• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Refleksi 16 HAKTP: Indonesia Darurat Femisida

Kekerasan yang sifatnya ringan hingga kekerasan paling sadis dan kejam sekalipun nyata di negeri ini

Siti Aminah Siti Aminah
06/12/2023
in Featured, Publik
0
Darurat Femisida

Darurat Femisida

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Isu kekerasan terhadap perempuan seakan menjadi isu yang selalu hangat di media. Pemberitaan terkait terkait penyiksaan hingga berujung kematian pada perempuan tak henti-hentinya media hadirkan. Mayoritas pelaku juga rata-rata orang-orang yang memiliki relasi yang sangat dekat dengan korban.

Mulai dari kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang, seorang istri yang digorok suami, seorang perempuan yang dipukul kepalanya menggunakan toilet duduk oleh pacarnya, dan sederet kasus mengerikan lainnya.

Momentum perayaan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (HAKTP) menjadi kesempatan yang tepat untuk semakin masif menyuarakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, menyuarakan ruang aman bagi perempuan di segala lini kehidupan. Sebagai makhluk merdeka memang seharusnya begitu. Ia memiliki otoritas penuh atas tubuhnya sendiri. Sehingga, tidak seorang pun boleh mencederai hal tersebut.

Tetapi, fenomena yang terjadi hari ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang menjadi Amanah konstitusi dalam penegakan HAM di Indonesia. Kekerasan yang sifatnya ringan hingga kekerasan paling sadis dan kejam sekalipun nyata di negeri ini.

Femisida sebagai tindak kekerasan paling biadab terhadap perempuan kian meningkat terjadi, baik yang sifatnya femisida langsung maupun femisida tidak langsung. Harus kita akui, kini Indonesia darurat femisida.

Baca Juga:

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Kasus Talak di Live TikTok: Memahami Batas Sah Talak di Mata Hukum

Sekilas Tentang Femisida

Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, definisi femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang terpicu oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan, sehingga boleh menerima perlakuan secara tidak bermartabat.

United Nation Women mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan berbasis gender yang merupakan manifestasi kekerasan yang paling brutal dan ekstrim terhadap perempuan dan anak perempuan.

Definisi ini sebagai pembunuhan yang disengaja dengan motif berbasis gender. Karena femisida terpicu oleh stereotip peran gender, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Lalu hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki, serta norma-norma sosial yang merugikan perempuan.

Dengan demikian, dapat kita ketahui bersama bahwa femisida sangat berbeda dengan pembunuhan biasa lainnya. Femisida lebih kita titikberatkan oleh isu kekerasan berbasis gender pada perempuan.

Menilik Laporan Komnas Perempuan

Komnas Perempuan dalam laporan femisida 2023 menyebutkan bahwa istilah femisida sebenarnya masih asing dan jarang kita gunakan dalam mengklasifikasikan berbagai jenis tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Tetapi, komnas perempuan telah mengklasifikasikan beberapa jenis femisida. Di antaranya: Femisida Intim, Femisida Non Intim, Femisida Budaya, Femisida dalam Konteks Konflik Sosial Bersenjata dan Perang

Berikutnya, Femisida dalam Konteks Industri Seks Komersial, Femisida terhadap Perempuan dengan Disabilitas, Femisida terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender, Femisida di Penjara, dan Femisida terhadap Perempuan Pembela HAM.

Hal senada juga United Nation Women sampaikan melalui website mereka, bahwa dalam banyak kasus, hanya pembunuhan terkait gender yang dilakukan oleh pasangan dekat atau anggota keluarga. Di mana kondisi itu terhitung sebagai pembunuhan terhadap perempuan (femisida intim).

Padahal, pembunuhan berbasis gender baik secara langsung maupun tidak langsung juga banyak terjadi di ranah publik dan dilakukan oleh orang yang tidak korban kenal (femisida non intim).

Hal tersebut dapat berupa tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual yang seseorang lakukan, tapi tidak dikenal oleh korban. Terkait dengan praktik-praktik berbahaya seperti mutilasi alat kelamin perempuan atau yang kita sebut pembunuhan demi kehormatan.

Selain itu akibat kejahatan rasial yang terkait dengan orientasi seksual atau identitas gender. Kemudian terkait dengan konflik bersenjata, geng, perdagangan manusia, dan bentuk kejahatan terorganisir lainnya

Kasus Femisida di Indonesia

Komnas Perempuan dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Dugaan Femisida dalam Relasi Personal (Kasus Tewasnya Korban Perempuan di Surabaya), menyebutkan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan femisida (femicide) sejak tahun 2017 melalui pemberitaan media.

