Tidak ada yang banyak mengenal penghuni gubuk kecil di ujung bukit itu. Warga desa hanya menyaksikan lampu pijar yang nyala redup setiap malam dari kejauhan. Setiap surup matahari, saat lembayung sore berangsur gelap, anak-anak kecil diteriaki oleh orangtuanya untuk masuk ke rumah.
“cepat pulang !, Bitutunu sudah nyala.”
Selalu begitu, setiap kali lampu pijar dan gubuk di ujung bukit itu sudah mulai kelihatan.
Semua anak di desa tak pernah tahu seperti apa wujud Bitutunu, yang selalu dibilang oleh orang tua mereka. Hanya gambaran nenek tua menyeramkan berperut buncit yang selalu diceritakan. Ketakutan akan rupa nenek tua yang membayangi benak anak-anak di desa jadi satu-satunya alasan mengapa mereka menuruti perintah orangtuanya.
***
“Tahun ini tidak akan ada panen. Sudah 3 bulan lewat masa tanam tapi hujan tak kunjung juga turun.” Ucap perempuan paruh baya kepada beberapa tetangganya.
“Padahal sawah di desa kita punya tanah yang subur, tapi tidak biasanya paceklik begini. Bisa-bisa satu tahun ke depan keluargaku tak punya sayur dan beras untuk makan.” Sahut perempuan lainnya.
“Memang Gusti sedang menghukum desa kita. Sejak kehamilan wanita jalang itu, Gusti murka dengan kita.”
Beberapa bulan terakhir setiap sudut desa selalu dipenuhi nyinyiran dan ratapan. Semua warga desa mengeluhkan paceklik yang terjadi tahun ini. Sawah-sawah yang biasa sudah ramai mulai musim tanam, jadi menganggur. Kali di batas desa surut tak bisa mengairi. Hujan yang ditunggu-tunggu tak kunjung turun. Maka benarlah jika kemudian muncul pepatah “menunggu hujan dimusim penghujan”, terdengar konyol bagi mereka yang tahun ini bisa menanam padi dan palawija, tapi ironi bagi seluruh warga di desa ini.
”Bukan aku. Bukan aku penyebabnya. Aku tak sehina itu. Aku tak pernah berbuat seperti apa yang kalian tuduhkan padaku.” Isak seorang perempuan muda di pembaringan sambal memegangi perutnya.
Sejak kejadian malam itu, saat tiba-tiba perutnya mual, badan lemas dan akhirnya muntah darah. Bitutunu tak pernah berhenti meratapi dirinya. Sembari menahan sakit di perutnya yang makin membuncit, ia selalu keukeh mengatakan bahwa ia tak pernah berbuat yang menyebabkan perutnya mengandung seperti ini.
Sudah 3 bulan, sejak seharusnya hujan pertama turun di desa, Bitutunu mengalami hal aneh. Warga desa menganggap dia sudah hamil diluar nikah. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya pada perawan sunti di desa. Oleh sebab itulah, Bitutunu menjadi bahan cacian dan cemoohan warga. Bahkan tidak sedikit warga yang menyangkutpautkan kehamilan Bitutunu dengan paceklik yang sedang terjadi di desa.
Warga desa menganggap musibah paceklik ini terjadi karena Tuhan sedang murka dan menghukum seluruh warga desa.
***
Purnama tepat lurus di atas kepala, saat semua warga berkumpul di balai desa. Dengan obor mereka semua berkumpul mengepung balai desa, mendesak kepala desa untuk mengusir Bitutunu.
“Penyebab sial harus diusir !”
“Jangan biarkan desa kita dihukum karena perempuan jalang itu !”
“Lebih baik mengorbankan satu orang daripada membiarkan seluruh anak mati kelaparan !”
“Bakar ! Bitutunu, bakar !”
Semua orang berteriak. Seolah sudah di ubun-ubun, rasa kesal yang sudah beberapa bulan mereka pendam mereka keluarkan dengan cacian dan makian kepada Bitutunu.
“Baiklah, baiklah. Saya tidak ingin ada keributan di desa ini. Mari kita ke rumah Bitutunu. Tapi tidak ada yang bertindak tanpa ijin saya. Mohon semuanya untuk saling mengerti.” Ujar kepala desa.
Seperti kunang-kunang yang sedang berkoloni, bersama dengan obor yang mereka bawa, rombongan warga desa dipimpin oleh kepala desa berjalan menuju ke rumah Bitutunu. Sebenarnya kepala desa sangat berkeberatan untuk mengiyakan permintaan warga desa. Dalam perjalanan, Kepala Desa tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setibanya di rumah Bitutunu. Ia merasa iba dan kasihan kepada perempuan yang sedang dilanda musibah itu. Demi menenangkan warganya, ia akhirnya menuruti permintaan mereka.
