Mubadalah.id – Isu kekerasan terhadap perempuan seakan menjadi isu yang selalu hangat di media. Pemberitaan terkait terkait penyiksaan hingga berujung kematian pada perempuan tak henti-hentinya media hadirkan. Mayoritas pelaku juga rata-rata orang-orang yang memiliki relasi yang sangat dekat dengan korban.
Mulai dari kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang, seorang istri yang digorok suami, seorang perempuan yang dipukul kepalanya menggunakan toilet duduk oleh pacarnya, dan sederet kasus mengerikan lainnya.
Momentum perayaan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (HAKTP) menjadi kesempatan yang tepat untuk semakin masif menyuarakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, menyuarakan ruang aman bagi perempuan di segala lini kehidupan. Sebagai makhluk merdeka memang seharusnya begitu. Ia memiliki otoritas penuh atas tubuhnya sendiri. Sehingga, tidak seorang pun boleh mencederai hal tersebut.
Tetapi, fenomena yang terjadi hari ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang menjadi Amanah konstitusi dalam penegakan HAM di Indonesia. Kekerasan yang sifatnya ringan hingga kekerasan paling sadis dan kejam sekalipun nyata di negeri ini.
Femisida sebagai tindak kekerasan paling biadab terhadap perempuan kian meningkat terjadi, baik yang sifatnya femisida langsung maupun femisida tidak langsung. Harus kita akui, kini Indonesia darurat femisida.
Sekilas Tentang Femisida
Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, definisi femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang terpicu oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan, sehingga boleh menerima perlakuan secara tidak bermartabat.
United Nation Women mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan berbasis gender yang merupakan manifestasi kekerasan yang paling brutal dan ekstrim terhadap perempuan dan anak perempuan.
Definisi ini sebagai pembunuhan yang disengaja dengan motif berbasis gender. Karena femisida terpicu oleh stereotip peran gender, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Lalu hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki, serta norma-norma sosial yang merugikan perempuan.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bersama bahwa femisida sangat berbeda dengan pembunuhan biasa lainnya. Femisida lebih kita titikberatkan oleh isu kekerasan berbasis gender pada perempuan.
Menilik Laporan Komnas Perempuan
Komnas Perempuan dalam laporan femisida 2023 menyebutkan bahwa istilah femisida sebenarnya masih asing dan jarang kita gunakan dalam mengklasifikasikan berbagai jenis tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Tetapi, komnas perempuan telah mengklasifikasikan beberapa jenis femisida. Di antaranya: Femisida Intim, Femisida Non Intim, Femisida Budaya, Femisida dalam Konteks Konflik Sosial Bersenjata dan Perang
Berikutnya, Femisida dalam Konteks Industri Seks Komersial, Femisida terhadap Perempuan dengan Disabilitas, Femisida terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender, Femisida di Penjara, dan Femisida terhadap Perempuan Pembela HAM.
Hal senada juga United Nation Women sampaikan melalui website mereka, bahwa dalam banyak kasus, hanya pembunuhan terkait gender yang dilakukan oleh pasangan dekat atau anggota keluarga. Di mana kondisi itu terhitung sebagai pembunuhan terhadap perempuan (femisida intim).
Padahal, pembunuhan berbasis gender baik secara langsung maupun tidak langsung juga banyak terjadi di ranah publik dan dilakukan oleh orang yang tidak korban kenal (femisida non intim).
Hal tersebut dapat berupa tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual yang seseorang lakukan, tapi tidak dikenal oleh korban. Terkait dengan praktik-praktik berbahaya seperti mutilasi alat kelamin perempuan atau yang kita sebut pembunuhan demi kehormatan.
Selain itu akibat kejahatan rasial yang terkait dengan orientasi seksual atau identitas gender. Kemudian terkait dengan konflik bersenjata, geng, perdagangan manusia, dan bentuk kejahatan terorganisir lainnya
Kasus Femisida di Indonesia
Komnas Perempuan dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Dugaan Femisida dalam Relasi Personal (Kasus Tewasnya Korban Perempuan di Surabaya), menyebutkan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan femisida (femicide) sejak tahun 2017 melalui pemberitaan media.
