Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya menghadiri pernikahan seorang sahabat. Di dalam pertemuan itu, saya dan teman-teman membicarakan “apakah setelah menikah tetap bekerja atau memilih full time di rumah dan fokus mengurus keluarga?”.
Sebagian dari mereka memilih tetap bekerja, dan sebagiannya lagi memilih di rumah. Mendengar pilihan mereka saya tersenyum. Salah satu diantara mereka nyeletuk dengan nada bercanda “Yakin skincare-nya kebeli?”, dan sahabat saya menjawab “tenang aja gue mau cari suami yang mapan”.
Pernikahan bagi saya adalah sebuah komitmen kuat yang harus kita jalankan dengan relasi kemitraan dan penuh kesalingan. Di dalam pernikahan ada hak dan kewajiban yang harus dijalankan untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.
Tetapi dalam praktiknya, seringkali terjadi ketimpangan peran dan tanggung jawab suami istri. Misalnya kewajiban suami menafkahi istri tidak terpenuhi, sehingga mengharuskan istri bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga. Perempuan yang bekerja tidak melulu ketergantungan soal finansial, ada juga kebutuhan mengembangkan dan mencapai potensi diri di bidang yang ditekuni.
Meskipun terdapat perempuan yang bekerja untuk kebutuhan keluarga maupun orang lain seringkali kehadirannya disalahkan dan tidak dihargai. Padahal bekerja adalah hak setiap individu, baik perempuan maupun laki-laki.
Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan
Adanya pernikahan menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga akan ada pembagian peran dan tanggung jawab. Perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki kewajiban mengurus rumah tangga. Tetapi realitanya, perempuan yang bekerja tetap harus terbebani pada urusan domestik.
Padahal pekerjaan rumah terbilang berat dan melelahkan. Teringat seorang sahabat curhat kepada saya, bagaimana ia ingin sekali bekerja tetapi suami tidak memberikan izin, akibat adanya dominasi suami dalam rumah tangga.
Kebanyakan dari mereka beranggapan jika istrinya bekerja, maka kebutuhan rumah tangga akan lebih banyak pengeluaran karena transportasi. Bahkan ART untuk mengurus rumah, yang seharusnya bisa dilakukan oleh istri. Data dari International Labour Organization (ILO) dan Gallup, menunjukan bahwa hampir 30 persen laki-laki lebih memilih perempuan untuk bekerja di rumah dan menjadi ibu rumah tangga.
Pada prinsipnya, Islam hadir memberikan kedudukan yang sama antara perempuan dan laki-laki sebagai subjek penuh dalam sistem kehidupan, yang membedakan hanyalah ketakwaan. Begitu juga misi Rasulullah dalam menegakkan keadilan dan menghargai kemanusiaan universal. Yakni pembebasan manusia dari belenggu untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk dalam hal bekerja.
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kamu (manusia), tetapi melihat hati dan amal perbuatan kamu”. (HR. Muslim).
Manfaat Bekerja
Bekerja dapat membangun relasi dengan Allah Swt jika kita niatkan untuk ibadah dan mencari ridha-Nya. Selain itu juga relasi sosial untuk membantu sesama dan relasi dengan alam untuk pemenuhan kebutuhan dan menjaganya. Di dalam al-Qur’an surat An-Nahl ayat 97 Allah berfirman;
“Siapa yang mengerjakan amal saleh, laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia beriman, maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan balasan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.”
Ayat ini menyapa perempuan dan laki-laki yang aktif beramal saleh dan mencari ridha Allah SWT. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban relatif sama di dalam keluarga, bekerja maupun di masyarakat baik. Keduanya memiliki peluang dan kesempatan sama untuk memperoleh imbalan atas amal salehnya.
Kemudian dalam hadis dijelaskan bahwa “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Sahih Bukhari).
Hadis tersebut berlaku untuk perempuan dan laki-laki yang bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya, apapun pekerjaannya selama halal adalah baik. Demikian bekerja dan beramal shaleh merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat yang kita terima.
Dalam hal ini, seorang istri boleh menentukan pilihannya untuk bekerja atau berkarir dan masih banyak pekerjaan yang membutuhkan peran perempuan. Maka mengurus rumah tangga dan melakukan pekerjaan domestik lainnya bukan tugas utama perempuan. Melainkan hasil dari konstruksi sosial yang kerap mensubordinasikan perempuan (laki-laki bekerja mencari nafkah, perempuan di rumah).
Perempuan Bekerja
Selanjutnya surat an-nisa ayat 34 yang berbunyi” Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz) berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Mahabesar”.
Beberapa kalangan menafsirkannya bahwa perempuan tidak mempunyai hak sebagai pemimpin dalam rumah tangga maupun masyarakat, perempuan tidak boleh menjadi kepala keluarga. Akibatnya perempuan seringkali sulit untuk mengambil keputusan.
Padahal, pada kenyataannya tidak semua laki-laki mampu berperan melebihi perempuan. Misalnya di dalam rumah tangga ketika suami sedang sakit atau mengalami gangguan yang mengakibatkan ia tidak bisa bekerja, atau istri yang ditinggalkan oleh suaminya.
Tidak bisa kita pungkiri perempuan harus mencari nafkah dengan bekerja. Jika peran istri lebih mampu di sektor publik, maka kenapa tidak perempuan memegang peran pemimpin dalam keluarga?
Selain itu, rumah tangga yang tidak harmonis penyebabnya bukanlah istri yang bekerja, melainkan oleh kurangnya upaya untuk saling bekerja sama dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing dalam rumah tangga.
Kedua pasangan harus saling memahami dan menghargai satu sama lain guna mencapai keharmonisan dan kebahagiaan bersama. Ini adalah bentuk implementasi rahmatan lil’alamin dalam menjalankan fungsi sebagai hamba Allah dan makhluk sosial. []