• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Sisi Gelap Citra Perempuan dalam Dongeng

Pada akhirnya, gadis kecil tidak lagi hanya mengimajinasikan diri sebagai perempuan cantik yang pasif tetapi perempuan cerdas yang aktif dan berdaya

Yulita Putri Yulita Putri
23/07/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Citra Perempuan

Citra Perempuan

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Gadis kecil, senang mendefinisikan diri menurut kehendak para penggubah dongeng. Yang banyak teringat di kepala anak-anak adalah sosok Snow White, Rapunzel, Bella, dan sederet nama lain. Sosok itu bertubuh seperti boneka barbie dan berparas sempurna. Nyaris sulit kita temukan dalam dunia nyata. Meski begitu, beramai-ramai orang mengamini kriteria itu sebagai citra ideal sosok perempuan.

Lima Puluh Cerita Princess (2016) susunan Tig Thomas, menampilkan sederet cerita berisi tokoh perempuan. Buku bersampul merah muda, gemerlap dan memuat banyak gambar. Buku masuk pasar sebagai bacaan anak. Yang kita dapat ketika membacanya adalah puluhan nama putri dengan beragam kisah.

Tiga judul yang teringat: Putri Tidur, disarikan dari The Enchanted Castle karya E. Nesbit. Sandal Merah gubahan Gertrude Landa. Dan Putri Lima Kerajaan, anonim.

Cerita-cerita itu menggambarkan para putri yang hidupnya selalu bergantung pada orang lain. Kisah memuat kutukan, percintaan, dan pernikahan. Kita boleh mengerutkan dahi untuk memikirkan: Apakah tema pernikahan layak untuk anak-anak imajinasikan?  Di sana ada kepasrahan, ketergantungan, dan pemandekan makna hidup. Anak terpaksa lekas dewasa.

Tidak berhenti di situ, cerita dongeng bermasalah dalam penggambaran sosok perempuan. Penggambaran selalu merujuk pada kata cantik yang berpusat pada kriteria tunggal. Kita hidup dalam keragaman etnis, ras, dan budaya. Perbedaan menjadi sebuah keniscayaan, termasuk dalam standar kecantikan. Namun, sayangnya cerita dongeng kerap melakukan standarisasi.

Baca Juga:

Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

Menumbuhkan Relasi Kesalingan (Mubadalah) dari Rumah dan Sekolah

Putri Tidur tergambarkan sebagai berikut: “Di antara rambut hitam panjang terurai, tampak wajah putri itu, sangat kecil dan pucat. Hidungnya mancung dan alisnya tipis.” Dalam Sandal Merah, terjadi hal demikian: “Mawar merah adalah nama seorang gadis kecil yang manis. Matanya biru indah, pipi merah ranum, dan rambutnya keemasan.”

Lalu dalam Putri Lima Kerajaan, juga terjadi hal yang sama: “Putri itu sangat cantik dan menawan laksana bunga-bunga musim semi.” Kata cantik merujuk pada wilayah bagian Barat.

Dongeng sebagai Pewarisan Nilai

Apakah penggambaran dalam cerita tersebut salah? Tentu tidak. Tetapi, bermasalah jika hanya kriteria itu yang termiliki anak, lalu sepanjang hidup meng-amininya. Dongeng tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan tetapi juga pewarisan nilai.

Meike Lusye Karolus dalam Feminisme dalam Dongeng (2013) menjelaskan bahwa dongeng mampu mempengaruhi pembaca lewat proses ketidaksadaran yang kemudian kita anggap sebagai kewajaran.

Pendefinisian perempuan dalam bayangan kecantikan secara terus menerus, membuat anak lebih banyak berpikiran soal tubuh, mengesampikan pikiran. Yang terjadi, anak menjadi lekas memikirkan kemolekan tubuh lalu calon pangeran, bukan pengetahuan, pengenalan diri, dan eksplorasi. Mereka dibuat menjadi gelisah, pasif, menerima, dan menunggu.

Barangkali, kita perlu mengurangi kemelekatan anak pada putri-putri dalam dongeng. Hidup anak sudah terlalu lama disesaki hal demikian. Seprei kamar, lemari, meja belajar, baju, tas, kotak pensil, dan sampul buku tulis bergambar princess. Hidup anak terbayangi kecantikan dan penyelamatan seorang pangeran.

Bacaan Tandingan

Upaya mengurangi kelekatan itu, bisa kita lakukan dengan menyediakan bacaan tandingan. Beberapa buku mengisahkan anak perempuan yang lekat dengan pengetahuan. Tidak ada   pendefinisian perempuan dengan narasi cantik laksana bunga-bunga musim semi atau pipi merah dengan rambut keemasan. Yang tersuguhkan adalah perempuan cerdas dengan tubuh manusiawi.

Tersebut beberapa judul: A Wrinkle in Time (2010) gubahan Madeleine L’Engle, The Secret Garden (1911) dan Little Princess (1905) gubahan Frances Hodgson Burnett, lalu Anne Of Green Gables (1908) gubahan Lucy M.Montgomery.

A Wrinkle in Time mengisahkan seorang gadis bernama Meg Murry. Penggambaran penulis pada diri Meg: “..penampilannya begitu mengerikan, kacamata tebal, gigi berkawat, dan rambut yang berantakan.”

Mary Lennox, tokoh utama dalam The Secret Garden dikisahkan  hampir serupa: “… dia seorang anak yang sangat tak enak dipandang. Mukanya tirus, tubuhnya kecil kurus, rambutnya kusam dan jarang, dan wajahnya masam.”

Sarah Crew dalam Little Princess tergambarkan demikian: “Aku sama sekali tidak cantik. Rambutku pendek dan warnanya hitam, dan mataku hijau. Lagi pula tubuhku kerempeng dan kulitku sama sekali tidak putih. Aku salah satu anak paling jelek yang pernah kulihat.”

Lalu Anne Shirley dalam Anne Of Green Gables juga dikisahkan serupa: “…Dia mengenakan sebuah topi pelaut coklat yang warnanya sudah pudar. Ada dua buah kepang rambut yang berwarna merah terang sangat tebal. Wajahnya mungil, putih dan kurus, serta banyak bintik-bintiknya; mulutnya besar, begitu juga matanya yang kadang-kadang berubah warna.”

Citra Perempuan

Penceritaan tubuh pada buku-buku tersebut jauh lebih manusiawi dan yang terpenting, tokoh perempuan tergambarkan dekat dengan pengetahuan. Meg Murry dilukiskan sebagai gadis cerdas di bidang fisika, Mary Lennox menjadi anak perempuan yang berani, Sarah Crew sebagai gadis pecinta buku, dan Anne Shirley digambarkan sebagai perempuan cerdas yang penuh imajinasi.

Meski secara fisik tokoh-tokoh tersebut tidak tergambarkan layaknya putri-putri dalam dongeng, mereka tetap sangat menarik. Pengarang menggambarkan mereka sebagai perempuan yang aktif bergerak dan berpikir.

Penanaman citra perempuan yang lekat dengan pengetahuan sangat penting kita suguhkan pada anak sebagai media pembentuk karakter. Pada akhirnya, gadis kecil tidak lagi hanya mengimajinasikan diri sebagai perempuan cantik yang pasif tetapi perempuan cerdas yang aktif dan berdaya. []

 

 

 

Tags: BacaanCitra PerempuandongengDongeng AnakHak anakKisah Dongeng
Yulita Putri

Yulita Putri

Penulis lepas dan pegiat di komunitas Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS)"

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kebangkitan Ulama Perempuan

    Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version