Mubadalah.id – Di dalam ajaran Islam, posisi bapak (suami) yang secara biologis tidak mungkin bisa menyusui adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak). Baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi. Sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak.
Bapak (suami) secara ekonomi wajib memberikan nafkah baik kepada ibu (istrinya) maupun kepada anaknya. Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban nafkah, yaitu pertama, upah susuan. Kedua, upah pemeliharaan.
Ketiga, nafkah kehidupan sehari-hari. Keempat, upah tempat pemeliharaan, dan kelima, upah pembantu jika membutuhkannya. Lima hal ini berlaku kepada siapa saja yang melakukan kerja menyusui dan memelihara anak. Termasuk kepada istrinya sendiri.
Dalam bab “Pemeliharaan Anak”, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan sebagai berikut:
Pertama, semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia. Maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
Kedua, penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Sementara kepada istrinya, sang suami berkewajiban memberikan nafkah dan menyediakan seluruh keperluan penyusuan anak.
Bagi istri yang sudah ditalak raj’iy (al-muthallaqah) dan masih dalam masa ‘iddah. Selain nafkah, suami juga wajib memberikan upah yang adil baginya dan bagi perempuan lain yang menyusukan anaknya [al-murdhi’ah].
Di sini berlaku hukum keadilan gender dalam pembagian peran penyusuan anak antara suami dan istri atau antara laki-laki dan perempuan.
Berkaitan dengan pembagian peran ini, timbul pertanyaan: bolehkah perempuan yang menyusui menuntut upah atas pekerjaan menyusui anaknya dan berapa ukuran upah yang menjadi haknya? Berikut penjelasan Wahbah al-Zuhayli, ulama terkemuka dari Syria, dalam Kitab al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu. []