Mubadalah.id – Dengan akal intelektual, manusia menjadi makhluk yang Tuhan berikan untuk tugas, kepercayaan (amanat), dan tanggung jawab mengatur, mengelola, menertibkan, menyusun sistem dan menciptakan kebudayaan dan peradaban dalam rangka menyejahterakan seluruh umat manusia di muka bumi. Tugas atau amanat kemanusiaan ini dalam al-Qur’an disebut dengan khalifah fi al-ardl.
Menurut al-Qur an, sebelum Tuhan menyerahkan tugas/ amanah (kepercayaan dan tanggung jawab) pengaturan bumi, Dia telah menawarkannya lebih dulu kepada langit, bumi, dan gunung, makhluk-makhluk Tuhan yang melambangkan kehebatan dan keperkasaan. Akan tetapi, mereka tidak sanggup memikulnya. Akhirnya, manusialah yang kemudian menerima tawaran tersebut.
Akal intelektual adalah faktor sentral dalam sistem kehidupan manusia. Akal intelektual inilah yang membedakan dari binatang dan makhluk Tuhan yang lain. Melalui akal intelektual ini, manusia memiliki kehendak yang bebas dan merdeka.
Oleh karena itu, setiap orang memiliki kehendak yang bebas, dengan sendirinya dan sesungguhnya dia juga menjadi makhluk yang tidak bebas sebebas-bebasnya. Kebebasan seseorang pasti selalu terbatasi oleh kebebasan orang lain. Di sinilah, setiap kehendak, keinginan, dan tindakan manusia harus mempertimbangkan kehendak dan tindakan orang lain.
Tanggung Jawab
Dengan kata lain, kebebasan selalu meniscayakan tanggung jawab. Kehendak bebas tanpa mempertimbangkan kehendak bebas yang lain, tanpa tanggung jawab, tentu akan menciptakan relasi antar manusia dalam konflik yang terus menerus, bahkan sangat mungkin melahirkan situasi dunia yang chaos.
Manusia lalu menjadi homo homoni lupus (makhluk yang saling memangsa). Hal ini akan terjadi manakala kehendak seseorang atau satu kelompok harus dipaksakan kepada orang atau kelompok lain.
Dalam banyak kasus, intoleransi dan kekerasan terhadap yang lain, selalu terkait dengan kehendak untuk memaksakan pikiran, ideologi, agama, tindakan dan sebagainya. Ini sering kali muncul karena pelaku menganggap bahwa pikiran dirinyalah sebagai satu-satunya kebenaran.
Sementara pikiran, ideologi, agama, keyakinan, budaya, persepsi, pandangan, dan perasaan “yang lain” / “the other” (objek) tidak masuk dalam kesadarannya sebagai subjek yang juga memiliki kebenaran.
Cara pandang seperti ini telah menafikan eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan harus kita hargai atau hormati. Cara pandang seperti itu bertentangan dengan pesan dan visi agama sebagaimana sudah disebutkan. Tuhan, sungguh Maha Bijaksana, ketika Dia menegaskan bahwa “Tidak (boleh) ada paksaan keyakinan (ikrah) kepada orang lain.“
Keyakinan dan pikiran adalah milik Tuhan semata-mata. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang berhak memaksakan kehendaknya dan memaksakan keyakinan terhadap orang lain. []