Mubadalah.id – Film dokumenter berjudul “To Kill a Tiger” mengangkat kisah perjuangan keadilan korban kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual yang diberi nama samaran Kiran adalah seorang remaja berusia 13 Tahun. Ia diperkosa oleh 3 orang laki-laki saat tengah malam seusai menghadiri perayaan pernikahan kerabat.
Film To Kill a Tiger ini berlatar tempat di India dengan suasana di pedesaan yang menyoroti kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Mayoritas masyarakat bermata pencaharian petani, begitu pula Ayah Kiran adalah seorang petani.
Penulis melihat Film ini dari perspektif agensi sebagai upaya pemberdayaan diri Kiran dan masyarakat. Di mana agency kita artikan sebagai kemampuan atau kapasitas dalam membuat dan melaksanakan pilihan. Di tengah keterbatasan yang Kiran miliki, Agensi korban kekerasan terwujud dalam pelaporan pelaku melalui jalur hukum, Relasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Bersuara di Pengadilan.
Pelaporan Jalur Hukum dan Support System dari Keluarga
Kiran sebagai gadis di bawah umur memiliki keberanian dan pemikiran yang cukup progresif di usianya yang sangat muda dan lingkungan yang patriarki. Budaya patriarki sangat melekat pada masyarakat desa tempat tinggal Kiran. Respon masyarakat mengenai kasus perkosaan Kiran justru membela pelaku dan melakukan victim blaming. Masyarakat beranggapan bahwa solusi pada kasus pemerkosaan ialah menikahi korban dengan pelaku dan mereka selesaikan secara kekeluargaan agar tidak mencemari nama baik desa.
Jika mengacu agency menggunakan teori strukturalisasi millik Giddens, lingkungan masyarakat telah terhegemoni suatu sistem/budaya akan selalu ada pihak-pihak yang mencoba untuk merespon dan mensiasati keadaan. Hal ini ditunjukan oleh keberanian Kiran dan keluarganya memperjuangkan keadilan dalam hegemoni budaya patriarki.
Keberanian-keberanian itu antara lain: menceritakan peristiwa pemerkosaan kepada orangtuanya meski telah pelaku ancam. Selain itu memegang keputusannya untuk membawa kasusnya pada jalur hukum, dan menyampaikan kesaksiannya di pengadilan. Pilihan yang Kiran ambil termasuk pilihan strategis. Hal tersebut tidak terlepas dari refleksi kognitif kiran yang kita sebut sebagai elemen sumber daya untuk memiliki agency.
Sumber daya tersebut dapat kita peroleh dari nilai-nilai dari keluarga. Kelekatan orang tua dan kehadiran peran Ayah pada pengasuhan anak sangat kita perlukan untuk membangun kepercayaan diri dan self-esteem yang baik untuk anak-anaknya khususnya anak perempuan. Kiran juga menyampaikan bahwa ayahnya seorang yang selalu menghargai dan menanyakan pendapat anak-anaknya.
Dukungan orang tua ditunjukan sejak awal dengan tidak menyalahkan Kiran akan peristiwa tersebut. Lalu mencari solusi kepada tokoh penting untuk melaporkan kepada polisi untuk ditindaklanjuti. Selain itu menolak usulan desa untuk menikahkan pelaku dengan anaknya.
Orang tua Kiran menginginkan bahwa kehidupan anak-anaknya harus lebih berdaya dari orangtuanya. Salah satu yang dapat mengubah nasib adalah melalui pendidikan. Hal tersebut terinternalisasi oleh Kiran dari orangtuanya.
Berelasi dengan LSM
Bantuan dari para aktivis LSM/NGO Srijan Fooundation dalam mendampingi kasus Kiran memberi angin segar. Yakni untuk mewujudkan perjuangan keadilan Kiran dan Keluarganya. Ketersediaanya terbantu oleh aktivis dalam proses advokasi serta pembuatan film membutuhkan keberanian dan kepercayaan kepada pihak luar. Keluarga Kiran menyadari bahwa untuk mencapai tujuannya perlu berelasi dengan pihak yang mumpuni seperti LSM.
Meski demikian, Aktivis juga mengingatkan Keluarga Kiran perlu bertekad dan inisiatif melakukan upaya dan pemantauan sidang yang hendak mereka lakukan tanpa bergantung penuh kepada LSM. Selain melakukan pendampingan kepada korban dan advokasi, aktivis tersebut juga mengajak dialog untuk mengubah sudut pandang masyarakat dalam menilai dan merespons kasus tersebut.
Hubungan yang terjalin antara keluarga Kiran dengan LSM, tidak hanya merupakan upaya untuk memperoleh bantuan dalam mendampingi kasus Kiran. Tetapi juga merupakan sebuah langkah dalam meningkatkan kesadaran kritis di masyarakat. Melalui hubungan ini, keluarga Kiran berusaha untuk mendobrak sikap tunduk dan diam yang sering kali menjadi respons umum terhadap masalah-masalah yang dinormalisasi, seperti kasus kekerasan seksual.
Bersuara di Pengadilan
Strategi aktivis menggunakan Kebijakan POCSO untuk menekan posisi Mukhyia agar mau memberikan kesaksiaannya di pengadilan. UU tersebut menekankan bahwa Jika anak di bawah umur baik laki-laki atau perempuan mendapatkan pelecehan dalam cara apapun atau diperkosa maka pelakunya bersalah.
Dan jika sebagai pejabat publik atau perwakilan desa tidak mendukung upaya korban mendapatkan keadilan maka juga anggapannya salah. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan juga sangat berpengaruh dalam mendukung atau melemahkan sistem yang telah terhegemoni.
Selain itu, Kehadiran Kiran dalam persidangan dan menyampaikan kesaksiaannya di persidangan juga menunjukan bahwa negara memberikan ruang untuk anak di bawah umur. Pendapat anak di bawah umur seringkali terabaikan dan anggapannya tidak penting atau bahkan kita anggap tidak kredibel karena usianya.
Keberanian Kiran dalam bersuara di pengadilan sangat menentukan hasil keputusan pengadilan. Ia berusaha belajar menata Bahasa yang akan dia sampaikan beberapa hari sebelum sidang. Selain itu melatih diri agar tidak gugup. Hasilnya terlihat pada saat penyampaian ia melakukan dengan sangat baik lancar dan jelas.
Pilihan strategis yang Kiran ambil untuk memperjuangkan keadilan setelah menjadi korban kekerasan seksual tidak hanya merupakan upaya untuk memenuhi keinginan pribadinya. Yaitu kesempatan untuk memperoleh keadilan, tetapi juga merupakan sebuah tindakan pemberdayaan bagi diri sendiri serta bagi para penyintas kekerasan seksual lainnya.
Hal ini tercermin dari pernyataan Ayah Kiran bahwa kemenangan Kiran menjadi kabar menggembirakan bagi sebagian masyarakat di desanya. Meskipun mereka tidak menunjukkannya. Dengan kata lain, perjuangan Kiran telah memberikan harapan dan inspirasi bagi banyak orang di desanya dan dunia. Termasuk para penyintas kekerasan seksual lainnya,. Yakni untuk memperjuangkan keadilan dan mengubah budaya yang merendahkan korban kekerasan seksual. []