Mubadalah.id – Banyuraga merupakan sebuah judul film yang menekankan pentingnya menjaga alam demi anak cucu di masa mendatang. Film Banyuraga ini ditulis oleh Dwi Apriliyanto dan Topek Setiawan sebagai sutradaranya. Sebuah film pendek karya rumah produksi prouductive ID ini telah ditayangkan dalam Festival Film Gunung Kidul pada 2021 dan bisa kita akses gratis melalui YouTube.
Desa Tanpa Sumber Air
Film Banyuraga ini berawal dari kisah sepasang suami istri yang risau akan tunggakan pembelian air. Meskipun hidup di desa, mereka harus tetap membeli air PDAM. Lantas keresahan ini menjadi beban sendiri bagi Raga, sang suami. Mengapa mereka tidak bisa menikmati sumber mata airnya sendiri? padahal air adalah sumber penghidupan, lantas mengapa mereka harus susah-susah membelinya?
Raga pun merenungi nasibnya tepat berdekatan dengan sebuah sumber air yang hampir mati di dekat hutan. Sumber yang sejak dulu telah ada sedari ia masih kecil. Di tengah perenungannya, ia pun tertidur.
Dalam alam bawah sadarnya, Raga bermimpi berada dalam sebuah ruang gelap yang hanya memiliki seluet cahaya. Di sana ada seorang nenek yang tengah duduk lemas dan meminta tolong kepada Raga. Memohon kepadanya akan sesuatu yang ia tidak pahami. Lantas kemudian, Raga terbangun.
Raga merasa, bahwa nenek yang berada dalam mimpinya, merupakan gambaran dari sumber mata air yang kini berada di depannya. Sebuah sumber mata air yang hampir habis, airnya begitu dangkal, tak lain karena sebuah pohon besar yang menyokongnya selama ini telah hampir mati.
Menjaga Air Untuk Anak Cucu
Akhirnya Raga secara pribadi berinisiatif untuk kembali membangkitkan sumber air mata tersebut. Mula-mula, ia meletakkan sesajen kepada pohon tua yang telah sudi menyokong keberlanjutan sumber mata air sejak lama. Lalu ia pun membersihkan sumber tersebut dari sampah dedaunan. Tak sampai di situ, ia pun mengukir simbol yang menandakan adanya tanaman-tanaman yang akan ia tanami di sekitar pohon tua.
Di tengah pekerjaannya, ada beberapa anak datang kepadanya. Salah seorang dari padanya menanyakan apa yang sedang Raga lakukan. Lantas ia pun menertawakan Raga dengan mengatakan, “Lha ngasih aku duwe putu, rung gedhe-gedhe wit e iki, lek!” (Lah sampai aku punya cucu, belum besar-besar pohonnya ini, lek!)
Raga pun tidak menanggapi tertawaan anak-anak kecil itu, namun ia memilih untuk menjelaskan bagaimana pohon besar yang menjaga sumber air kini hampir mati. Bahkan ia pun mengajak anak-anak tersebut untuk menanami bibit pohon di sekitar sumber sebagai pengganti dalam mempertahankan air tersebut tak sampai mati.
Ambang Kerusakan
Sayangnya niat baik Raga untuk menjaga alam agar tetap lestari mendapatkan respon buruk dari orang-orang yang serakah dengan bumi. Mereka yang tidak bertanggungjawab telah menggunduli hutan demi kepentingan materi. Mereka yang tidak memikirkan keberlanjutan alam sebagai warisan anak cucu.
Kemudian esoknya, ketika Raga kembali ke tempat pohon tua itu bersemayam, ia melihat bahwa tanaman-tanaman yang baru ia tanam telah rusak dan berceceran. Seakan ada orang yang telah mencabutnya dari tanah, dan membuangnya sembarangan.
Ketika rasa sedihnya belum pulih, ada seorang tetangga mengabari kondisi istrinya yang sebelumnya sakit di rumah, kini telah menghembuskan napas terakhir, dan tidak bisa ia selamatkan lagi. Kehancuran Raga pun makin menjadi-jadi.
Serasa beban saling bertempur padanya. Nahasnya, di luar rumah para banyak orang yang membicarakannya. Menggunjing Raga bahwa ia telah melakukan pesugihan di pohon tua tengah hutan dan membuat istrinya menjadi korban tumbal.
Provokator gunjingan antar warga ini tidak lain adalah orang-orang serakah untuk memperebutkan pohon besar penyokong sumber air. Niat mereka melakukan ini adalah agar bisa menebang pohon tua tanpa mendapatkan penolakan warga. Di sisi lain juga bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya, karena pohon tersebut dinilai langka dan punya keuntungan lebih.
Kidung Alam
Saya melihat Raga sebagai seorang pemahat batu, warga desa biasa, namun punya kesadaran tinggi untuk menjaga alamnya demi anak cucu. Ia sadar bahwa masa kecilnya masih merasakan segarnya air yang bisa ia peroleh cuma-cuma. Lantas, saat ia telah tumbuh dewasa, mengapa air tersebut tak bisa ia nikmati lagi.
Ia memilih menjaga sumber mata air ketimbang membelinya secara praktis. Ia menyayangkan pepohonan yang harus habis tebang dan menyurutkan sumber-sumber di sekitarnya. Selayaknya keinginan sosok nenek dalam mimpinya yang menyanyikan kidung Jawa, Raga berusaha menjaga air maupun pohon yang menyokong alirannya untuk tetap lestari.
Manungsa tan liya mustik aning banyu (Manusia tak lain mustikanya air)
Raga rinumpaka kapti (Raganya tersusun oleh ingin)
Warih wreksa wijil kahyun (Sang air dan sang pohon anaknya)
Kekarone sira rukti (Keduanya engkau jaga)
Ngunduh Wohing Pakarti
Kesadaran Raga yang demikian inilah jarang orang sekarang miliki. Masyarakat lebih mementingkan keuntungan pribadinya ketimbang menimbang bagaimana alam akan memberikan konsekuensi pedas kedepannya. Sifat serakah dan duniawi telah banyak menelan manusia ke dalam jurang kerusakan.
Mereka yang tamak, telah menggali lubang kuburannya sendiri. Mendekatkannya pada kematian yang sesungguhnya. Penuh kebencian dan balas dendam dari tanah yang ia pijak, seperti halnya sebuah Pepatah Jawa sampaikan bahwa setiap orang ngunduh wohing pakarti, atau memetih buah perbuatannya sendiri.
Ia yang telah terjun dalam ruang destruksi. Tidak memahami bahwa alam juga memiliki batas ruang. Tidak peduli bagaimana nasib anak turunnya nanti, akan mendapatkan dampak dari apa yang telah ia tanam.
Sebaliknya, selayaknya Raga, begitupun orang-orang yang sadar. Mereka yang paham akan keadaan bumi. Betapa tanah yang telah mereka pijak begitu tua dan ringkih. Sehingga penting bagi kita untuk merawat dan menjaganya agar tetap bisa memberikan kebermanfaatan, baik bagi kita, maupun anak cucu mendatang. []