“Doa yang paling tulus adalah doa mereka yang berada di rumah sakit”
Kira-kira begitu coretan yang tertulis di balik dinding toilet seingat saya kemarin.
Mubadalah.id – Banyak yang menganggap bahwa tidur di rumah mewah, makan enak, dan punya fasilitas yang lengkap akan memberi kebahagiaan seutuhnya.
Nyatanya tidak sepenuhnya begitu. Selama seminggu kemarin saya merasakan hal demikian. Tidur di rumah mewah, makan enak, full Wi-fi, TV digital hingga kamar mandi yang dilengkapi dengan heater.
Tapi hati ini rasanya carut marut tidak karuan. Apalagi tiap hari harus melihat antrian manusia datang silih berganti mencari secercah harapan untuk melanjutkan kehidupan.
Belum lagi suara tangisan, keluhan, hingga ratapan yang begitu menyayat hati. Rasanya ingin saya segera pergi dari tempat ini.
Memang kebanyakan orang tidak menginginkan masuk ke sini jika tidak benar-benar terpaksa. Akan tetapi, perihal sakit siapa yang bisa menduga.
Ah, betapa mulia mereka yang sanggup mengabdikan diri di sana. Dengan kesabaran dan ketelatenannya membantu tiap-tiap manusia yang mau mempertahankan hidupnya.
Saya jadi teringat aksi kejam Israel yang membombardir sebuah rumah sakit di Palestina kemarin. Miris. Sungguh betapa keji perbuatan mereka. Di mana letak rasa kemanusiaannya. Atau malah mereka yang tidak punya rasa demikian.
Rumah sakit yang menjadi harapan untuk menyambung hidup justru mereka luluhlantakkan. Apakah mereka masih menutup mata atas aksi genosida yang mereka lakukan? Ataukah hati mereka memang sudah mati?
Sebuah Harapan
Meski hanya seminggu berada di rumah sakit, saya tahu bagaimana harapan-harapan kecil itu tersimpan. Dari sorotan mata yang berada di setiap pojokan, terselip doa-doa tulus yang terpencar.
Saya jadi teringat sebuah coretan yang tertulis di dinding kamar mandi di sana. Entah siapa yang mencoret-coretnya. Walaupun aksi ini memang tidak patut kita contoh, tapi tulisan itu memberikan sebuah makna yang dalam dan patut kita refleksikan.
“Doa yang paling tulus adalah doa mereka yang berada di rumah sakit” kira-kira begitu tulisannya.
Saya rasa tulisan itu benar adanya. Entah kenapa ketika berada di rumah sakit, hati ini akan begitu condong dengan Tuhan.
Sebuah harapan semoga ikhtiar yang kita lakukan menuai keajaiban. Sebuah pertolongan untuk orang-orang yang kita sayang.
Meskipun sebenarnya diri ini malu untuk memohon kepada Tuhan jika mengingat segala dosa yang telah dilakukan. Ah, dasar manusia, ingatnya hanya ketika sedang mendapat ujian. Akan tetapi kepada siapa lagi kita mau berharap kalau bukan kepada Sang Pemberi Kehidupan.
Pelajaran dalam Kekalutan
Bukankan setiap keadaan akan memberikan pelajaran? Itulah yang saya ingat selalu ketika mengarungi kehidupan. Semesta adalah universitas sebenarnya – kalau kata Prof. Renald Kasali.
Memang menunggu orang sakit itu cukup melelahkan dan (kadang) membosankan. Akan tetapi justru banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari sana perihal kehidupan.
Pertama, tentang nikmat kesehatan
Bukan rahasia umum jika nikmat satu ini sering terabaikan. Badan sehat, pikiran sehat adalah nikmat yang begitu berharga yang terkadang hanya kita rasakan ketika sakit atau sedang melihat orang sakit.
Padahal nikmat ini lebih penting dari sekadar materi. Apa gunanya rumah mewah, mobil mewah, dan makanan mewah jika raga ini sedang sakit. Sudah mendapat nikmat berupa kesehatan saja sudah luar biasa. Yakin, masih mau ngeluh?
Kedua, tentang hidup sehat
Ketika kita sudah mendapat karunia berupa kesehatan, alangkah baiknya kita mensyukuri nikmat itu. Salah satu caranya dengan menerapkan pola hidup sehat.
Akhir-akhir ini betapa banyak jenis penyakit yang berasal dari pola hidup kurang sehat. Dan memang begitulah yang saya ketahui ketika berada di rumah sakit.
Menjaga pola makan, olahraga, dan manajemen emosi penting kita latih sejak dini. Memang manfaat dari melatih tiga hal ini tidak dapat kita rasakan secara langsung. Namun, dampaknya akan sangat terlihat ketika usia sudah tidak lagi muda nanti.
Ketiga, tentang kasih sayang dan empati
Entah, terkadang pikiran liar saya sempat berpikir kenapa orang sakit dengan usia lanjut masih dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Padahal untuk membawa mereka ke sana tentu tidak sedikit memakan biaya. Sedangkan kesembuhan mereka pun belum tentu menjadi jaminan. Bukankah lebih baik jika biaya tersebut digunakan jika kapan saja ajal datang menjemput mereka.
“Ah, dangkal sekali pikiran ini”, gumam saya. Memang dari sini sudah muncul bias dalam berlogika. Rumah sakit bukan penjamin kesembuhan seseorang. Bagaimanapun juga hanya Allah yang mampu memberikan kesembuhan. Rumah sakit hanyalah perantara untuk mengupayakan hal demikian.
Mengupayakan kesembuhan bagi orang lain menurut telaah saya adalah bentuk kepedulian terhadap liyan. Mana ada orang yang tega melihat orang lain merintih merasakan sakit. Di mana empati mereka. Mungkin jika ada yang tega, perlu dipertanyakan rasa kemanusiaannya.
Berobat ke rumah sakit memang cukup menguras biaya. Namun pelajaran yang berharga bagi saya bahwa semua tidak hanya soal uang. Uang yang hilang dapat dicari, tetapi nyawa yang hilang tidak dapat terganti.
Memberikan pelayanan yang terbaik adalah bentuk kasih sayang untuk orang yang tersayang. Selain itu, bukankah Allah juga perintahkan kita untuk selalu berbakti kepada orang tua selagi mereka masih hidup? Betapa rugi mereka yang tidak mau berbakti kepada orang tua, padahal di situlah terdapat alasan untuk meraih surga.
Keempat, tentang ikhtiar dan tawakal
Allah memang sudah menggariskan bagaimana alur kehidupan seseorang. Akan tetapi manusia juga harus berikhtiar, berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kesembuhan.
Akan tetapi kembali lagi bahwa semua sudah berjalan sesuai takdir. Setelah berikhtiar manusia hanya bisa bertawakal dan menerima sepenuh hati apapun yang bakal terjadi. Pun manusia juga tidak patut untuk menuntut bagaimana hasil akhirnya. Pernyataan ikhtiar tidak menghianati hasil memang tidak selamanya benar. Semua keputusan tetap berada pada Yang Maha Kuasa.
Sebagai manusia kita hanya mampu berdoa dan berusaha. Selanjutnya bertawakal atas apa yang kita upayakan. Dan apabila yang terjadi tidak sesuai dengan harapan, kita juga harus ikhlas dan rela menerima kenyataan serta menjadikannya sebagai pelajaran.
Akhiran, semoga kita, keluarga kita, dan saudara-saudara kita senantiasa mendapatkan kesehatan sehingga mampu menjalankan ibadah, mencari rezeki, dan menuntaskan tugas sebagai Khalifah di bumi. Amiin. []