Sayyidah Khodijah binti Khuwailid adalah salah satu tokoh perempuan penting dalam sejarah Islam. Pasalnya, Sayyidah Khodijah -sebagai ummil mukminin- adalah saksi nyata, yang merasakan betul perjuangan awal Islam bersama Nabi Muhammad Saw, termasuk masa-masa turunnya wahyu di bulan suci Ramadan.
Posisi Sayyidah Khodijah cukup strategis. Karenanya, ketika beliau meninggal tanggal 11 Ramadan tahun ke 10 kenabian, Nabi Muhammad sangat merasakan kehilangan dan sangat terpukul. Kondisi ini dikenal dengan “ammul huzni” sebab sebelumnya pamanda Nabi, Abu Tholib juga meninggal di tahun yang sama.
Bukan hanya itu, ketika Nabi sudah menikah lagi dengan Siti Aisyah dengan usia lebih muda, beliau sering menyebutnya hingga membuat cemburu. Ini gambaran bagaimana cinta Nabi kepada Sayyidah Khodijah sulit dihilangkan. Begitulah cinta tulus tidak dimakan waktu atau tempat, yang terlintas dalam benak adalah dia yang dicintai masih hidup.
24 tahun Sayyidah Khodijah hidup bersama Nabi Muhammad membangun rumah tangga dan mengawali dakwah awal Islam dalam bingkai nilai-nilai spiritual, bukan semata-mata materi. Kata kuncinya adalah ketulusan. Tanpa ketulusan betapa sulitnya, apalagi secara materi dan kedudukan Sayyidah Khodijah adalah perempuan luar biasa dan kaya raya. Imam al-Dhahabi menggambarkan sosok beliau:
هي ممن كمل من النساء كانت عاقلة جليلة دينة مصونة كريمة
“Dia adalah salah satu perempuan yang sempurna. Perempuan cerdas, agung, taat agama, terjaga dan mulia.”
Kaitan dengan ketulusan ini, layak kita membaca penjelasan Abdul Hamid Mahmud Thahmaz dalam bukunya al-Sayyidah Khodijah Ummu al-Mu’minin wa Sabbaq al-Khalqi fi al-Islam, hal 67, 71, dan 82 sebagai berikut:
1. Masa-masa Nabi Muhammad melakukan pertapaan atau tahannus di Gua Hira dalam rangka mencari nur ilahi, agar senantiasa mampu hidup dalam kebaikan di tengah kehidupan Arab terjebak hedonisme dan menyembah berhala atau paganisme.
Dalam konteks ini, dukungan Sayyidah Khodijah terhadap suaminya luar biasa dan penuh ketulusan. Peristiwa tahannus ini dilakukan berkali-kali dan berkali-kali pula beliau ditinggal tidur sendirian. Padahal, yang kita kenal prilaku perempuan ditemukan biasanya selalu marah, ketika suaminya sering berjauhan atau bisa jadi ia selalu cemburu, takut kecantol perempuan lain, tegas Abdul Hamid.
Sayyidah Khodijah, mengawal betul perbekalan makan dan minum Nabi Muhammad di Gua Hira dengan penuh ketulusan dan pengabdian. Dan, tidak jarang menanyakan kondisi suaminya ketika masa pulang belum kunjung datang. Bahkan, juga terkadang datang sendiri ke Gua Hira untuk memberikan support kepada Nabi Muhammad.
2. ketika Nabi menerima Wahyu di Gua Hira dalam kondisi lelah atau greges dan pulang menanggung beban ilahi yang cukup berat. Sambil berkata: “selimuti aku, selimuti aku.”
Sayyidah Khodijah segera bergegas menyelimuti Nabi Muhammad dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Tanpa banyak bicara untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Inilah ketulusan dan keluhuran tatakrama Khodijah. Beliau lebih baik menunda hingga Sang Suami benar-benar sudah tenang.
Begitulah, Nabi Muhammad setelah reda langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Gua Hira. Dan apa yang disampaikan beliau, dengan penuh keyakinan diterima oleh istrinya, Khodijah dan aku siap akan terus membantu dengan tulus sebagai isyarat benar perintah Tuhan, tegas Khodijah.
Akhirnya, Sayyidah Khodijah langsung masuk Islam menerima risalah Islam, yang dibawa suaminya. Lantas Nabi pun mengajarinya tata cara wudhu dan sholat sebagaimana diajarkan oleh malaikat Jibril. Karenanya, Sayyidah Khodijah kemudian dikenal sebagai orang yang pertama kali masuk Islam.
Ketulusan Khodijah mengawal suaminya mengantarkan bangunan kehidupan penuh hikmah, bahkan mengutip Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad hal. 150, kehidupan itu penuh pengorbanan yang tulus lillah, dalam kebenaran dan bergerak dalam ruang kemanusiaan. Pastinya, didukung pula oleh Nabi dengan penuh tulus dalam berprilaku sehari-hari.
Oleh karenanya, marilah kita belajar tentang ketulusan. Sukses dalam banyak hal harus didukung dengan tulus oleh orang-orang terdekat. Bukan hanya di rumah tangga, tapi juga di semua lini kehidupan. “Bersama dengan tulus, hidup indah melewati segala rintangan dengan penuh hikmah.”
Semoga kita semua bisa belajar, bukan hanya emak-emak sebab ketulusan tidak mengenal jenis kelamin. Pastinya, semoga juga hidayah Allah SWT terus mengalir dengan kita tetap berpuasa tanpa menyerah. Amin.