Mubadalah.id – Manusia memiliki dua jenis genetika pada tubuh biologisnya, yaitu egois dan altruis. Egois merupakan prilaku yang mengedepankan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang banyak. Sedangkan altruis adalah prilaku mengedepankan kepentingan orang banyak di atas kepentingan diri sendiri.
Secara bahasa, altruisme merupakan kata bahasa Inggris altruism yang bermakna mementingkan kepentingan orang lain. Kamus ilmiah menerangkan bahwa istilah altruisme mempunyai arti suatu pandangan yang menekankan kewajiban manusia memberikan pengabdian, rasa cinta, dan tolong-menolong terhadap sesama.
Auguste Comte sebagai bapak positivisme mengenalkannya pada abad ke-19 yang mengatakan bahwa dalam altruisme terkandung “penghapusan hasrat mementingkan diri sendiri dan egosentrisme, serta menjalani kehidupan yang ditujukan untuk kesejahteraan orang lain”. (Ricard, 2015).
Perempuan Altruis di Zaman Rasulullah Saw
Setiap Selasa sore, Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur menggelar kajian rutin bertajuk Ngaji Kitab Mu’jam A’lam an-Nisaa’ fil Qur’anil Karim. Kitab ensiklopedia perempuan ini berisi kisah perempuan-perempuan yang menjadi penyebab turunnya ayat Alquran.
Suatu sore, Nasyiah Jatim menyoal kehidupan Ummu Sulaim bintu Milhan yang sangat sederhana dan memiliki sifat altruisme. Kata lain, menjadi perempuan altruis. Ibu dari Anas bin Malik, pelayan setia Rasulullah, ini menikah dengan Abu Thalhah dengan mahar termahal. Yakni dengan keislaman Abu Thalhah.
Saat Abu Thalhah mengkhitbahnya, ia berkata, “Aku tak menginginkan mahar apapun darimu kecuali keislamanmu.” Terbesitlah secercah hidayah pada Abu Thalhah dan berimanlah ia. Kemudian ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar tersebut.
Suatu ketika, Rasulullah Saw kedatangan seorang tamu. Ia bertanya pada istrinya apakah ada makanan. Istrinya pun menjawab hanya ada air. Maka Rasulullah pun bertanya, “Siapa yang bertugas menjamu tamu hari ini?” Ternyata Abu Thalhah dan istrinya.
Rasulullah pun mendatangi Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Mereka pun bersegera menyiapkan makan malam, menyalakan pencahayaan, dan menyiapkan makanan untuk tamu Rasulullah Saw.
Karena makanan hanya cukup untuk tamunya, Ummu Sulaim berpura-pura membenahi sumber pencahayaan. Kemudian ia sengaja mematikan cahaya tersebut dan memperlihatkan pada tamu bahwa ia makan bersama suaminya. Padahal mereka hanya berpura-pura. Begitulah sikap Ummu Sulaim, perempuan altruis, bersama suaminya Thalhah.
Keesokan harinya, Thalhah yang seorang anshar ini bercerita ke Nabi perihal kejadian semalam. Nabi pun menanggapi, “Pantesan semalam Allah tertawa. Ternyata karena kelakuan kalian berdua.” Inilah yang menjadi sebab turunnya surat Al-Hasyr ayat 9.
“Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri (altruisme), meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Menjadi Altruis di Zaman yang Egois
Zaman digital membuat pola komunikasi manusia lebih efektif dan efisien. Namun, digitalisasi media juga mengakibatkan lahirnya manusia-manusia individual dan egois. Manusia terbiasa berinteraksi dengan perangkat lunak yang tidak dapat mendeteksi perasaan. Di media sosial, manusia tersenyum hanya dengan menekan tombol like. Tak perlu susah payah mengatur mood yang kadang berantakan.
Pada era ini pun lambat laun manusia tergantikan oleh sistem. Berapa banyak pekerjaan yang kini menggerus kesempatan manusia bekerja. Robot memiliki ketelitian dan kecepatan kerja melebihi manusia.
Pada akhirnya perasaanlah yang menjadi kelebihan manusia atas robot. Meski murid pada zaman itu bisa belajar segalanya melalui teknologi, sikap humanis seorang guru tak akan tergantikan. Manusia yang memiliki sikap egois tak lagi ada bedanya dengan robot yang tak berperasaan. Maka, manusia dengan altruismenya yang diperhitungkan. []