Mubadalah.id – Janda adalah sebuah istilah seorang istri yang telah suaminya tinggalkan (meninggal dunia) atau seorang istri yang berada dalam kondisi cerai hidup. Polemik kehidupan janda tidak hanya berhenti sampai pada status, melainkan banyak lapisan ketimpangan sosial yang seorang janda alami. Sehingga, apapun kehidupan yang ia alami, seorang janda berhak bahagia.
Kenapa berlapis? karena menjadi seorang janda adalah sebuah pengalaman sosial perempuan yang sangat lekat akan stigma sosial. Dengan demikian ia memerlukan waktu untuk pemulihan mental.
Bagi Perempuan cinta seorang laki-laki (pasangan) dan anak adalah kehidupannya. Hal ini mengingatkan saya pada buku yang pernah saya baca berjudul “Second Sex”. Dalam sepenggal bab itu menceritakan tentang “pengalaman cinta perempuan”. Buku tersebut mengungkapkan bahwa persepsi cinta antara seorang perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang signifikan.
Perempuan menganggap cinta adalah kehidupan yang ada dalam diri dia sendiri. Perempuan akan bisa menjadi bahagia dan terpuruk karna kehidupan percintaannya.
Dalam konteks isu janda, tentu erat kaitannya dengan dinamika psikologis janda yang tidak stabil secara emosioanal pasca berpisah dengan pasangan. Tentu saja, kondisi kejiwaan tersebut telah melawati berbagai dinamika psikologis. Mulai dari stress, cemas, depresi, coping stress, self acceptance (penerimaan diri), psychological well being (kesejahteraan psikologis), hingga resiliensi.
Stereotipe Janda yang Menyesakkan
Perempuan dengan pengalaman sosial janda, dapat merasakan betul ketidakadilan dan ketimpangan sosial di tengah masyarakat yang patriarkal. Tentu yang paling menonjol adalah stereotipe.
Dalam kehidupan sistem patriarkal, menjadi seorang janda kerap sekali mendapat labelling kurang mengenakkan oleh masyarakat. Terlebih ketika janda tersebut mulai mempercantik diri: dengan menggunakan baju bagus, merawat diri dengan baik, berdandan cantik sebagai bentuk “rasa cinta pada dirinya sediri”.
Namun kerap kali janda menerima kecurigaan dan pandangan negatif dari masyarakat. Kondisi kecurigaan ini biasa dialami oleh janda yang tergolong masih muda.
Mengutip dari artikel Anna Newton dkk, (2014) yang saya baca lusa lalu, artikel ini menceritakan tentang stereotipe janda yang mempercantik diri adalah upaya janda untuk menarik perhatian lawan jenis. Terlebih hal yang mencengangkan adalah kecurigaan tersebut datang dari kelompok perempuan itu sendiri (para istri). Hal ini sungguh bertolak belakang dengan prinsip “women suppprot women”.
Mengontrol Rasa Sepi
Tak seorangpun menginginkan berpisah entah hidup atau mati oleh pasangannya. Apalagi ketika pasangan tersebut telah banyak melewati hal bersama-sama. Hal ini berlaku untuk perempuan ataupun laki-laki.
Namun dari pengamatan saya, antara duda dan janda memiliki perbedaan pasca berpisah secara berbeda. Seorang duda (yang ditinggal mati atau cerai) memiliki waktu yang lebih cepat untuk menikah kembali dari pada janda perempuan.
Untuk menjaga keseimbangan hidup, seorang laki-laki duda lebih memilih untuk menikah kembali. Sedangkan perempuan, relatif membutuhkan waktu untuk pemulihan mental atau bahagia bersama anak-anaknya.
Dalam kondisi tersebut, seorang janda (terlebih janda lansia) seringkali merasa kesepian. Padahal seorang janda berhak bahagia. Karena anaknya telah memiliki keluarga kecil sendiri. Tiada yang bisa ia ajak untuk bercerita hal-hal kecil ketika di rumah.
Momen kondisi diri kesepian bukanlah hal yang memalukan. Kondisi psikologis ini adalah hal yang wajar bagi manusia. Untuk itu secara sadar kita perlu memikirkan beberapa cara untuk mengontrol rasa sepi itu, dengan mengarahkan pada kegiatan positif.
Hal-hal sederhana dalam kehidupan inilah yang dapat membuat rasa sepi menjadi sebuah kesadaran akan makna hidup. Untuk mengontrol rasa sepi, tidak lepas dari pemaknaan hubungan diri- dengan diri sendiri, hubungan diri- dengan Tuhan, serta hubungan diri- dengan sesama manusia.
Kesejahteraan Psikologis dan Menggapai Kebahagiaan
Psychological Well Being merupakan kesejahteraan psikologis manusia dalam menghadapi dan memaknai hidup ini menuju arah yang positif. Indikator dari kesejahteraan psikologis ini dapat kita lihat dari penerimaan diri, kepuasan diri, memiliki harapan dan tujuan hidup.
Setiap manusia layak untuk mencapai kesejahteraan psikologis, pun demikian dengan janda. Pengalaman sosial menjadi seorang janda membutuhkan proses penyesuaian diri dan dukungan sosial secara positif.
Seperti yang kita tahu, bahwa menjadi janda di lingkungan patriakal tidaklah mudah. Perempuan janda perlu melakukan strategi untuk mencapai self acceptance (penerimaan diri) dan kebahagian dalam menjalani hidup. Tips untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis janda untuk mencapai kebahagian:
Pertama, Aktifitas Positif, ini mungkin terdengar klise, tapi faktanya melakukan kegiatan positif dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan pemaknaan hidup dalam menghadapi kodisi keterprukan.
Kita bisa memulai dengan hal hal sederhana seperti berolahraga, bercocok tanam, aktif kegiatan komunitas dan tak lupa mendekatkan diri pada keluarga.
Kedua, Meningkatkan Spiritualitas, Pada hakikat nya manusia adalah seorang hamba Tuhan. Ia memerlukan rengkuhan kasih sayang dari Tuhan yang Maha Esa.
Ketiga, Meningkatkan potesi diri, Meminjam teori Abrama Maslow bahwa puncak kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Hal ini menjadi penting bagi janda untuk meningkatkan kemampuan potensi diri sebagai upaya mencapai aktualisasi diri.
Terlepas apapun yang pernah kalian alami, menjadi seorang janda bukanlah sebuah raport buruk dalam kehidupan. Karena baik buruknya seseorang terletak pada nilai kesalihannya menghadap pada Allah Swt dan nilai kebaikannya pada sesama manusia. Pun demikian menjadi janda berhak bahagia. Ia juga layak untuk merasa tenang mengarungi kehidupan. []