Sementara itu, di rumahnya. Bitutunu istirahat di pembaringan sambil sesekali memegangi perutnya, menahan sakit. Perutnya semakin membuncit. Sudah terlihat seperti kandungan umur 6 bulan, meski baru 3 bulan yang lalu ia pertama kali muntah darah. Di bawah pembaringan ada 2 ember, satu untuk tempat ia buang air kecil, lainnya untuk membuang ludah dan darah yang keluar dari muntahannya.
Diluar rumahnya, tiba-tiba Bitutunu mendengar banyak suara orang berteriak.
“Usir ! usir !”
“Bakar ! bakar !”
Mendengar itu, Bitutunu ketakutan. Meski sebenarnya ia sudah menduga, malam ini pasti akan tiba. Malam itu ia pasrah pada Tuhan.
“Selamat malam, Bitutunu”, kepala desa masuk ke dalam rumahnya.
Melihat kondisi Bitutunu, mata kepala desa berkaca-kaca. Ia tak tega untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Mengatakan apa keinginan warga desa.
“Aku sudah siap. Gusti sudah menetapkan. Apapun yang kalian inginkan, aku akan menurutinya. Bahkan jika kalian menginginkan aku untuk mati sekalipun.” Ucap Bitutunu dengan lirih kepada Kepala Desa.
“Bitutunu, maafkan saya. ini semua keinginan warga desa. Tapi kau tak usah khawatir, aku tak akan mungkin tega untuk menghabisi nyawa wargaku sendiri.”
Air mata Bitutunu menetes. Sambil menahan isak ia merasa bahwa dirinya sudah tidak berdaya lagi. Sudah tidak berguna lagi hidupnya. Ia ingin malaikat maut datang saat itu juga dan mencabut nyawanya.
“Saya punya gubuk kecil di ujung bukit, tempat istirahat saat mengurus sawah di sana. Aku dan beberapa orang akan mengantarmu kesana malam ini. Kau bisa gunakan untuk melanjutkan hidupmu. Soal keperluanmu sehari-hari, jangan khawatir. Setiap hari Jumat saya akan menyuruh orang untuk mengirim beras dan sayuran untukmu. Saya berjanji.” Kepala desa menjelaskan rencananya kepada Bitutunu. Menurutnya ini adalah jalan terbaik yang bisa ditempuh.
Bitutunu mengangguk, mengiyakan sambil menahan tangisnya.
Malam itu, Bitutunu dipindahkan ke ujung bukit, menempati gubuk kecil dan akan memulai hidup tanpa tetangga. Beberapa warga desa ada yang kecewa, sebab sebagian dari mereka berharap lebih baik Bitutunu dibunuh. Mereka takut, Tuhan tidak berhenti murka meski Bitutunu sudah tidak tinggal di desa. Namun, tak lama setelah pengantar Bitutunu kembali ke desa, semburat petir muncul di langit. Guntur mulai terdengar. Angin dingin hawa turun hujan mulai terasa. Malam itu, setelah Bitutunu meninggalkan desa, gerimis mulai turun. Bau wangi tanah basah mulai tercium. Seluruh warga desa bersyukur, sujud dan tak sedikit yang menangis bahagia.
Di tempat lain, ada orang lain yang juga sedang menangis.
“Mengapa tidak kau bunuh saja diriku ini, Gusti ?” Bitutunu menatap usuk bambu dari dalam gubuk diujung bukit itu.
***
Lembayung sore mulai surut, saat anak-anak berlari di tanah lapang.
“Bitutunu tidak nyala ! Bitutunu tidak nyala !” teriak anak-anak kegirangan.
Malam ini tak ada lampu pijar yang menyala dari gubuk di ujung bukit. Semua warga desa penasaran. Tak terkecuali laki-laki renta bekas kepala desa 30 tahun yang lalu, saat mendengar cerita dari anaknya bahwa Bitutunu tak menyalakan lampu pijarnya. Ia langsung menyuruh anaknya untuk mengantar dirinya ke gubuk di ujung bukit.
“Tapi hari sudah gelap Abah. Abah yakin mau kesana?” tanya anaknya, meyakinkan.
Ia bersikukuh tetap ingin kesana. Dengan diantar anaknya dan beberapa warga desa yang lain, ia berangkat. Setibanya di gubuk, semua orang kaget. Tubuh seorang wanita tua terkapar di pembaringan. dari mulutnya keluar darah, dari perutnya yang membucit keluar nanah dan luka yang sedikit menganga.
Lelaki tua itu bersimpuh dan menangis.
“Aku telah salah. Semua orang salah. Kita semua telah menelantarkan orang yang kesakitan. Gusti, malam ini aku bersaksi, dia adalah wanita suci. Hukumlah kami, hukumlah kami.”
Yogyakarta, Februari 2020