Mubadalah.id – Awal Mei lalu, mubadalah.id menerbitkan artikel berjudul “Ziarah Kubur: Tempat Healingnya Santri”. Saya sepakat dengan penulis dalam memberikan judul ini. Beberapa waktu lalu, selepas ujian, saya mempraktikkan hal ini dengan niatan untuk recharging energy.
Saya mengunjungi makam ulama muda perempuan Ning Arina Sabiela puteri Kyai Fadhlolan Musyaffa’ salah satu tokoh ulama’ berpengaruh di Jawa Tengah, pengasuh Pondok Pesantren Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan (PPFF) Mijen Semarang Jawa Tengah.
Makam Ning Bela, sapaan untuk Ning Arina Sabiela, berada di sisi kanan belakang komplek masjid Raudhatul Jannah. Masjid Raudhatul Jannah sendiri berada tepat berhadapan dengan komplek gedung utama yang iconic bertuliskan Pondok Pesantren Fadlu Fadhlan.
Untuk menuju makam, bisa melalui jalur utama jalan raya Semarang-Boja. Jalur ini merupakan jalur jika peziarah melewati rute timur sejalur dengan Kampus UIN Walisongo. Satu lagi, berada pada rute alternatif jika peziarah melewati jalur barat (Mangkang-Gondoriyo). Baik jalur timur maupun barat, peziarah akan disambut dengan rindangnya hutan karet dari titik jalan raya hingga tepat di depan gerbang pondok.
Mengunjungi makam tersebut semacam me-recall kembali ingatan tentang Ning Bela. Dua belas tahun lalu tepatnya tahun 2012, saya berkesempatan 1 tahun nyantri dengan Kyai Fadhlolan Musyaffa’.
Kala itu, saya hanya mendengar kehebatan Ning Bela dari cerita para musyrifah (sebutan untuk ustadzah yang membersamai pembelajaran di pondok) karena posisi Ning Bela yang sedang menimba ilmu di luar kota. Hingga suatu ketika saya menyaksikan kehebatan Ning Bela secara langsung.
Perempuan Cerdas
Saat itu ujian akhir semester di UIN Walisongo hampir usai. Sebagai penutup kegiatan (muwadda’ah), pondok mengadakan beberapa lomba berbasis bilingual inggris-arab seperti debat, story telling dan pidato. Malam itu gemuruh terdengar di venue cabang lomba story telling.
Singkat cerita, Ning Bela menjadi juri dadakan di lomba story telling malam itu. Meski saat itu Ning Bela baru saja duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dia menunjukkan profesionalitasnya. Ekspresi, nada, dialek serta sedikit candaannya saat menjadi juri dalam dua bahasa membuat peserta dan supporter terpana dan tidak sedikit yang ikut terbahak. Dari sinilah kesan tentang Ning Bela sebagai perempuan cerdas begitu melekat di memori saya.
Lebih dari itu, mengunjungi makam Ning Bela bukan hanya sekedar me-recall ingatan. Yang sebenarnya terjadi adalah semacam upaya saya mengumpulkan kembali serpihan semangat setelah beberapa waktu lalu energi terinvestasikan untuk salah satu ujian yang harus saya ikuti.
Di kompleks makam, pandangan pertama saya tertuju pada pigura paling besar yang berisikan 5 kutipan, 2 kutipan Al-Qur’an (QS. An-Nisa’, 69 dan QS. Ali Imran, 169) dan 3 kutipan Hadis yang diberi narasi judul “Orang yang gugur di jalan Allah tidak mati”.
Membaca tulisan dalam pigura ini, saya merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Ingatan saya terlempar saat proses pemakaman Ning Bela. Kala itu, saya tidak sengaja bisa mendapat kesempatan bersama santri lain menunggu jenazah tiba di Semarang.
Dari kejauhan saya melihat Kyai Fadhlolan Musyaffa’ begitu tegar menyalami tiap tamu yang datang sambil sesekali melempar senyuman khasnya. Sambil membawa tasbih, beliau sesekali keluar masuk rumah seperti memastikan sesuatu. Saya tidak tahu apa yang ada di benak beliau. Yang saya yakini, beliau begitu Ikhlas dengan ketentuan ini.
Syahidah Arina Sabiela
Awalnya, niat kami menuju pondok selepas maghrib adalah untuk takziyah lalu pulang. Namun kami memutuskan untuk menunggu sambil menyimak pembacaan Al-Qur’an yang santri lantunkan secara terpusat di masjid selama proses menunggu jenazah tiba. Menjelang azan shubuh, suara sirine sayup kencang terdengar. Jenazah ulama muda perempuan itu datang dan suasana haru begitu kuat menyelimuti.
Azan Subuh berkumandang, salat subuh diikuti salat jenazah-pun didirikan. Selepas prosesi pemakaman, Kyai dengan suara isak melakukan prosesi talqin mayyit. Dalam prosesi tersebut, Kyai mengulang-ulang kata “laa takhafi wa laa tahzani” seraya memanggil nama Ning Bela dengan sebutan “syahidah Arina Sabiela”. Selayaknya seorang ayah memberikan penguatan dan pengayoman kepada anak, begitu ekspresi yang saya tangkap.
Selain pigura besar itu, di sekeiling tembok makam juga terdapat pigura foto para Ulama’ Timur Tengah yang merupakan guru Ning Bela. Beberapa ulama’ tersebut ada yang Ning Bela jumpai ketika menimba ilmu di Mesir dan sempat mengabadikan kebersamaan.
Beberapa teman Ning Bela semasa menimba ilmu di Mesir memberi kesaksian bahwa Ning Bela memiliki kebiasaan talaqqi, mengikuti majelis-majelis ilmu dan berziarah kepada ulama’ Mesir. Ada pula foto Ulama’ Timur Tengah yang sengaja datang ke makam Ning Bela. Dari deretan foto-foto tersebut, terdapat foto ijazah sanad yang menunjukkan bahwa Ning Bella pergi dengan mission complete dalam studinya (Al-Qur’an).
Bagi saya, Ning Bella adalah salah satu inspirasi kegigihan perempuan muda yang patut untuk diteladani. Meski berpulang di usia muda (1999-2022) dalam perjalanan menuju ziarah makam Imam Al-Bushiri di Iskandariah Mesir, sederet pencapaian membanggakan telah Ning Bella upayakan.
Ketertarikannya pada ilmu bahasa, kepercayaan dirinya yang selaras dengan passionnya sebagai pembicara publik yang ulung, kemandirian, dan komitmen menyelesaikan studi (hafalan maupun substansi) Qur’annya bisa menjadi semangat bagi perempuan-perempuan muda khususnya. []