Mubadalah.id – Krisis iklim menjadi permasalahan global yang sangat serius. Dampak dari krisis iklim mengakibatkan terjadinya bencana alam. Salah satu penyebab terjadinya krisis iklim ialah jejak karbon yang dihasilkan dari pertambangan untuk keperluan energi.
Berdasarkan informasi dari laman IESR, tahun 2022 Indonesia menjadi negara terbesar ketiga penghasil batubara di dunia setelah India dan China. Total ekspor batubara Indonesia sendiri mencapai 360.28 juta ton tiap tahunnya.
Di peringkat global, Indonesia menempati peringkat kelima penghasil karbon terbesar di dunia. Tentu, penghargaan ini bukanlah penghargaan yang membawa maslahat mengingat dampak dari jejak karbon sendiri menciptakan krisis iklim. Melalui urgensi inilah, Indonesia membutuhkan energi terbarukan untuk mengganti energi dari pertambangan batu bara.
Energi terbarukan berasal dari alam dan dapat diperbaharui secara alami. Energi terbarukan terkenal sebagai energi hijau atau bersih. Dalam praktiknya, mencakup pemanfaatan dari sinar panas matahari, angin, dan air. Energi terbarukan lebih ramah lingkungan karena tidak memerlukan penambangan yang dapat merusak ekosistem lingkungan.
Tashawwurul Mas’alah
Dalam buku The Uninhabitable Earth menyebutkan, “Krisis iklim terjadi sangat cepat, jauh lebih cepat daripada kemampuan kita mengenali dan mengakuinya. Tetapi juga sangat panjang dampaknya, lebih panjang daripada yang kita benar-benar bisa bayangkan.”
Krisis iklim dalam Islam dapat kita pahami sebagai sebuah kerusakan (fasad) atau keluarnya sesuatu dari keseimbangan (khuruj al-syai anil I’tidal).
Dalam pertambangan, kerusakan terjadi ketika lingkungan sekitar tambang mulai rusak, seperti tanah yang ambles, banyak tanaman dan hewan yang hilang, pencemaran serta polusi yang berdampak pada kualitas air dan udara, timbulnya penyakit baru, gagal panen, dan kematian. Pada praktiknya, masyarakat selalu menjadi korban yang paling rentan dalam menanggung dampak-dampak merugikan hasil pertambangan.
Dalam kacamata inilah, hubungan manusia dengan alam (hablumminalalam) yang maslahat sangat dibutuhkan dalam pengelolaan energi. Sehingga, hasil sumber daya alam dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal dan tidak tereksploitasi oleh pihak swasta yang hanya berorientasi profit serta tidak bertanggung jawab.
Fikih Transisi Energi Berkeadilan
Fikih transisi energi berkeadilan menjadi landasan utama dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mengancam. Dalam urgensi fikih transisi energi berkeadilan, perlu nilai-nilai dasar (bersumber pada Al-Qur’an dan hadist) yang memiliki nilai tauhid, ayat/tanda, amanah, adil, dan seimbang. Nilai-nilai ini terdapat pada hubungan manusia dan alam yang memiliki sifat istikhlaf dan isti’mar.
Nilai-nilai dasar tersebut kemudian turun menjadi prinsip universal yang bersifat burhani, yaitu kesalehan, regulatif, kemaslahatan, konservasi, dan musyawarah. Prinsip universal inilah yang menjadi tempat agar dalil (Al-Qur’an dan hadist) tidak hanya tertafsir secara tekstual. Melainkan tertafsir secara kontekstual dengan melihat bagaimana korban terdampak dan rentan yang menanggung akibat buruk atas tambang.
Tidak berhenti pada nilai-nilai dasar dan prinsip universal saja, butuh kebijaksanaan (irfani) dalam memutuskan panduan praktis atau hasil akhir dari fikih transisi energi berkeadilan (tathbiq). Nilai-nilai irfani datang dari upaya kolektif yang datang dari level global, nasional, swasta, masyarakat, dan individu.
Sebab-sebab itulah yang menjadikan fikih transisi energi berkeadilan menjadi salah satu hal yang penting untuk segera kita wujudkan. Apalagi mengingat Indonesia berjanji melalui Net Zero Emission 2060, maka transisi energi dari pertambangan batubara ke energi terbarukan menjadi suatu kewajiban. Dengan menggunakan energi terbarukan, masyarakat Indonesia dapat mendapatkan kemaslahatan ekologis.
Kemaslahatan ekologis datang dari perintah Tuhan yang menjadikan manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh).
Menjadi khalifah, bukan tentang bagaimana manusia menjadi rakus dan tamak serta menguasai alam secara eksploitatif. Melainkan menggunakan sifat-sifat kasih sayang Tuhan untuk merawat dan menjaga alam. Sehingga manusia dapat mencukupi kebutuhannya sampai generasi seterusnya. Kerusakan alam yang terjadi secara terus menerus memungkinkan manusia untuk menciptakan kiamat atas perbuatannya sendiri. []