Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, tagar #audreyjilid2 meramaikan laman twitter. Saya yang baru membuka akun twitter setelah hampir puasa twitter selama 2,5 bulan cukup menarik perhatian mata dan hati saya. Pasalnya, lima tahun yang lalu saya merupakan salah satu korban dari kasus kekerasan seksual Audrey yang ternyata merupakan kasus palsu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Hal ini berawal dari cuitan pada salah satu akun base twitter perguruan tinggi di Yogyakarta yang cukup terkenal. Terdapat foto berupa tangkapan layar yang menampilkan isi percakapan seorang dengan kakak tingkat. Pesan dalam foto tersebut bertuliskan
“Aku ga nyangka kuliah di /un* malah direndahin kaya gini… Jadi aku maba dan kenalan sama kating ini dari bulan Februari, waktu itu kenal karena acara fakultas. Kukira dia baik, ternyata dia cab*l, aku udh dilecehin sama dia dari Oktober, sampe sekarang. Aku awalnya gaberani speak up karena diancam, aku pernah dilukai berkali-kali sama dia karena ngelawan. Cuma sekarang aku muak dan luapin semuanya. Pengen bunuh diri rasanya karena hidupku kaya gini, dilecehin di kampus baru… Plis help me… Aku gaberani spill nama pelaku, tapi aku hafal nim nya, 21****** . Plis help me… Aku capek dilecehin, pengen bundir aja rasanya…”
Viral
Kurang dari 24 Jam, unggahan tersebut menjadi viral. Komentar netizen atas unggahan tersebut bermacam-macam. Ada netizen yang mengutuk perbuatan pelaku atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap korban. Ada netizen yang ikut bersedih dan memihak kepada korban.
Tak sedikit pula netizen yang mengambil dan mengirimkan data pribadi pelaku (dari NIM pelaku) dari laman PDDIKTI. Pada akhirnya, nama dan foto pelaku tersebar luas. Bahkan, foto yang tersebar berasal dari akun Instagram media sosial organisasi pelaku.
Yang lebih menakutkan, ada beberapa netizen yang turut berkomentar dengan narasi buruk sekaligus menyertakan foto-foto telanjang pelaku yang rupanya merupakan hasil editan. Kemudian, muncul lagi komentar dari seorang netizen yang memberikan data pribadi berupa nomor pelaku dengan narasi ancaman. Jika kita lihat kembali, berbagai macam komentar netizen yang terlontarkan akibat dari perasaan geram.
Kabar Hoax dan Fitnah
Setelah cuitan tersebut viral, tertuduh sebagai pelaku memberikan klarifikasi pada media sosial pribadi bahwa kabar buruk yang tertuju padanya adalah kabar bohong dan fitnah.
Sosok tertuduh yang masih berstatus mahasiswa tersebut memberikan pernyataan bahwa ia tidak pernah melakukan tindakan kekerasan seksual. Ia juga telah melaporkan ke Polda DIY untuk menindaklanjuti semua pihak yang telah menuduh, menyebarkan, dan melakukan pengancaman baik kepada dia sendiri maupun kepada keluarga.
Polda DIY melakukan klarifikasi bahwa berita tersebut memang benar berita hoax dan fitnah. Pelaku RAN (19) merupakan mahasiswa dari perguruan tinggi yang sama dengan tertuduh. Pelaku sengaja membuat kabar bohong karena merasa sakit hati oleh tertuduh yang tidak menerimanya sebagai anggota di salah satu organisasi kampus.
Namun, netizen juga mempertanyakan adanya keanehan bagaimana tangkapan layar pesan pelaku dan korban pada cuitan di twitter. Keduanya memiliki cara penulisan kebahasaan yang sama baik dari cara penulisan tanda baca, penulisan bahasa, dan kata-kata.
Atas keanehan kasus ini, netizen menyimpulkan adanya indikasi kebohongan berita dan mempertanyakan realibilitas atau kebeneran atas berita tersebut. Tagar #audreyjilid2 kemudian menjadi perbincangan utama setelah Polda DIY melakukan klarifikasi.
Apa yang perlu kita lakukan?
Adanya kasus hoax kasus kekerasan seksual seperti ini menjadi pelajaran bagi semua orang. Jika kita menemukan adanya kasus pelecehan atau KS, maka hal pertama yang kita lakukan adalah berpihak pada korban. Pemihakan pada korban sebagai upaya untuk melindungi dan mengusut adanya kasus yang terjadi. Tidak ada salahnya jika kita berpihak pada korban terlebih dahulu.
Setelah berpihak kepada korban, kita perlu mencari tahu kebenaran pada kasus tersebut. Murni kasus KSkah atau hanya berita bohong? Maka, pada posisi inilah kita untuk dapat memberikan pandangan dan keputusan secara bijak. Bermain hakim sendiri sangat tidak menguntungkan pada kasus-kasus seperti ini.
Kementrian pendidikan melalui Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 menjadi dasar hukum pemrosesan kasus seperti ini, peraturan mengenai pencegahan dan penanganan KS di lingkungan perguruan tinggi menjadi harapan untuk membantu dalam mengurai tindak KS yang terjadi di lingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika kita menyerahkan kasus seperti ini pada pihak yang berwajib tanpa main hakim sendiri. Kasus-kasus penyebaran data seperti identitas diri, nomor telepon, hingga foto dapat menjadi senjata bagi diri sendiri apabila ternyata kasus yang terjadi adalah kasus palsu dan termasuk hoax, serta tertuduh yang ternyata tidak bersalah. Hal ini dapat menjuru pada tindakan Doxing.
Doxing sendiri merupakan praktik yang melibatkan pengunggahan atau penyebaran informasi pribadi seseorang secara online tanpa izin mereka. Informasi pribadi yang terpublikasikan dapat meliputi alamat rumah, alamat email, nomor telepon, foto-foto pribadi, informasi medis pribadi, dan informasi pribadi lainnya yang berguna untuk mengidentifikasi atau merugikan seseorang.
Dampak dan Kerugian
Melansir dari laman justitia, tindakan doxing diatur pada pasal 27 Ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bahwa setiap individu dilarang untuk mendistribusikan data pribadi seseorang dengan ditambah muatan yang berisi ancaman.
Doxing juga dapat terkena pidana jika memuat kekerasan atau ancaman baik memuat ancaman yang berupa penyebaran data pribadi maupun muatan ancaman kekerasan berupa secara fisik. Doxing dapat diancam pidana Pasal 45 Ayat (1) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Belajar dari kasus hoax yang mengatasnamakan KS, perilaku memfitnah orang lain dengan tuduhan pelaku KS, serta membuat berita bohong mengakibatkan pada tingkat kepercayaan publik pada kasus KS. Di negara kita, kasus KS selalu bertambah tiap tahunnya, dan pada kasus-kasus tertentu, masih banyak kasus yang tertutupi.
Adapun kabar hoax mengenai KS dapat menurunkan kepercayaan masyarakat pada kasus-kasus KS berikutnya. Hal ini memungkinkan korban KS tidak mau speak up. Inilah yang menjadi pesan penting bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam bermedia sosial terutama atas kasus kekerasan seksual. []