Hal ini mereka lakukan karena minimnya pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan. Hasilnya menunjukkan bahwa ada 388 pemberitaan tentang pembunuhan terhadap perempuan. Dari 388 kasus tersebut, ada 159 kasus yang terindikasi kuat sebagai femisida. Dari 159 kasus yang media beritakan, terdapat 162 jenis femisida. Hal ini karena satu kasus memuat dua jenis femisida yaitu pembunuhan terhadap ibu dan anaknya.

Komnas Perempuan juga telah menganalisa putusan tentang kasus kematian yang terjadi pada perempuan. Dari jumlah 100 putusan pengadilan terkait kematian istri, ada 15 kasus yang masuk kategori kasus femisida intim. Hasil analisa putusan pengadilan kasus pembunuhan terhadap perempuan menunjukkan 60% lokasi kejadian perkara pembunuhan berada di rumah.

Sedangkan pemantauan media daring terkait kasus pembunuhan perempuan pada rentang Juni 2021 hingga Juni 2022, telah mereka temukan 307 kasus, 84 kasus di antaranya dikategorikan femisida oleh pasangan intim baik oleh suami atau mantan suami.

Pada tahun 2023, ada 136 pemberitaan terkait perempuan bunuh diri. Dari angka tersebut, 12 kasus di antaranya terindikasi bahwa perempuan yang bersangkutan adalah korban Kekerasan Berbasis Gender dengang rincian sebagai berikut: 9 kasus kekerasan terhadap isteri, 1 kasus korban kehamilan yang tidak diinginkan, dan 2 korban dari penyebaran konten intim non konsensual.

Motif Bunuh Diri, dan Kaitannya dengan Femisida

Tentu ini merupakan gambaran nyata femisida tidak langsung. Perempuan korban kekerasan merasa depresi dengan apa yang ia alami saat itu. mereka tidak mampu lagi menanggung beban ketidakadilan gender yang menimpanya. Hingga akhirnya para perempuan korban kekerasan berbasis gender tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Sangat bisa kita lihat bahwa motif utama ia bunuh diri adalah berdasarkan oleh ketimpangan jender yang ia alami. Meskipun tidak secara langsung pelaku menghabisi nyawa korban. Tapi lama-kelamaan korban kekerasan tersebut memilih untuk bunuh diri.

Tidak cukup sampai di situ, perempuan-perempuan korban femisida tidak cukup hanya terbunuh saja. Tetapi, dalam banyak kasus jasad korban betul-betul menerima perlakuan sangat hina dan mengerikan. Komnas perempuan menyebutkan bahwa jasad akan terbuang, dibakar, dimutilasi, digantung, terlucuti pakaiannya, dikarungi, diperkosa, tubuh dirusak, hingga perusakan pada organ kelamin korban. Sungguh perbuatan yang sangat keji dan biadab.

Kampanye 16 HAKTP dan Fenomena Femisida           

United Nation Women menyatakan bahwa pembunuhan berbasis gender dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan dan anak perempuan dapat kita cegah, dan kita hindari. Melalui momentum 16 HAKTP ini, berbagai strategi pencegahan hendaklah kita upayakan. Yakni, melalui pencegahan primer yang berfokus pada transformasi norma-norma sosial yang merugikan perempuan.

Upaya-upaya revolusioner tersebut hendaklah melibatkan seluruh lapisan untuk menciptakan nol toleransi terhadap kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, intervensi dini dan penilaian potensi risiko, akses terhadap dukungan dan perlindungan.

Di mana akses ini berpusat pada penyintas serta layanan kepolisian dan peradilan yang responsif gender. Ini adalah kunci untuk mengakhiri pembunuhan perempuan dan anak perempuan berbasis gender.

Semoga melalui kampanye 16 days of activism atau 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan ini, akan ada banyak aksi-aksi dan suara nyata dari berbagai pihak. Baik itu pemerintah, aparat, kelompok sipil, masyarakat umum, akademisi, media massa dan pihak lainnya yang tergerak untuk mengatasi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada femisida. []

Tags: 16 HAKTPFemisidahukumIndonesiaKampanye 16 HAKTPkasusKriminalitaspembunuhan
Siti Aminah

Siti Aminah

Siti Aminah, mahasiswa Master of Islamic Studies di Universiti Sultan Zainal Abidin, Kuala Terengganu, Malaysia ig : @mhina_sa

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Masyarakat Adat

    Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID