, 4/508).
«قَالَ الْعُلَمَاء: وَسَبَب تَقْدِيم الْأُمّ كَثْرَة تَعَبهَا عَلَيْهِ، وَشَفَقَتهَا، وَخِدْمَتهَا، وَمُعَانَاة الْمَشَاقّ فِي حَمْله، ثُمَّ وَضْعه، ثُمَّ إِرْضَاعه، ثُمَّ تَرْبِيَته وَخِدْمَته وَتَمْرِيضه، وَغَيْر ذَلِكَ. وَنَقَلَ الْحَارِث الْمُحَاسِبِيّ إِجْمَاع الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الْأُمّ تُفَضَّل فِي الْبِرّ عَلَى الْأَب
Ibu Susuan Tak Ubahnya Ibu Kandung
Mengikuti alur kitab Al-Sittīn Al-‘Adliyah yang di antaranya pada hadis ke 13 mencantumkan riwayat penghormatan Nabi kepada perempuan yang menjadi ibu susuannya. Sebagaimana dalam kitab-kitab sejarah, perempuan yang menyusui Nabi adalah Halimatus Sa’diyah anak perempuannya Abdullah bin Harits.
Artinya: Dari Jakmaf bin Yahya bin Umarah bin Tsauban menjelaskan bahwa Abu Ath Thufail mengabarkan kepadanya: Abu Ath Thufail berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan daging di Ji’irranah. Abu Thufail berkata, “Waktu itu aku masih kecil dan aku membawa tulang unta. Tiba-tiba datang seorang wanita mendekati Nabi beliau kemudian mengelar selendang hingga wanita itu pun duduk di atasnya. Aku lalu bertanya, “Wanita itu siapa?” orang-orang menjawab, “Wanita itu adalah orang yang telah menyusui Rasulullah” (HR. Abu Daud, 4/501).
Dalam Islam, perempuan yang statusnya ibu susuan tak ubahnya ibu kandung. Sebab ibu susuan telah menyalurkan darah daging kepada anak susuannya melalui air susu. Dalam suatu riwayat Nabi bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الوِلَادةِ
“Sesuatu yang haram dari kelahiran juga haram karena susuan” (HR . Muslim)
Pengertian dan Syarat yang Berkonsekuensi Menjadi Ibu Susuan
Rada’ah sendiri makna literleknya adalah nama untuk puting susu/tetek perempuan dan meminum susunya. Bukan itu saja, ibu susuan mendapatkan penghormatan layaknya ibu kandung karena ia juga mengopeni anak tersebut dengan mendekapnya di saat menyusui.
Oleh sebab itu, tidak serta merta ketika menyusui langsung berstatus ibu susuan yang patut mendapat penghormatan layaknya ibu kandung. Dalam kitab-kitab fikih ,misalnya, menjelaskan beberapa syarat yang harus terpenuhi, sebagaimana ungkapan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Um (5/29-31):
(قال الشافعي): ولا يحرم من الرضاع إلا خمس رضعات متفرقات» «(قال الشافعي): فجماع فرق ما بين الصغير والكبير أن يكون الرضاع في الحولين فإذا أرضع المولود في الحولين خمس رضعات كما وصفت فقد كمل رضاعه الذي يحرم»
Pertama, anak yang menyusui maksimal berumur dua tahun, dan lebih baik di bawah umur. Syarat ini barangkali untuk memastikan bahwa susunya benar-benar menjadi penentu terhadap tumbuh kembangnya anak (ahli kesehatan lebih paham).
Kedua, susuannya minimal harus lima kali. Ini untuk memastikan bahwa air susunya melebur menjadi vitamin dan darah yang mengalir dalam tubuh anak. Selain itu, menggambarkan bahwa perempuan yang menyusui itu benar-benar mengopeni anak susuannya melalui pangkuannya ketika menyusui. Ibu susuan itu memberikan ASI secara ekslusif.
Saya sendiri menilai aneh, ketika ulama-ulama yang menetapkan status ibu susuan dengan cara suntik ke perut atau otaknya, atau lain semacamnya. Sebab, harusnya susuan tersebut secara ekslusif yang di sana ada pangkuan dan sifat ngopeni. Dari keterangan tersebut, maka perempuan yang berstatus ibu susuan layak mendapatkan penghormatan layaknya ibu kandung.
Demikianlah kajian kitab Al-Sittīn Al-‘Adliyah kali ini yang mengurai tentang penghormatan kepada perempuan lantaran ia manusia yang pantas mendapatkan penghormatan lantaran kemuliaan kemanusiaannya. []