Hal ini mereka lakukan karena minimnya pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan. Hasilnya menunjukkan bahwa ada 388 pemberitaan tentang pembunuhan terhadap perempuan. Dari 388 kasus tersebut, ada 159 kasus yang terindikasi kuat sebagai femisida. Dari 159 kasus yang media beritakan, terdapat 162 jenis femisida. Hal ini karena satu kasus memuat dua jenis femisida yaitu pembunuhan terhadap ibu dan anaknya.
Komnas Perempuan juga telah menganalisa putusan tentang kasus kematian yang terjadi pada perempuan. Dari jumlah 100 putusan pengadilan terkait kematian istri, ada 15 kasus yang masuk kategori kasus femisida intim. Hasil analisa putusan pengadilan kasus pembunuhan terhadap perempuan menunjukkan 60% lokasi kejadian perkara pembunuhan berada di rumah.
Sedangkan pemantauan media daring terkait kasus pembunuhan perempuan pada rentang Juni 2021 hingga Juni 2022, telah mereka temukan 307 kasus, 84 kasus di antaranya dikategorikan femisida oleh pasangan intim baik oleh suami atau mantan suami.
Pada tahun 2023, ada 136 pemberitaan terkait perempuan bunuh diri. Dari angka tersebut, 12 kasus di antaranya terindikasi bahwa perempuan yang bersangkutan adalah korban Kekerasan Berbasis Gender dengang rincian sebagai berikut: 9 kasus kekerasan terhadap isteri, 1 kasus korban kehamilan yang tidak diinginkan, dan 2 korban dari penyebaran konten intim non konsensual.
Motif Bunuh Diri, dan Kaitannya dengan Femisida
Tentu ini merupakan gambaran nyata femisida tidak langsung. Perempuan korban kekerasan merasa depresi dengan apa yang ia alami saat itu. mereka tidak mampu lagi menanggung beban ketidakadilan gender yang menimpanya. Hingga akhirnya para perempuan korban kekerasan berbasis gender tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Sangat bisa kita lihat bahwa motif utama ia bunuh diri adalah berdasarkan oleh ketimpangan jender yang ia alami. Meskipun tidak secara langsung pelaku menghabisi nyawa korban. Tapi lama-kelamaan korban kekerasan tersebut memilih untuk bunuh diri.
Tidak cukup sampai di situ, perempuan-perempuan korban femisida tidak cukup hanya terbunuh saja. Tetapi, dalam banyak kasus jasad korban betul-betul menerima perlakuan sangat hina dan mengerikan. Komnas perempuan menyebutkan bahwa jasad akan terbuang, dibakar, dimutilasi, digantung, terlucuti pakaiannya, dikarungi, diperkosa, tubuh dirusak, hingga perusakan pada organ kelamin korban. Sungguh perbuatan yang sangat keji dan biadab.
Kampanye 16 HAKTP dan Fenomena Femisida
United Nation Women menyatakan bahwa pembunuhan berbasis gender dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan dan anak perempuan dapat kita cegah, dan kita hindari. Melalui momentum 16 HAKTP ini, berbagai strategi pencegahan hendaklah kita upayakan. Yakni, melalui pencegahan primer yang berfokus pada transformasi norma-norma sosial yang merugikan perempuan.
Upaya-upaya revolusioner tersebut hendaklah melibatkan seluruh lapisan untuk menciptakan nol toleransi terhadap kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, intervensi dini dan penilaian potensi risiko, akses terhadap dukungan dan perlindungan.
Di mana akses ini berpusat pada penyintas serta layanan kepolisian dan peradilan yang responsif gender. Ini adalah kunci untuk mengakhiri pembunuhan perempuan dan anak perempuan berbasis gender.
Semoga melalui kampanye 16 days of activism atau 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan ini, akan ada banyak aksi-aksi dan suara nyata dari berbagai pihak. Baik itu pemerintah, aparat, kelompok sipil, masyarakat umum, akademisi, media massa dan pihak lainnya yang tergerak untuk mengatasi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada femisida. []